Bagian Kedelapanbelas

24 2 0
                                    

Aji menatap heran kerumunan di tengah jalan seperti itu, apa ada kecelakaan?

Aji menghentikan laju mobilnya, kemudian turun dan bergegas melihat apa yang menjadi titik kerumunan itu.

"Yaswa?" Aji semakin terkejut melihat Yaswa yang terduduk di jalan, dan orang-orang ini hanya melihat tanpa berniat membantu.

Yaswa berusaha berdiri dengan lutut yang terluka. Dia menatap pengendara motor yang tadi menyerempetnya.

"Yaswa nggak papa pak, tapi lain kali kalo bawa motor itu lebih hati-hati lagi."

"Masih mending Yaswa yang cantiknya jelita yang kena senggol, gimana kalo anak kecil? Kan berabe. "

Pengendara motor itu mengangguk, "Sekali lagi, maaf ya Neng, saya nggak sengaja tadi."

"Gimana kalo saya anterin ke rumah sakit?" tawar pengendara itu.

Yaswa menggeleng, "Nggak usah pak, ini juga cuma lecet doang," ucapnya seraya terkekeh pelan.

Pengendara motor itu tersenyum kemudian pamit melanjutkan perjalanannya.

Yaswa mendengus, ini semua salah sahabatnya, sudah tau dia tidak ada kendaraan masih saja di suruh pergi nongkrong.

Yaswa berbalik hendak pergi meninggalkan kerumunan. Dasar human, sudah tau ada orang celaka malah cuma liat doang. Mana pada bikin status lagi, emang dikira Yaswa sedang bikin sirkus.

"Aji!"

Yaswa membulatkan matanya melihat Aji berdiri di antara orang-orang itu, sejak kapan? Dan bagaimana Aji bisa berada di situ?

Aji berjalan mendekati Yaswa dengan raut datar, dia menggenggam Yaswa kemudian berlalu menuju mobilnya terparkir.

"Masuk."

Yaswa langsung masuk ke dalam mobil Aji tanpa penolakan.

Aji berjalan memutari mobil kemudian melajukan mobilnya.

Yaswa melirik Aji. Dia berdehem berusaha memulihkan suaranya. "Lo, kenapa bisa ada disana?" tanya Yaswa pelan.

"Lo sendiri kenapa bisa disana?"

"Tadi nggak sengaja ada insiden kecil, jadi ya gitu deh," ucap Yaswa.

Aji melirik lutut Yaswa yang terluka, "Kenapa lo nggak marahin orang yang nabrak lo?" tanya Aji.

Yaswa tersenyum, "Untuk memberi tahu kesalahan, nggak harus dengan kemarahan kan?"

"Kalo gue marah-marah, pasti orang itu nggak mau ngakuin kesalahannya, dan mungkin dia akan marah balik ke gue."

"Lagian, ini bukan luka besar sampai harus di rawat di rumah sakit," Imbuh Yaswa.

Entah kenapa beberapa hari ini, Yaswa selalu membuatnya salut. Gadis ini, sulit di tebak. Dia mungkin gila dengan segala tingkahnya, tapi dalam menghadapi sesuatu Yaswa bahkan lebih bijak dari orang normal.

"Btw, tumben lo pake mobil?"

Aji cuma melirik Yaswa, tanpa berniat menjawab pertanyaannya.

"Oh ya, lo anterin gue ke cafe Teklam ya, " Pinta Yaswa.

"Dengan luka lo itu, lo masih pengen ke sana?"

Yaswa tersenyum kikuk, "Sahabat gue lagi nunggu di sana, jadi nggak enak kalo gue batalin janji yang mereka buat."

Aji tidak membalas ucapan Yaswa, dia justru menghentikan mobilnya di pelataran apotek.

"Kita ngapain disini?" tanya Yaswa bingung.

"Turun"

Yaswa mendengus, tapi memilih menurut.

Aji berjalan menuju ke dalam apotek. Yaswa memilih duduk di tangga depan apotek tersebut.

Dia memegang luka di lututnya, "Awss, ternyata sakit juga yah, " rintihnya pelan.

Yaswa menoleh melihat Aji yang berjongkok di depannya.

"Lo ngapain?!"

Aji melirik Yaswa sekilas kemudian melanjutkan kegiatannya.

"Aji! Pelan-pelan!" teriak Yaswa lebay.

"Aji!"

"Gue bahkan belum ngobatin lo, dan lo udah teriak-teriak?" ucap Aji dengan geleng-geleng.

Yaswa menggaruk belakang kepalanya.

"Tahan."

Aji mulai mengobati Yaswa. Yaswa memejamkan matanya berusaha menahan perih akibat obat itu.

Aji meniup luka Yaswa, dasar ceroboh. Sampai kapan gadis ini tidak akan membahayakan dirinya sendiri.

Terakhir, Aji menutup luka Yaswa dengan perban.

Aji mendongak berusaha melihat Yaswa. Dia tersenyum tipis melihat Yaswa yang masih memejamkan mata, padahal jelas-jelas dia sudah selesai mengobati lukanya.

Aji memudarkan senyumnya, dari jarak sedekat ini, Yaswa terlihat berbeda. Dia cantik, bahkan hampir sempurna, jika tingkah absurdnya tidak ada.

Yaswa membuka kedua matanya, setelah merasakan Aji selesai dengan kegiatannya.

Yaswa terdiam, tatapannya terkunci dengan tatapan Aji. Jantungnya berdisko ria, seperti lari maraton mengelilingi benua.

Yaswa memutuskan kontak mata itu, dia tersenyum kikuk pada Aji.

"Ma-makasih Ji."

Sungguh, di tatap seperti itu oleh Aji membuat kinerja jantungnya jadi tidak normal. Di takut, bila kelamaan seperti tadi, jadi terkena serangan jantung.

Aji mengangguk, masih menahankan ekspresi datar. Kemudian berdiri dan berjalan menuju mobil.

Yaswa melongo melihat Aji yang berjalan meninggalkannya. "Wtf?! Dia masih bisa bersikap sok nggak tau gitu?! Hebat." ucap Yaswa tidak habis pikir.

Yaswa berjalan tertatih menuju mobil Aji. Yaswa memasuki mobil, tanpa bicara sepatah kata.

Aji melajukan mobilnya selama beberapa menit, menuju tempat tujuan Yaswa.

"Makasih Ya...."

Aji mengangguk singkat. Yaswa menghela napas pelan, kemudian melepaskan sealtbelt.

Yaswa terdiam, dia melirik Aji yang masih melihat ke depan.

"Lo mau kemana?"

Aji menatap Yaswa seraya mengangkat alis. "Buat siapa?" tunjuk Yaswa pada jok belakang Aji.

Aji melirik bunga itu sekilas, "Orang yang gue sayang."

"Orang yang lo sayang?" tanya Yaswa memastikan.

"Dia segalanya buat gue," kata Aji.

Yaswa berusaha tersenyum, dia bersiap keluar tapi di tahan Aji.

"Kenapa?"

"Bawa, dan jangan lupa ganti perbannya."

Yaswa melirik plastik berisi obat-obatan itu, dia menerima dan langsung keluar.

Aji menatap Yaswa bingung, tapi memilih membiarkan.

Yaswa menatap kepergian mobil Aji dalam diam. Kenapa Aji hobby sekali menjungkir balikkan hatinya?

Orang yang dia sayang? Lalu kenapa Aji masih memberikan harapan padanya?

"Kalo emang lo udah punya orang yang spesial, jangan buat gue berharap Ji," gumam Yaswa pelan.

Yaswa menghela napas kemudian berjalan masuk ke dalam cafe.

HALLU PARA READERS.
FOLLOW IG : @ ellsntka_

My Captain (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang