16. Berbeda

21 16 0
                                    

"Kadang bersikap bodo amat itu perlu untuk menghindari sakit hati."

_____________________________________________

Sisil berdiri di teras, menatap langit yang gelap. Biasanya ada bintang yang menemani, tapi malam ini dia benar-benar sendiri. Petir mulai bersahut-sahutan. Rinai pun tiba. Malam ini hati Sisil juga mendung, bahkan matanya sudah entah berapa kali mengeluarkan hujan. Sisil kecewa dan marah pada diri sendiri. Selama ini penilaiannya telah keliru. Awalnya dia berpikir kalau Keni hanya kurang kasih sayang dari orang tua makanya nakal. Sekarang Sisil percaya kalau Keni memang bukan anak baik-baik.

"Dek, masuk! Udah ujan, lho," ucap Josua dari ambang pintu. Sisil menoleh, membalas dengan senyum kecil.

"Diajak masuk malah senyum. Buru! Petirnya juga gede-gede, noh!" seru Josua lebih lantang.

"Iya, iya," balas Sisil kemudian menurut – masuk ke rumah.

"Kenapa, sih? Mukanya kusut amat kek gorengan basi," celetuk Josua sembari mengunci pintu.

Sisil menghela napas panjang." Bang, boleh curhat nggak?"

"Ya elah, adek gue sekarang mau curhat pake bilang-bilang. Langsung aja, Surip!" titah Josua sembari menaikkan satu kaki di atas kaki satunya setelah duduk.

"Sisil, Bang! Surip-Surip!"

"Buru cerita, lelet amat, sih."

Sisil memayunkan bibir kemudian mengambil posisi di samping Josua. Dia menceritakan kejadian tadi siang dengan runtun, sedangkan Josua mendengarkan dengan seksama.

"Apa ini ada hubungannya dengan Allea?" Hati Josua mulai bertanya-tanya. Apa Keni sudah menemukan pelakunya?

"Jadi, maksud kamu Reon yang benar, begitu?" Josua menaikkan sebelah alis.

"Iya, tentu saja, Bang. Secara nih, ye, Keni itu pembulli parah banget! Dari dulu dia emang suka gangguin Reon. Gue enek liat mukanya."

"Kalau Reon yang berbuat salah, gimana?"

"Ya, gak mungkinlah, Bang," sangkal Sisil," kenapa abang jadi kek nyudutin Reon, sih?" Sisil memasang wajah cemberut.

"Bukan menyudutkan, tapi abang takut aja kamu bela yang salah. Udah, ah dah malem. Bobok, gih!" Josua bangkit dari duduknya, berjalan menuju kamar. Sisil yang masih terdiam mulai berpikir, seperti ada yang sedang disembunyikan sang abang, tapi apa?

***

Di kediaman keluarga Adinegara, seorang cowok jangkung yang hanya mengenakan baju pendek tipis duduk di teras. Dia tak peduli dengan petir yang menggelegar maupun hujan deras. Dia termenung memikirkan semua kejadian. Tadi sore sang papa mengirimkan pesan tentang kepulangan mereka besok. Ada kelegaan dan kecemasan dalam waktu bersamaan. Terutama masalah Allea. Apa yang akan dikatakan?

"Den masuk, dingin, lho," sentak Bi Sumi yang menyentuh pundak Keni.

"Eh, iya, Bi. Entar lagi masuk, kok," balasnya sambil tersenyum simpul. Bi Sumi pun masuk kembali, sedangkan Keni bangkit. Berjalan pelan, lalu mengulurkan tangan di bawah tetesan hujan yang jatuh dari genteng.

"Kamu itu seperti hujan. Bisa digenggam, tapi hanya sesaat." Keni menarik tangannya kembali. Dia mengusapkan tangan yang basah itu ke wajahnya.

"Besok ... mungkin semua akan berubah," ucapnya lagi sebelum melangkahkan kaki masuk rumah.

Tidak ada yang tahu tentang hari esok, kan? Kadang apa yang telah direncanakan secara matang bisa jadi ada penghalang hingga semua hilang. Ada kalanya apa yang kita impikan tak sesuai dengan kenyataan, mungkin juga berbanding terbalik dengan harapan. Namun, namanya juga hidup. Kita butuh keikhlasan dan kerja keras untuk mendapatkan semua.

"Bang." Suara lembut itu menarik perhatian Keni secara utuh. Dia segera menghampiri Allea yang berdiri di ambang pintu kamar.

"Kenapa, Dek? Ada yang perlu Abang bantu atau ada yang sakit?" Keni menyentuh bahu sang adik. Allea menggeleng, dia menghambur – memeluk tubuh Keni dengan erat.

Dengan lembut Keni mengusap kepala Allea sambil berucap," Abang udah menemukan siapa pelakunya. Abang janji, dia akan merasakan akibat setimpal yang akan menghancurkan hidupnya."

Allea mengurai pelukan kemudian menggeleng. "Jangan main kekerasan, Bang. Aku mohon ... berhentilah menjadi raja bulli!" Allea terisak di sela-sela ucapannya.

"Tapi, Dek, ini beda. Ini bukan bullian, ini –"

"Udah, Bang, stop! Semua ini juga terjadi karna Abang. Coba aja, Abang itu bukan raja bulli. Pasti beda lagi ceritanya." Allea menyela dengan cepat.

"Abang gak peduli! Yang terpenting orang itu harus mendapatkan ganjaran. Kalau perlu, dia mati membusuk di penjara!"

"Jangan, Bang!" bantah Allea dengan keras. Namun, Keni tak peduli.

Keni melenggang masuk ke kamar. Dari dalam sana dia mendengar tangisan Allea yang memintanya berhenti menjadi pembulli. Sebenarnya bukan tidak mau, tapi yang perlu dihadapi kali ini bukan orang yang bisa dengan mudah dimaafkan. Orang itu sudah menghancurkan masa depan adiknya.

***

Udara terasa menusuk karena hujan semalaman. Sisil membuka pintu depan, hingga menampilkan bunga-bunga yang segar. Dia tersenyum hangat, mendekat ke arah tanaman itu. Menghirup semerbak bunga-bunga indah yang berwarna-warni. Waktu sudah menunjuk ke angka 06.30, tapi Sisil malah mengambil cangkul kecil dari belakang untuk membersihkan rumput yang mulai tumbuh.

"Sekolah, Dek! Malah ngurusin bunga!" tegur Josua dari ambang pintu.

"Iya, Bang. Entar lagi juga kelar," sahut Sisil tanpa menoleh.

"Terserah!"

Sisil bersenandung kecil, melanjutkan kegiatannya. Setelah merasa rapi, dia pun masuk ke rumah. Berjinjit agar sang abang tak tahu kalau kakinya jorok. Sayang sekali, rencana Sisil gagal. Josua berdiri tepat di hadapannya dengan tatapan garang. Josua merupakan lelaki pembersih, dia tak suka sedikit pun kotor dalam rumah. Berbeda dengan Sisil yang ceroboh dan sumrawutan kalau melakukan apa-apa.

Sisil menggaruk kepala bagian belakang. "Eh, abang ganteng," ucapnya cengengesan.

"Hari ini abang gak bisa antar kamu ke sekolah, ya." Josua berbalik meninggalkan Sisil.

"Hah? Abang tega bener, masa cuma karena lantai doang aku nggak diantar. Terus aku naik apa, dong?" Sisil memoyongkan bibir.

"Motor kamu, kan udah beres. Apa lagi?" Josua tetap melanjutkan langkah tanpa menoleh.

"Iya, juga, ya. Aku kemanjaan minta diantar mulu," ucap Sisil bergumam.

Sisil melajukan motor dengan kecepatan sedang. Macetnya kota Bandung di pagi hari bukan lagi hal baru. Sudah menjadi kebiasaan berbaris sempit di jalan raya, bedanya hari ini Sisil sendiri. Dia menoleh lama ke sebelah kanan. Sebuah motor tak asing ikut bermacet-macet di sana. Sisil berdecih kecil, untuk apa juga mengurus orang itu. Toh, dia bukan orang yang pantas diurusin.

***

Tbc ....

KenSil (Kisah yang Belum Usai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang