(๑˙Enam❥˙๑)

9.7K 1K 102
                                    

'Jangan salahkan perasaan, karna kenyamanan datang begitu saja saat seseorang mulai menuai kepedulian.'

🌹 🌹 🌹

[Peduli]

Bola basket Kenta sudah ketemu.

Tapi sialnya mereka malah terkurung di gudang seperti ini.

"Hape gue di luar ada di dalem tas. Sini hape lo." Allin langsung menyerahkan ponselnya pada Kenta. Pria itu terlihat terkekeh diam-diam. Untuk pertama kalinya Allin melihat senyum indah pria itu.

"Ke-Kenapa?"

"Gapapa, wallpaper lo lucu aja."

Allin terbelalak lalu hendak merebut ponselnya kembali tapi Kenta menahannya. "Telat. Gue udah liat,"

Allin menghela nafas berat. Ia memang memasang wallpaper di ponselnya foto ia saat masih umur 4  tahun dengan dua lolipop di tangannya dan ujung bibir sampai pipinya yang berantakan dengan bercak coklat karna makan berantakan. Allin sangat malu sekarang.

"Lo gak punya nomor Jellina?"

Allin menggeleng. "Belum sempet tuker nomor, Kak,"

Kenta mendengus kesal. Yang ada di kontak Allin hanyalah Reta, Fira dan Kayla.

Kenta hendak menelpon nomornya saja. Walaupun di luar sepi, semoga saja ada orang yang lewat dan mendengar bunyi nada dering ponselnya.

Dan--

Nihil.

"Gimana?" Tanya Allin penuh harap.

"Gak ada yang denger. Kayaknya sekolah udah sepi banget." Kenta pun mengembalikan ponsel Allin. Ia duduk sambil bersandar di dinding.

Kenta memejamkan matanya mencoba tetap rileks. Walaupun ia benar-benar kesal terjebak di sini.

Tiba-tiba Kenta membuka matanya. "Oh iyah, tiga orang yang ada di kontak lo itu, ada yang rumahnya deket sini?"

Allin menggeleng pelan. "Mereka ada di kampung aku,"

Kenta mengdengus kasar.

ლ(´ ❥ 'ლ)

5 jam telah berlalu. Mereka benar-benar hanya duduk saja dengan pasrah karna memang tidak ada solusi selain menunggu besok pagi saat semua gudang di buka satu per satu oleh sang guru masing-masing ataupun penjaga sekolah.

"BoNyok gue pasti cuma ngira gue nginep rumah temen kalo gak pulang gini kayak biasa. Kayaknya orang tua lo pasti bakal cariin lo dan akan jemput ke sini deh, tunggu aja. Mereka gak mungkin gak cari lo kan?" ujar Kenta yakin.

"Aku harap kayak gitu," Allin tersenyum samar, "Orang tua aku udah gak ada sejak aku umur satu tahun,"

Kenta terhenyak.

Padahal Allin terlihat ceria sekali. Ternyata sikap seseorang tak membuktikan seberapa besar rasa sakit yang mereka miliki.

"Hachim!" Allin mengusap hidungnya yang gatal. Tubuhnya terasa lemah dan kedinginan.

"Lo gapapa?" Tanya Kenta melihat wajah pucat pasi Allin. Biasanya Kenta tak perduli jika saja ini tempat ramai karna akan ada orang lain yang menolong selain dirinya. Tapi ini? Hanya ada dirinya. Bagaimana bisa Kenta diam saja.

"Cuma dingin," lirih Allin pelan dengan suaranya yang terlihat serak.

Shit, Kenta harus bagaimana. Di tempat seperti ini apa yang bisa menghangatkan. Selimut mana mungkin ada. Yang ada hanya ranjang rantai besar untuk basket dan bola-bolanya.

Kenta menghela nafasnya kasar. "Ngerepotin."

Grep

Allin terbelalak saat tangannya di tarik oleh Kenta hingga tubuhnya terjatuh ke dalam pelukan hangat pria itu.

Allin hendak melepas, tapi Kenta menahannya. "Sebenernya gue bukan orang yang penolong. Tapi gue gak mau ada berita kalo ada siswa gila yang biarin seseorang mati dihadapannya. Jadi, buruan tidur. Besok lo langsung ke rumah sakit.  Demam lo bisa tinggi kalo kedinginan." Kenta juga memasangkan jas seragamnya pada Allin.

"Ta-Tapi--"

"Diem. Gue bisa berubah pikiran."

Akhirnya Allin hanya pasrah dan menurut saja karna dirinya sudah benar-benar seperti tak punya energi. Lagipula yang di bilang Kenta benar.

Nyaman sekali berada di dalam pelukan hangat pria itu. Nyaman dan rasa dingin lumayan mereda. Tapi Allin yakin Kenta yang kedinginan sekarang.

"Dari awal aku udah tau. Sejutek-juteknya Kak Kenta, Kakak emang orang baik." Lirih Allin pelan sekali hampir seperti gumaman.

"Jangan berisik. Nanti demam lo naik lagi. Ngerepotin tau gak,"

Allin tersenyum di dalam pelukan Kenta, lalu ia memejamkan matanya.

ABOUT KENTA [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang