22. Meet You

24 20 0
                                    

"Masihkah kau genggam hati yang dulu kutitip? Jika iya, kembalikanlah. Aku membutuhkannya demi kelangsungan hidup."

_______________

Pria berkumis tipis itu tengah menatap serius pada layar monitor. Meski raganya lelah, dia tak ingin mengambil jeda. Dia paling anti menunda, apa lagi sampai gagal. Hari ini dia menemani Clarisa melakukan pameran lukisan ke salah satu kampus ternama di kota Bandung. Awalnya dia menolak, tetapi demi menjalankan amanah dari sang oma dia akhirnya ikut.

Siapakah dia? Keni Bagas Brawijaya. Pria yang dulu suka membulli teman-temannya di sekolah. Pria yang pernah kehilangan arah dan makna hidup. Dia bangkit dengan bantuan keluarga baru yang sama sekali tak pernah dibayangkan. Dia mendapatkan segala keinginan, berhasil mewujudkan mimpinya menjadi seorang Ceo di salah satu perusahaan pameran lukisan terbesar di Indonesia.

"Istirahat dulu, Sayang," ucap Clarissa sembari membawa segelas cokelat hangat. Dia menyodorkan minuman itu ke depan Keni. Pria itu hanya mendeham kemudian menerima. Dia kembali melanjutkan pekerjaan. Clarisa berdecak kesal, apa pun yang dikatakan atau dilakukan tak pernah berharga di mata Keni.

"Kenapa, sih, kamu nggak pernah hargai perjuangan aku?" Clarisa bersedekap. Sudah menjadi kebiasaan dan gayanya begitu kalau lagi kesal.

"Apanya?" Keni menoleh sekilas. Dia menegakkan badan, mengambil minuman yang masih hangat itu lalu menyeruput. Dia memperhatikan wajah Clarisa, gadis yang dipilihkan Oma Lean sekaligus cucu kandung beliau yang dijodohkan dengannya. Keni tersenyum, meraih tangan gadis itu.

"Kamu tau? Dulu aku punya adik perempuan di keluarga lamaku. Sifat kalian itu mirip, lucu, manja dan suka ngambek." Keni mengambil jeda. Dia menghela napas panjang. "Tapi sekarang ... dia tak lagi bersamaku. Mungkin itulah alasannya, kenapa aku bertemu kamu. Aku menyayangimu, Ca, tapi ... sebagai abang-adik. Aku nggak bisa memaksakan hatiku." Keni menatap tepat di manic hitam Clarisa. Gadis itu menunduk, perlahan bulir bening menetes.

"Jangan menangis, nanti aku ikut menangis. Kamu tau, kan kalau kamu itu paling berharga dalam hidupku saat ini." Keni menaikkan dagu Clarisa hingga mereka bertatapan. Gadis itu semakin mengencangkan tangis, dia memeluk Keni dengan erat.

"Aku minta maaf, selama ini udah egois. Aku selalu melakukan apa yang kusuka tanpa memikirkan perasaan kamu. Aku menyesal." Gadis itu terisak. Keni mengusap kepalanya dengan lembut.

"Oh, ya!" Sontak Clarisa melepas pelukan. Dia mengambil ponsel yang diletak di meja. Mencari sesuatu di sana.

"Kenapa?" Keni menaikkan sebelah alis.

"Kamu pasti kenal orang ini, kan?" Clarisa menyodorkan ponselnya.

Keni melotot sempurna. Tangannya langsung menyambar ponsel itu. "Kamu jumpa dia di mana?"

***

Hari ini Clarisa kembali ke Jakarta. Dia pulang bersama dengan beberapa karyawan yang mereka bawa kemarin. Sedangkan Keni masih tinggal, menyelesaikan semuanya. Semua akan diperbaiki, sudah cukup dia bersembunyi dari semua masa lalu. Dia kuat mnghadapi, dia bisa.

Setelah kepergian Clarisa, Keni juga langsung melaju. Tujuan pertama adalah rumah keluraga Adinegara. Jika dulu dia pergi secara diam-diam, maka sekarang dia muncul dengan segenap keyakinan. Dia berharap, keluarga itu baik-baik saja. Namun, harapan tak sesuai kenyataan. Rumah itu sudah berubah, lebih besar. Tepatnya, bukan lagi rumah, tapi hotel bintang tujuh. Ke mana mereka pindah? Pertanyaan itu memenuhi otaknya.

Tujuan kedua adalah kafe KeniLea. Mungkinkah kafe itu diteruskan atau sudah dibongkar? Dengan kecepatan tinggi mobilnya melaju. Tak membutuhkan waktu lama, dia pun tiba. Suasana sangat ramai, banyak pengunjung padahal hari kerja. Apa setiap hari kafe itu begitu? Tatapan Kani terpaku pada tulisan KeniLea yang kini lebih elegant. Selain itu, jendela kaca dan pintu juga berubah. Jauh lebih indah dari sebelumnya.

"Silahkan masuk, Tuan. Semua tersedia, makanan-minuman kesukaan." Begitulah sambutan yang didapatkan ketika membuka pintu utama. Keni tersenyum dengan anggukan kecil.

"Duh, Sayang! Mama, kan udah bilang jangan minum cokelat lagi nanti sakit perut."

Keni menoleh pada wanita yang tengah berjongkok. Di depannya seorang anak kecil yang sangat menggemaskan terkekeh kecil pada sang mama. Keni mendekat, ikut berjongkok di samping mereka.

"Anaknya masih kecil, Mbak. Jangan dimarahi begitu," ujar Keni. Dia menjawil hidung anak itu. Namun, balasan yang didapat malah dorongan dari sang mama.

"Berani sekali anda mengurusi anak saya, pakai sentuh-sentuh lagi!"

Keni menoleh, pengunjung lain juga ikut memperhatikan. Wanita itu bersiap mengeluarkan kalimat kasar lagi. Namun, terhenti. Seolah bermimpi. Dia menampar pipi sendiri, mengucek maa beberapa kali. Yang terakhir air mata yang ke luar.

"Bang Keni!" Dia berteriak histeris, memeluk Keni seerat-eratnya. Mereka beradu tangis dalam peluk itu. Meluapkan kerinduan selama bertahun-tahun tak bertemu.

"Bang Keni ke mana aja? Kenapa ninggalin Lea tanpa pesan? Bang Keni nggak sayang lagi, ya sama Lea?" Tangis Allea semakin deras.

"Maafin abang." Hanya itu kata yang terlontar dari bibir Keni. Dia tak mampu berkata-kata lagi. Bahagia sekali. Beberapa pengunjung ikut meneteskan air mata, ikut merasakan keduanya.

Keni mengurai pelukan. Menghapus air mata Allea. "Udah, jangan nangis lagi. Jeleknya tambah," godanya membuat Allea mendelik. Wanita itu mencubit perut Keni. Mereka masih sama seperti dulu.

"Ini anak kamu?" Keni menglihkan pandangan pada anak kecil yang setia memandang mereka. Allea mengangguk, mengajak Kenzo mendekat.

"Sayang ... kenalin ini Om Keni, abangnya mama." Allea tersenyum manis.

Kenzo menatap wajah Keni dan Allea bergantian, kemudian berujar,"Nggak mirip."

"Iya, Sayang. Kita bukan saudara satu perut makanya gak mirip. Siapa nama kamu?" Keni menggendong Kenzo.

"Kenzo Jole, Om!" Anak itu berbicara dengan penekanan hingga menimbulkan gelak tawa di seluruh ruangan. Keni mengedarkan pandangan, dan sadar kalau dari tadi banyak pengunjung yang memperhatikan mereka.

"Ayo, pergi! Banyak orang yang liat," kata Keni dengan pelan. Dia membawa Kenzo ke luar. Sedangkan Allea menuju kasir, menitip pesan pada pegawai agar mereka melayani pengunjung dengan baik.

Tiga orang yang duduk saling berhadapan kini terdiam setelah bercerita panjang lebar. Keni yang tadi ingin tahu di mana keberadaan Adinegara hanya bisa mengembuskan napas kasar. Dia sama seklai tak menyangka kedua orang tua yang sangat disayangi ternyata selalu membuat kecurangan dalam berbisnis. Mereka mendekam di penjara selama dua puluh tahun. Jadi, apa yang dikatakan Reon dulu benar? Jika Adinegaralah penyebab kematian orang tuanya.

"Jangan benci mama-papa, ya, Bang! Lea tau, mereka telah menyakiti—"

"Bagaimana mungkin aku membenci orang yang telah merawatku dari kecil. Memikirkannya saja aku tak pernah, Dek. Aku menyayangi mereka, sama seperti dulu." Keni langsung menyela pembicaraan Allea.

"Hmm ... bagaimana dengan adikku? Apa kau sudah melupakannya? Kudengar kamu sangat dekat dengan seorang gadis yang bernama Clarisa." Josua menatap Keni denagn serius, berharap mendapat jawaban yang pasti.

"Aku—"

"Halo, aku datang!" Gadis itu terhenti. Kakinya seperti terlem di lantai. Tatapan tertuju pada pria yang mengenakan kemeja abu-abu. "Ini mimpi!" Dia menepuk pipi dengan keras hingga menimbulkan bunyi. Dia meringis kesakitan sendiri, sedangkan tiga orang itu memandang nyeri.

"Gak mungkin, gak mungkin!" Sisil berbalik, mengucek-ucek mata. Kemudian dia berbalik lagi. Sisil memegang dada, saat Keni sudah berdiri tepat di hadapannya.

"Kamu be-ne-neran?" Repleks tangan putih itu menyentuh pipi Keni. Mereka memejamkan mata, lalu saling berpelukan. Tangis haru memenuhi ruangan. Allea bahkan terisak, ikut terharu. Josua menarik istrinya ke pelukan, membiarkan wanita itu menangis di sana.

***

TBC.

KenSil (Kisah yang Belum Usai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang