20. Keluarga Baru

23 18 0
                                    

"Aku sudah tak punya apa-apa, itu berarti mati pun tak ada yang merana."

____________

"Bangun, Mas! Sudah sampe kota Jakarta!"

Teriakan kernet itu membuat cowok yang tertidur dengan bersandar di kaca itu tersentak. Dia mengucek mata, hal pertama yang tertangkap oleh netranya adalah bus yang berderet. Dia sudah tiba di Terminal Jobotabek. Dia turun sembari menggendong tas ransel yang berukuran sedang. Tak ada barang berharga di sana, hanya ada beberapa pasang pakaian milik temannya. Tiketnya saja dibeli menggunakan uang peberian Julio. Dia benar-benar tak punya apa-apa sekarang.

Keni berjalan dengan pelan. Tubuhnya lemah. Dia duduk di kursi panjang sebuah warung makan. Melihat orang-orang yang menyantap makanan dengan lahap membuat perutnya semakin meronta meminta jatah. Perlahan ditekan perut kempes, berharap bisa mengurangi rasa lapar.

"Aku harus bagaimana? Uang tinggal sepuluh ribu. Kalau aku makan, nanti bagaimana?" Keni tak bisa bertahan di tempat itu. Aroma makanan semakin menyiksanya.

Tatapan Keni menyapu jalanan. Sangat ramai. Dia harus menunggu agar bisa menyeberang. Namun, netra Keni melotot seketika saat melihat seorang nenek hendak menyeberang. Nenek itu menggunakan tongkat dengan jalan agak terseok, padahal di belakangnya sebuah truk melaju dengan kencang. Keni membuang tas dengan asal. Dia berlari sekuat tenaga dan menarik sang nenek hingga keduanya tersungkur di tepi jalan. Orang-orang berteriak histeris, dan mulai berkerumun. Mereka menanyakan keadaan Keni dan si nenek.

"Gak apa-apa, Mas?" tanya seorang bapak-bapak.

Keni mengangguk pelan."Gak apa, Pak. Nenek gak sakit atau apa, kan?" Keni membantu nenek itu bangkit. Dari penampilannya, sih, dia keluarga yang berada. Terlihat dari pakaian dan kalung emas yang dikenakan.

"Gak apa-apa, Cu. Makasih, ya, kamu udah nolongin oma. Nama kamu siapa?"

"Namaku Keni, Nek," jawab Keni dengan senyum simpul.

"Owh, panggil aku Oma Lean aja. Kamu masih sekolah?" tanya Oma Lean. Dia menelisik penampilan Keni dari atas hingga bawah.

Keni menggeleng."Udah nggak, Oma. Udah putus sekolah," ucapnya sendu.

"Umur kamu berapa?" Oma Lean sepertinya tertarik untuk mengetahui seluk-beluk dan kepribadian Keni. "Rumah kamu di mana?"

"Aku ... umurku menjalani lapan belas tahun, Ma." Keni menunduk.

"Kayaknya kamu seumuran cucu om—"

"Oma!" Seruan itu sukses membuat keduanya tersentak. Seorang cewek yang mengenakan seragam SMA berlari menghampiri. Dia langsung memeluk erat Oma Lean. "Oma ... dari mana aja, sih? Oma bikin semua khawatir, tau!"

"Maafin oma. Oma khilaf," ucap Oma Lean sembari mengusap pucuk kepala gadis berambut panjang itu.

Keni masih bergeming. Dia memperhatikan dua wanita yang terlihat saling menyayangi itu. Mereka bahkan tak menyadari kalau Keni masih memeperhatikan mereka. Keni tersenyum, berucap dalam hati semoga keluarga mereka selalu bahagia dan saling menyayangi. Jangan seperti dia, tak punya keluarga. Keni mengamit ransel yang tadi diletak begitu saja. Namun, saat dia akan berbalik suara Oma Lean menghentikan.

"Ayo, pulang kami antar saja. Anggap saja sebagai rasa terima kasihku padamu." Wanita tua itu mendekat.

Keni menggeleng."Nggak usah, Ma, a-a-aku—"

"Ayolah! Gak usah sok jual mahal." Cucu Oma Lea menyela dengan cepat. Dia bersedekap, tampak jelas aura ketidaksukaannya. Keni bisa melihat itu.

"Kalian nggak akan pernah bisa mengantar aku. Karena ... aku nggak punya rumah. Aku—"

"Oh, kamu gelandangan? Pantesan!" Lagi-lagi cucu Oma Lean memotong pembicaraan Keni.

"Kamu tinggal sama keluarga kami saja kalau begitu!" Tanpa menunggu balasan Keni, Oma Lean langsung menariknya menuju mobil mewah yang diparkir tak jauh dari mereka. Keni terperanjat kaget, dia ingin menepis tangan keriput itu. Namun, hatinya berkata iya ikut saja. Di belakang mereka cucu sang oma menggerutu kesal.

***

"Tapi, Ma. Sulit untuk menerima siswa pindahan seperti itu. Dia tidak mau kembali ke kelas X, tetapi kalau dia langsung kelas XII bagaimana dengan data dan nilai dari sekolah lamanya. Semua harus sesuai, Ma. Apa lagi sebentar lagi, kan sudah Ujian Nasional." Begitulah percakapan di ruang kepala sekolah. Keni mendengarkan dari balik pintu. Sesekali terdengar ledakan amarah sang oma yang tetap memaksakan kehendak agar Keni bisa diterima di sekolah itu.

Keni mendudukkan bokong di kursi pelastik. Dia mengusap wajah frustrasi. Oma Lean memang pemilik sekolah, tapi tetap saja semua sekolah mengikuti peraturan pemerintah, kan? Mereka tak bisa memaksakan kehendak. Dia sudah ikhlas jika pun dia tak melanjut pendidikan lagi. Dia akan bekerja keras demi masa depannya. Keni juga tak mau kembali ke kelas X, enggan rasanya.

"Ayo, pulang!" sentak Oma Lean. Wajahnya memerah, seperti menahan emosi. Keni hanya menurut.

"Gak masalah, kok, Ma. Keni udah ikhlas jika nggak bisa diterima lagi," ujar Keni memulai perbincangan saat mereka sudah dalam mobil. Keni sengaja melaju dengan pelan agar bisa sekalian berbincang dengan sang oma.

"Nggak bisa gitu, dong! Pokoknya oma akan berusaha mendapatkan semua yang kamu perlukan. Besok kamu masuk aja ke SMA Brawijaya. Oma yang tanggung jawab!"

Kalau sudah begitu, Keni tak bisa berkutik. Oma akan selalu melakukan apa yang diinginkan seperti pengakuan keluarganya. Keni mengangguk pelan, dia berjanji tidak akan mengecewakan siapa pun lagi. Sekarang dia sudah punya keluarga, kan? Oma Lean, Clarisa, dan Om Harvi. Keni beruntung bisa bertemu keluarga yang bisa menerimanya dnegan baik. Meski ucapan Clarisa masih ketus seperti saat pertama kali bertemu kemarin.

"Keni ...," panggil Oma Lean lirih. Dia menatap ke luar kaca.

"Iya, Ma." Keni menoleh sekilas, keudian lanjut fokus menyetir.

"Oma akan beri kamu segalanya, tapi ... kamu harus janji." Oma Lean mmengalihkan pandangan. Sekarang dia menaap Keni dengan serius.

Keni mengangguk. "Janji apa, Ma? Selama Keni sanggub, akan Keni usahakan."

"Kamu harus tetap ada di sisi Clarisa. Oma pengen kalau oma sudah tiada, kamu yang menjaga dia. Atau kalau perlu kamu yang menikahi dia, jika dia mau, sih. Soalnya dia anak yang susah ditebak." Oma mengetuk-ngetuk dagu.

Meski sempat terkejut, tetapi Keni berusaha tetap menetralkan ekspresi."Oma bicara apa, sih? Kita masih muda, Ma, belum terpikir yang begituan," sahut Keni. Entah mengapa yang ada dalam khayalannya malah Sisil. Bagaimana kabar gadis itu?

***

TBC

KenSil (Kisah yang Belum Usai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang