Sambil menikmati semangkuk bakso yang dijual di kantin kampus, Sella kembali mengingat percakapannya dengan Dio beberapa hari yang lalu.
"Merahasiakan status?" tanya Dio, mengulang ucapan Sella.
Sella mengangguk. "Eu'um, jangan sampai ada yang tahu kalau aku ini keponakannya Uncle D."
"Kenapa begitu?" tanya Dio.
'Kalau nggak gini satu kampus pasti akan ngejar-ngejar aku untuk meminta dicomblangin. Enak saja siapa juga yang rela melakukan hal itu, dari pada membantu mereka lebih baik aku membantu diriku sendiri untuk mendapatkannya,' batin Sella.
"Pokonya jangan sampai ada yang tahu, titik!"
Sella kembali fokus pada mangkuk baksonya, tak lama tatapannya beralih pada dua orang sahabatnya yang saat ini sedang membicarakan dosen baru, siapa lagi kalau bukan pamannya, Dio.
"Nggak sabar deh mau lihat tampangnya," ucap salah satu pria berambut panjang yang memiliki paras cantik melebihi kecantikan perempuan pada umumnya.
Stevan, atau dia yang lebih suka dipanggil Steva ini memiliki cita-cita untuk bisa menjadi seorang wanita tulen. Belum jadi wanita tulen saja sosoknya memang sudah terlihat seperti seorang wanita, bahkan lebih cantik dari wanita asli. Terkadang Sella sendiri merasa tersaingi olehnya.
"Bukan cuma kamu aja, aku juga penasaran," sahut wanita lain bernama Sisi yang duduk di hadapan Sella.
Kali ini asli wanita ya, bukan jadi-jadian kayak Steva, luarnya Tuan Putri dalamnya Rambo.
"Seharusnya kalau memang asli keturunan Gillbert, tampangnya pasti Hot. Sumpah nggak sabar pengen lihat sosok aslinya!" lanjut Sisi, gemas sendiri.
'Keturunan Gillbert kah...," batin Sella.
'Kalau kalian ingat, sekitar 40 tahunan yang lalu kampus ini pernah memiliki cerita besar, di mana seorang pria super tampan pernah menjadi dosen dan sangat digandrungi oleh satu kampus. Pria itu adalah kakekku, Gabriel Gillbert. Nama Gillbert begitu melekat di kampus ini, jadi nggak heran kalau semua orang sedang membicarakan Uncel D, karena Uncel adalah keturunan langsung dari seorang Gabriel Gillbert. Inilah sebabnya aku tidak ingin satu kampus tahu kalau aku memiliki hubungan keluarga dengan Uncle, mereka pasti akan mengejarku karena alasan ingin menjadikanku sebagai alat comblang mereka.'
"Menurutmu gimana, Sel?" tanya Steva pada Sella yang masih menikmati sisa-sisa kuah baksonya dan terkadang gadis itu juga mengemut sendoknya.
"Em?" Sella hanya menggumam.
"Ampun deh ini anak, kenapa nggak sekalian kamu telan aja sama mangkok-mangkoknya," celatuk Sisi melihat tingkah Sella yang di luar ekspektasi. Cantik tapi annoying pikirnya.
Steva tertawa, namun tawanya hilang saat Sisi lanjut bicara. "Kalah kamu sama Steva, dia aja yang bukan perempuan asli nggak pernah berprilaku annoying kalau makan. Belajarlah dari dia!"
"Woi! Apa maksudmu?"
Sella tertawa mendengar suara berat khas lelaki milik Steva. "Marah tuh yang dipuji," ucap Sella.
"Jangan ngambek dong, aku kan muji kamu Stev...."
"Pujian dan penghinaanmu itu beda tipis!" grutu Steva.
"Tenang, nggak setipis bulu ketiakmu kok," sahut Sisi sambil tertawa.
"Dih ni anak, ketiakku nggak berbulu. Tiap hari aku cukur!"
"Di wax dong, biar tiap hari nggak cukur," sahut Sisi.
"Ogah, nggak lagi-lagi deh!" Ucapan Steva mengingatkan Sisi saat pertama kali dia membantu Steva waxing. Jeritan khas pria Steva terlontar saat Sisi mencabut bulu ketiak Steva dengan cara di wax.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncle D, Please be Mine
RomanceWARNING!!! : Adult Content 21++ (On Going) "Sampai saat ini aku masih mencintaimu, Uncle!" ungkap Sella. Dia masih belum menyerah juga, batin Dio-Sang Paman. Dio menghela napas. "Oh, ayolah! Aku ini pamanmu, umur kita beda jauh. Aku sudah menganggap...