17. Kebenaran yang menyakitkan

21 16 0
                                    

"Rasanya seperti terbang tinggi bersama segalanya, tetapi ternyata semua hanya drama."

____________

"Pagi, Sayang!" Suara cempreng milik Tika menusuk telinga. Keni menggeram kesal. Baru juga turun dari motor sudah disambut oleh cewek bar-bar. Dia mengabaikan Tika, langsung menyelonong naik tangga. Sekilas dia memandang ke samping kanan, tempat dia gagal menghajar Reon.

"Sayang, tunggu!" teriak Tika dari bawah. Dia setengah berlari mengejar Keni. Namun, Keni tetap melanjutkan langkah tanpa menoleh. Tidak penting!

Melewati kelas XI-IPA 2 seperti ada aura berbeda. Keni sengaja berjalan lambat. Tanpa ada yang menyadari, matanya mencari seseorang. Kaki terhenti saat di hadapannya berdiri orang yang tengah dicari. Mereka saling memandang agak lama hingga Lerin menjentikkan jari di depan Keni.

"Apaan, sih. Minggir!" Keni berucap ketus.

"Dih, aku, kan cuma nyadarin kamu itu ganggu jalan orang!" Lerin tak mau kalah.

Keni menggeleng kemudian melenggang pergi. Dia bahkan tidak menoleh lagi. Sedangkan Sisil terpaku di tempat. Ucapan Josua kemarin masih terngiang di telinganya. Bagaimana kalau Reon yang salah dan Keni benar? Dia salah dukung orang, dong selama ini. Apa mungkin Reon? Eh, sebenarnya apa yang terjadi? Sisil mengusap wajah dengan kasar. Benar-benar bodoh! Dia tidak tau masalah mereka apa, tapi sudah berani menyimpulkan Keni yang salah.

"Aku harus cari tau!" Sisil bertekad.

"Cari tau apa, sih?" tanya Viona tiba-tiba menepuk pundak Sisil. Tentu saja hal itu menyebabkan Sisil terlonjak kaget.

"Ihh, ngagetin, aja!" seru Sisil dengan ekspresi kesal.

"Ya, maaf. Abis kamu ngelamun, sih. Mikirin Keni, ya? Viona menggodanya dengan menaik-turunkan alis.

"Enak aja! Ngapain juga mikirin si belatung!" Sisil masuk ke kelas. Dia meletakkan tas di atas meja lalu bergegas ke luar. Sebentar lagi bel akan berbunyi.

Di lapangan semua siswa berbaris dengan rapi. Ketua barisan sudah menyiapkan mereka untuk menerima pengarahan dari guru piket. Namun, tatapan Sisil tak berpaling sama sekali. Dia menatap barisan kelas XII IPS 8, di mana ada Keni di baris paling belakang.

"Liatin siapa, sih? Sampe segitunya?" Viona berbisik pada Lerin dengan menunjuk Sisil dengan dagu. Lerin hanya menggeleng sebagai tanggapan.

***

"Jadi ... hari ini papa lo pulang?" tanya Tian. Kini mereka ada di rooftop. Mereka berdiri di pinggiran gedung hingga terlihat keseluruhan lapangan dan gerbang. Keni benar-benar tidak fokus untuk belajar. Dia butuh masukan kedua temannya.

"Gue harus gimana?" Pandangannya diarahkan ke atas dengan agak memejamkan mata untuk menghindari silau.

"Sebaiknya ... lo jujur aja. Kebenaran memang pahit, tapi itu lebih baik. Daripada elo sembunyiin, nanti malah tambah besar masalahnya," saran Julio. Tian mengangguk setuju.

"Gue juga percaya elo bisa lakuin yang terbaik buat keluarga lo. Kalau ada masalah, jangan segan minta bantuan ke kita. Ya, nggak?" Tian menyikut lengan Julio. Sedangkan yang disikut hanya mengangguk.

"Makasih, ya," ujar Keni. Dia berbalik, berjalan ke tempat yang sejuk. "Sekarang gue juga harus yakinkan Sisil kalau Reon itu nggak baik."

"Ngapain lagi sih mikirin itu nenek lampir!? Jelas-jelas dia belain si brengsek itu, Ken. Mungkin aja mereka kerja sama buat hancurin elo atau jangan-jangan mereka pacaran lagi." Julio meluapkan kekesalannya. Dia menendang botol minum yang ada di hadapannya hingga menimbulkan bunyi nyaring.

KenSil (Kisah yang Belum Usai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang