12. Pergi

30 19 0
                                    

"Pergi mungkin jalan yang terbaik saat tak lagi saling menghargai."

---------------------------

"Buka!" teriak Allea dari dalam kamar. Sudah berpuluh kali dia menggedor pintu, tapi tak ada satu pun orang datang. Baju tidur yang dikenakan kemarin sore sudah begitu lusuh karena air mata yang terus mengalir. Saat terbangun tadi malam berada dalam kamar hotel membuatnya syok, dan pagi ini dia menemukan dirinya sendiri tanpa sehelai kain. Apa yang telah terjadi? Allea sama sekali tak tahu.

Tubuh Allea merosot ke bawah. Lagi-lagi tangisnya memecah. Dia menjambak rambutnya sendiri, kemudian berteriak seperti orang gila. Ketukan pintu membuatnya tersentak, tangisan mereda seketika. Kini dia merasa takut, bagaimana jika yang datang ada orang yang sudah menodainya?

"Lea! Ini abang! Apa kamu di dalam?"

Suara itu membuat air mata Allea kembali mengalir. Bagaimana nanti ekspresi sang abang saat tahu yang sebenarnya. Knop pintu diputar, Allea mundur beberapa langkah. Keni muncul dengan wajah sumringah. Dari penampilan Keni, Allea tahu pasti sang abang pusing mencarinya.

Keni merengkuh tubuh mungil adik satu-satunya itu. Mereka beradu tangis. Keni mengurai pelukan, menangkup kedua pipi Allea. Menatap dalam matanya, mencari tahu kebenaran di sana.

"Ada apa? apa yang terjadi?" Keni bertanya pelan, tapi penuh tuntuan.

Allea terisak lalu kembali memeluk abangnya. Keni bisa merasakan ada aura buruk yang telah terjadi. Pandangannya mengedar ke seluruh sudut ruangan. Dia menggeram, mendorong tubuh Allea untuk menjauh.

"Katakan! Siapa yang telah melakukan ini!?" pekik Keni. Giginya bergemelatuk.

Allea menggeleng. Dia mendudukkan diri di lantai. Tangisnya semakin deras, sedangkan Keni berdiri terpaku. Keni menangis, merasa gagal menjaga Allea. Apa yang akan dikatakan pada orang tua mereka? Keni marah, tapi juga sakit. Dia bersumpah dalam hati akan membalas semua perbuatan orang itu. Namun, yang menjadi masalah sekarang siapa orang itu? Dia begitu licik dalam memainkan peran.

Ponsel Keni bergetar. Dengan cepat dirogoh kantong celana, lalu membaca pesan yang baru sampai. Cowok itu meremas ponsel, kemudian melemparkannya ke dinding kamar. Allea kini memeluk lutut, takut. Tanpa membuang waktu, Keni mengangkat tubuh Allea meski sempat mendapat penolakan. Untung saja dia membawa mobil, jadi tidak perlu memesan taxi online untuk jalan pulang.

***

Sisil memesan ojek online. Dia akan mengunjungi rumah Keni. Terserah nanti apa yang terjadi di sana, yang penting dia berusaha dulu. Tak lama kemudian ojek yang dipesan pun tiba. Setelah memberitahukan tujuan, mereka pun berangkat. Di perjalanan, Sisil sudah mengira-ngira ekspresi marah Keni. Dia pasti menyemburkan kalimat-kalimat pedas yang akan menyakitkan hati, tapi Sisil yakin semua pasti bisa dihadapi asal dia sabar nanti.

Pagar terkunci. Lebih dari lima menit supir ojek tadi pergi. Sisil sudah beberapa kali memanggil nama Keni, tapi tak ada sahutan. Dia juga sudah menelepon berpuluh kali, tapi ada ada jawaban. Deru motor membuatnya tersentak. Terlihat dua motor tiba, Sisil kenal mereka. Kedua cowok yang baru turun dari motor itu menatap Sisil penuh tanya.

"Ngapain elo di sini!?" tanya Julio ketus, sedangkan Tian hanya menatap datar.

"Gue mau ketemu Keni," balas Sisil dibarengi senyum.

"Keni gak mau ketemu sama lo, mending pulang aja sana!" titah Tian sembari membuka gembok gerbang menggunakan kunci yang diberikan Keni pada mereka.

Sisil menggeleng. "Gak bisa gitu, dong! Gue-"

"Elo gak bisa, ya, sehari aja gak usah ngerepotin kita. Elo itu biang masalah buat Keni, sadar gak, sih!?" Tian menatap tajam.

"Biang masalah? Gue salah apa?"

Tian berniat menutup gerbang lagi, tetapi Sisil mendorongnya hingga terjengkang. Cewek itu menerobos masuk rumah. Tian mengumpat. Dasar cewek keras kepala! Kalau nanti Keni mengamuk baru tahu rasa. Buru-buru Tian mengunci pagar, kemudian berlari ke dalam rumah untuk memastikan cewek itu tidak menimbulkan keributan.

"Lea," lirih Sisil saat berdiri di ambang pintu kamar. Keni menoleh, matanya membulat. Dia bangkit mendekat ke arah cewek itu lalu menariknya menjauh dengan kasar. Sisil sama sekali tak meronta, dia masih diliputi keterkejutan.

"Ada apa dengan, Lea? Katanya dia diculik, sekarang dia tiduran? Drama apa yang kalian mainkan?"

Keni menatap tajam ke Sisil, Sisil juga membalas dengan tak kalah tajam. Mereka saling menatap beberapa detik hingga kemudian Keni memerintahkan Sisil untuk pergi. Namun, bukan Sisil namanya jika langsung menuruti kemauan orang tanpa mendapatkan tujuannya.

"Jawab dulu, drama apa yang sedang kalian mainkan!?" Suara Sisil melengking.

Emosi Keni melonjak, tanpa sadar dia mengangkat tangan—menampar pipi kiri Sisil. Cewek itu menunduk dengan sebelah tangan memegang pipi. Seumur hidup, itu pertama kali dia ditampar-- oleh orang yang disayang pula. Pandangan Sisil memburam, tetesan demi tetesan akhirnya mengalir.

Keni mengepalkan tangan kanan, menyesal telah menampar Sisil. "Maaf ... aku-"

"Aku akan pergi! Bukan hanya dari rumahmu, tapi juga dari hidupmu!" potong Sisil dengan cepat. Dia berlari menuju pagar. Entah sejak kapan Julio ada di sana, dia mempersilakan Sisil keluar. Sisil berlari, meninggalkan rumah yang pernah menjadi tempat tawa mereka.

Rasa sakit di pipi memang tak seberapa, tapi hati Sisil terasa seperti ditusuk belati. Dia berjanji akan mengubur rasa yang sempat tumbuh di hati. Cewek itu menghapus air mata dengan kasar. Mulai hari ini, tidak ada Keni di hidupnya dan tidak pernah mengenal yang bernama Keni. Itu hanya mimpi buruknya.

***

Tbc

KenSil (Kisah yang Belum Usai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang