Sudah lebih dari sepuluh menit Dio berdiri di bawah guyuran air shower. Dia terdiam memikirkan semua yang telah terjadi. Pria itu bingung harus berbuat apa.
Sebelumnya dia sangat yakin dengan tekadnya untuk tidak akan terbawa perasaan terhadap Sella. Tapi rasa sakit yang gadis itu rasakan membuat hatinya mulai goyah.
Dio mengepalkan kuat tangannya. "Arghhhh!"
Bugh!
Rasa frustrasi membuatnya meluapkan emosi dengan cara memukul dinding. Terlihat buku jemarinya memerah. Dia bisa merasakan sakitnya, tapi rasa sakit itu tak sebanding dengan rasa sakit yang dirasakan Sella.
"Dia tak akan pernah bisa bahagia jika bersamaku ...," gumamnya.
'Jadi, menurutmu kebahagiaan itu harus diukur dari kehadiran seorang anak? Tidak bisakah kita bahagia walau tak memilikinya?'
Pertanyaan yang pernah Dio lontarkan kepada Nisya kembali terngiang.
Flashback ….
"Mungkin kamu bisa menerima kenyataan, tapi tidak denganku," ujar Nisya.
"Kalau begitu kita bisa mengadopsi anak."
Nisya menggelang. "Aku ingin menjadi wanita sempurna. Aku ingin memiliki anak yang kulahirkan dari rahimku sendiri."
"Kalau begitu kita ambil program bayi tabung, dokter mengatakan bahwa masih ada cara ini bukan?"
Nisya kembali menggelang. "Sudah terlambat," ucap wanita itu.
"Apa maksudmu?" tanya Dio dengan kening berkerut.
"Coba sejak awal kamu tidak keras kepala menolak program itu, aku pasti masih ada untukmu. Sudah lebih dari tiga tahun aku menunggumu mengatakan hal itu, tapi kamu tetap saja keras kepala ingin mencoba dengan cara yang normal. Aku lelah, Al ...."
"Jadi kamu tetap memilih untuk pergi dan menghianatiku?" tanya Dio dengan tatapan terluka.
"Apa selama ini kamu mencintaiku?" tanya Nisya.
"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu!"
Nisya kembali menggelang. "Yang aku rasakan, keegoisanmu itu jauh lebih besar daripada rasa cintamu kepadaku."
"Beri aku kesempatan, kita lakukan program itu. Belum terlambat untuk melakukannya, aku-"
"Sudah terlambat Al, maaf...," putus Nisya. "Saat ini aku sedang hamil," lanjut Nisya sambil mengelus perutnya yang masih rata.
Dio hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya jika saja dia tidak berpegangan pada dinding.
"Dias telah mewujudkan impianku, dia telah memberikanku seorang anak," ujar Nisya.
Kali ini Dio benar-benar tak lagi bisa berbuat apapun. Mengetahui Nisya selingkuh dengan Dias saja sudah membuatnya terpuruk, apalagi setelah dia tahu bahwa Nisya lebih memilih Dias karena pria itu mampu menjadikan Nisya sebagai seorang wanita. Dio benar-benar terpukul.
Mungkin benar yang Nisya ucapkan, dia terlalu egois dan juga bodoh. Andai saja ....
"Tolong segera ceraikan aku, karena aku akan segera menikah dengan Dias," pinta Nisya dengan nada memaksa.
Dio menatap tajam, ada luka yang terlihat jelas di matanya. "Kalau ini caramu, baiklah … kamu akan mendapatkannya. Kita bercerai!"
Dio yang masih berdiri di bawah pancuran shower menyandarkan keningnya di dinding. Masa lalu yang kelam itu membuatnya tak ingin melangkah dengan siapa pun lagi. Dio selalu merasa tak yakin dengan yang namanya kebahagiaan. Baginya kebersamaan bukanlah patokan dari yang namanya kebahagiaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncle D, Please be Mine
RomanceWARNING!!! : Adult Content 21++ (On Going) "Sampai saat ini aku masih mencintaimu, Uncle!" ungkap Sella. Dia masih belum menyerah juga, batin Dio-Sang Paman. Dio menghela napas. "Oh, ayolah! Aku ini pamanmu, umur kita beda jauh. Aku sudah menganggap...