15. Pelaku Ditemukan

23 18 0
                                    

"Kenali aku sepenuhnya dari diriku sendiri, bukan kata mereka."

______________________

Keni mencuci muka yang penuh keringat. Dia baru saja selesai membersihkan taman belakang dengan Sisil. Cowok itu menggerutu – menyalahkan Sisil atas kejadian yang menimpanya. Demi apa coba seorang Keni yang terkenal pembulli, seorang ketua basket dan anak pemilik sekolah dihukum mengutip sampah di taman dan menyapu lapangan? Memalukan!

Saat hendak keluar dari kamar mandi, telinga Keni mendengar sesuatu yang tak pernah dibayangkan. Tangan mengepal, gigi bergemeletuk. Dia mendobrak pintu kamar mandi di mana ada dua orang yang sedang berbincang dan tertawa. Kedua orang itu tersentak, mereka saling memandang. Keni menarik kerah baju putih salah satunya – hampir mencekik. Sedangkan yang satunya gemetaran, tak mampu berbuat apa.

"A-a-apa yang kau lakukan? Le-le-lepas," pintanya terbata.

Keni tersenyum sini, kemudian mengempaskan orang itu hingga kepalanya terantuk di wastafel. Keni mendekati yang satu lagi – melakukan hal yang sama. Mereka sama sekali tak melawan. Entah karena takut atau hal lain, Keni tak peduli. Dia mengambil ponsel, menunjukkannya di depan mereka.

"Ulangi yang kalian katakan tadi!"

Keduanya saling memandang. Jidat mereka memiliki tanda memar. Mereka adalah Rian dan Leon, orang yang pernah berkelahi dengan Keni.

"Cepat! Atau mayat kalian akan kukirim ke rumah kalian masing-masih hari ini!?" Keni semakin marah.

Rian mengangguk kemudian berbicara, "Baiklah, akan kukatakan."

Tanpa membuang waktu, Keni pun merekam semua penuturan mereka. Setelah selesai, Keni menyimpan ponsel. Matanya belum berpaling dari kedua orang yang tersudut di kamar mandi itu. Pintu sudah dikunci tadi, jadi tidak akan ada yang mendengar atau mengetahui kejadian itu dari luar. Keni menyempatkan memberikan bogem mentah masing-masing dua kali pada mereka, barulah dia pergi.

Keni memutuskan untuk kembali ke kelas. Jam pelajaran selanjutnya sudah dimulai. Bahasa Indonesia pelajaran yang dibimbing oleh Bu Risna, guru tercerewet di SMA Adinegara. Dengan langkah gontai dia akhirnya sampai kelas sebelum Bu Risna masuk. Dia mendengus saat melihat Tian menggoda para cewek, sedangkan Julio bermain game. Setelah melihat wajah Keni yang tak biasa, keduanya menghentikan aktivitas. Mereka saling menaikkan alis – bertanya satu sama lain.

"Pulang sekolah kita bahas sesuatu hal yang penting. Ini tentang hidup adek gue!" Tian dan Julio menggangguk mengerti. Setelah itu Ibu Risna masuk, mereka duduk ke tempat masing-masing.

***

Sisil tersenyum kecil saat mengingat kejadian tadi di taman belakang. Masih terbayang tatapan mata Keni, membuat getaran yang semakin menjadi. Disentuh dadanya, lalu tersenyum lagi. Dia tak menyadari kedua sahabatnya menatap heran, mengira Sisil kerasukan.

Lerin menoel pinggang Sisil hingga membuatnya tersentak. Dia berdesis pelan, kemudian melirik ke samping dengan tatapan membunuh. Namun, Lerin pura-pura memandang ke depan di mana ada Pak Wardo, guru Biologi mereka yang sedang menjelaskan tentang system pernapasan. Viona mengulum bibir – menahan senyum atas kekonyolan yang dilakukan Lerin.

Kelas mulai riuh, mereka bersiap mau pulang. Pak Wardo sudah keluar beberapa detik lalu. Kini tiga princess masih duduk di kursi masing-masing. Mereka seolah malas bergerak. Saat Sisil berdiri, kedua temannya ikut bangkit. Tatapan cewek yang menguncir rambut itu berubah tajam, kesal melihat kelakuan sahabatnya.

"Kalian ngapain, sih? Mau gue gigit!" seru Sisil galak.

"Dih, sejak kapan kamu ngomong ke kita pake gue-guean. Lagi PMS, ya? Sensi amat," celetuk Lerin. Dia menyampirkan tas ranselnya di pundak dan menggeser kursi lalu pergi. Viona yang dari tadi diam saja ikutan pergi, meninggalkan Sisil sendiri.

Sisil menjambak rambut sendiri. Dia kesal pada dirinya. Kenapa lagi dia mengatakan hal bodoh tadi, harusnya dia ingat sedang berbicara pada siapa. Mereka itu sahabat terbaik yang selama ini dimiliki. Dia bangkit, bergegas mengejar kedua temannya. Namun, mereka sudah memacu motor dan melaju. Sisil mencuatkan bibir, mengucapkan kata maaf. Dia melangkah menuruni tangga menuju gerbang. Sisil mengeluarkan ponsel mengirimkan pesan singkat pada si abang agar segera dijemput. Dia melewati labolatorium. Namun, langkahnya terhenti kala mendengar teriakan dan ringisan dari belakang ruangan itu. Sisil berbalik, mengambil jalan dari koridor dengan hati-hati.

"Reon!"

Sebuah tontonan yang tak pernah dibayangkan ada di hadapannya. Sisil berlari menghampiri, mendorong tubuh Keni yang menduduki dada Reon. Sisil menangis, mengusap darah yang mengalir di bibir dan pilipis sepupunya itu. Keni yang terempas di tanah, terdiam membeku. Tak tahu harus menjelaskan apa pada Sisil. Sisil tidak tahu apa pun, dan dia tidak akan percaya pada Keni.

Sisil membantu Reon bangkit, tatapan tajam ditujukan pada Keni. Tian dan Julio saling berpandangan, sedangkan Keni masih mencoba menetralkan napas yang masih terengah-engah. Sisil mengangkat tangan – menunjuk tepat di depan wajah Keni.

"Gue-"

"Gue gak butuh penjelasan apa pun! Reon adalah sepupu gue, dan gue akan tetap bela Reon sampai kapan pun! Mulai hari ini juga, gue gak mau liat dan kenal sama elo! Dasar manusia jahat!" pekik Sisil. Air mata kembali menyapa, dia menarik tangan lalu mengajak Reon pergi.

Sepeninggalan mereka Keni mengusap wajah frustrasi, dia menendang batu yang terletak tak jauh darinya. Dia menumbuk kaca lab hingga pecah. Tian dan Julio berusaha menghentikan, tetapi mereka juga jadi korban tendangan mematikan dari Keni. Keni luruh ke tanah, tak berdaya. Dia terisak.

"Harusnya gue yang marah, adek gue ... Allea korban kebangsatan Reon. Harusnya gue yang marah! Harusnya gue!" Keni menunduk, tangisnya semakin deras. Julio dan Tian memandang iba, ini pertama kali mereka melihat Keni selemah itu. Keni mereka rapuh.

"Ken ... kita pulang, yuk. Allea pasti mencarimu," ajak Julio saat hari mulai sore. Sang jingga sudah menyembunyikan diri. Namun, ketiga cowok itu masih berada di tempat masing-masing sejak beberapa jam lalu. Keni mengangkat wajah, matanya sembab. Dia menangis dari tadi, selama itu?

Julio mendekat, mengulurkan tangan. Keni menatap sesaat kemudian memalingkan pandangan. Rasanya dia ingin tetap berada di tempat itu, tanpa ada yang mengganggu. Tak lama kemudian Tian datang – berjongkok di hadapannya. Tatapan mata sipit dengan senyum lucu ditunjukkan semata-mata menghibur Keni. Keni tersenyum simpul lalu meraih tangan Julio dibantu oleh Tian. Mereka memang sahabat terbaik yang pernah dimiliki sejak dulu. Keni juga tahu, mereka tidak akan meninggalkannya jika seandainya dia menolak bangkit. Saat mereka berjalan menuju koridor, Keni menyentuh tulang pipi, sangat perih. Seluruh badan terasa sakit. Bayangan kejadian tadi siang kembali datang.

"Lo yang udah hancurin hidup adek gue! Lo harus tanggung jawab semua yang udah lo lakuin!"

"Owh, lo udah tau. Bagus, deh. Jadi, gue gak perlu pura-pura bego lagi di depan elo!" Reon membuka kaca mata tebalnya. Dia mengusap rambut ke belakang, hingga tampak jelas wajahnya sebenarnya. Dia menyingsingkan lengan bajunya, lalu langsung menyerang wajah Keni tanpa aba-aba.

Keni tersungkur, pelipisnya berdarah. Tulang pipi terasa perih. Dia pun bangkit, lalu membalas serangan Reon dengan membabi buta. "Apa mau lo? Kenapa lo lakuin itu semua!?"

Reon terkekeh kemudian berujar, "Gue mau keluarga elo menderita! Karena orang tua elo, bokap-nyokap gue meninggal. Mereka udah bunuh orang tua gue!" seru Reon lantang, kemudian dia meringis kesakitan saat Keni menonjok dadanya.

Keni mengempaskan tubuh Reon di tanah. Dia duduk di atas dadanya lalu menyerang wajah tirus Reon habis-habisan. Hingga sebuah suara cewek yang familiar menusuk telinga. Menghentikan mereka, menyerahkan kekalahan pada Keni. Keni lumpuh.

"Reon!"

***

Hiks, Sisil ngapa belain Reon dah?

kan, dia ga tau :(

KenSil (Kisah yang Belum Usai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang