21. Waktu

23 19 0
                                    

"Waktu berjalan terus, tetapi hatiku masih tak terurus."

_______________

"Papa! Ante Cicil nakal!" Anak kecil berumur lima tahun itu berlari menemui sang papa yang sedang duduk di depan komputer.

"Heh, mau ke mana kamu? Nenek sihir sudah tiba!"

"Sisil, apaan, sih? Nakutin Kenzo gitu? Kalau nanti malam dia mimpi buruk, awas kamu, ya!" Josua berkacak pinggang sembari memasang wajah garang. Sedangkan Kenzo bersembunyi di balik kakinya.

Tawa Sisil meledak, puas sekali menakuti anak itu. Kenzo Jole, putra tunggal Josua dan Allea. Mereka memutuskan menikah lima tahun lalu, menjalani hidup dengan bahagia. Josua meneruskan salah satu cabang perusahaan keluarga Adinegara, sedangkan Allea memilih meneruskan dan mengembangkan Kafe KeniLea, kafe yang dibangun atas kasih sayang abang dan adik. Sisil sendiri saat ini fokus pada skripsi. Dia kuliah di Universitas Padjajaran, fakultas Ekonomi dan Bisnis. Agak menyimpang dari jurusan waktu SMA yaitu Ilmu Pengetahuan Alam, tetapi itu juga keinginan sang abang agar bisa membantunya bekerja di kantor.

"Ante Cicil nanti kita kasih ke Om Martin, biar tau rasa. Sini, Sayang!" Allea muncul dari belakang. Kenzo kini beralih ke pelukan sang mama.

"Dih, anak laki penakut. Awas nanti malam didatangin sama nenek sihir! Kabor!" Sisil berlari ke luar ruangan itu sebelum Josua atau Allea melempar pake sepatu seperti biasa. Menakut-nakuti keponakan sau-satunya itu memang sudah menjadi hobbi yang melekat, tak bisa dilepaskan lagi. Dia terkikik geli mengingat ekspresi Kenzo yang ketakutan, baginya itu menggemaskan.

"Ke mana, ya? Kampus aja, deh." Gadis berambut sebahu itu mulai menhidupkan motor. Tak banyak yang berubah darinya, dia tetap Sisil yang dulu. Cantik, tomboy dan cerdas. Hanya kegalakannya yang agak berkurang. Dia tumbuh menjadi gadis dewasa dan berkarisma. Kebiasaan juga tak berubah, kemana-mana mengendarai motor beatnya.

"Sil, kamu tau nggak kalo di kampus kita bakal ada pameran lukisan. Kalo nggak salah pelukisnya masih muda banget, baru wisuda tahun lalu." Lerin muali menceritakan gossip terbaru.

"Pameran lukisan? Kapan!?" Sisil kegirangan. Empat tahun kuliah di kampus itu, baru kali ini ada pameran lukisan. Biasanya mereka kedatangan ceo-ceo muda dan sukses. Sisil bosan jika semua tentang perkantoran. Dia juga butuh pemandangan indah, seperti lukisan-lukisan.

"Kalau nggak salah besok, deh." Viona yang dari tadi hanya mendengarkan akhirnya berbicara. Mereka bertiga memang sekampus, hanya beda jurusan. Namun, mereka sering janjian untuk bertemu.

"Serius!?" Sisil menganga. Mulutnya terbuka lebar.

"Ihh, mulutnya nggak usah dirobek juga kali!" Lerin menampol pipi Sisil hingga gadis itu menutup mulut. Dia terkekeh, kemudian memeluk kedua sahabatnya itu.

"Sayang, udah kelar?" Suara itu mengejutkan mereka. Segera menoleh, dan ternyata Tian sudah berdiri di belakang mereka. Pria itu sekarang tampil lebih menawan, apa lagi lesung pipi yang seperti tambah dalam.

"Sayang, kamu udah datang." Lerin menggandeng tangan sang kekasih. Tian tersenyum manis.

"Elah, kita jadi nyamuk, Vio. Cabut, yuk!" ajak Sisil hendak menarik tangan Viona. Namun, dengan cepat pula gadis berambut sepunggung itu menepis.

"Sorry, Sil. Cowokku juga udah datang, tuh." Dia menunjuk ke seberang. Benar saja, Julio tersenyum manis. Viona bergegas menghampiri, mereka berpelukan. Seolah baru bertemu setelah bertahun-tahun, padahal tadi pagi juga diantar.

"Ter-terus, aku sama siapa, dong?" Sisil menggigit jari. Dia merutuki kejomloan yang hakiki.

"Ya, sendiri. Babay!" Julio melambaikan tangan. Dia merangkul Viona. Begitu pun dengan Tian menarik paksa Lerin untuk meninggalkan Sisil. Mereka semua pergi. Tinggal Sisil dengan kehampaan hati. Dia memajukan bibir hingga beberapa senti. Menggerutu kesal. Sampai kapan dia menunggu?

***

Hampir sejam kendaraan berdesak-desakan. Sisil beberapa kali mendengus di aas motornya. Sekilas dilirk jam tangan, sudah menunjuk ke arah angka 12. 10. Apa lagi yang mau dikejar? Pameran lukisan itu selesai pukul setengah satu. Sedangkan jarak ke kampus masih jauh, jalanan macet. Sisil pasrah, dia tak mungkin bisa lagi menyaksikan pameran itu. Sudahlah, mungkin bukan jodoh.

Benar saja, saat Sisil bergegas ke Auditorium sudah tak ada lagi apa-apa. Hanya tersisa beberapa bapak-bapak yang membereskan lukisan-lukisan. Semua sudah selesai. Gadis itu mendekati salah satu lukisan wanita, entah mengapa seperti ada aura berbeda. Dia merasa lukisan itu adalah dirinya sendiri. Perlahan jemari itu bermain di sana. Sisil menelisik, benar-benar mirip dengannya. Mana mungkin itu dia? Pelukisnya, kan datang dari Jakarta. Sisil sama sekali belum pernah ke kota besar itu.

"Eh, kok lukisan ini belum, Pak?" Sebuah suara mengejutkan Sisil, dia langsung menarik tangan lalu menoleh. Gadis cantik berbicara pada salah satu karyawannya. Dia menunjuk lukisan yang tadi dipegang Sisil.

"Maaf, Non. Tadi non itu masih melihat-lihat. Wajah dalam lukisan itu mirip sekali dengan dia. Saya rasa, itu gadis yang dilukis tuan."

"Beresi semua! Jangan sampai ada yang tertinggal, meski setitik!" Gadis itu menatap Sisil dengan pandangan tak suka. Dia melenggang pergi.

"Maaf, Non. Lukisannya kami ambil," ucap karyawan dengan sopan.

Sisil mengangguk sembari mundur beberapa langkah. Dia mengendikkan bahu, mengabaikan kejadian baru saja. Menganggap tak ada yang terjadi. Mana mungkin ada orang yang melukisnya. Mungkin kebetulan saja mirip, tetapi bukan berarti dia. Saat melangkah ke luar gawai Sisil berbunyi. Lerin memanggil. Dia menjawab telepon sembari berjalan, tanpa memperhatikan siapa yang berpapasan dengannya. Namun, langkah demi langkah memelan saat jantungnya berdegub lebih cepat dari biasa. Ada apa?

Sisil menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Siapa yang baru saja lewat? Kenapa auranya berbeda? Seperti seseorang di masa lalu. Mungkinkah itu dia? Sisil menyimpan ponsel ke kantong celana jeans. Dia berbalik arah demi menghilangkan rasa penasaran. Langkah kaki membawa gadis itu kembali ke Auditorium. Namun, dering ponsel membuat langkahnya terhenti. Dia berbalik, agak menjauh. Segera dia mengambil benda pipih itu, lalu menempelkannya ke telinga kiri setelah menggeser layar.

"Apa lagi, sih, Rin? Aku lagi ada urusan!" Dia mematikan panggilan sepihak. Namun, saat berbalik lagi. Gedung itu sudah dikunci. Sisil menggeram sembari mengepalkan kedua tangan ke udara. "Kenapa, sih, gagal terus!"

***

TBC

KenSil (Kisah yang Belum Usai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang