Matahari sepenuhnya muncul saat kami selesai. Aku membuat sarapan untuk kami berdua sementara Jungkook setuju membereskan kekacauan yang kami buat di sofa dan ranjang.Tangannya selalu menyentuhku saat ada kesempatan begitu juga bibirnya yang seolah tidak pernah puas menciumku. Aku selalu menghentikannya dengan paksa atau kami akan bergulat lagi di tempat tidur tanpa sarapan. Dan itu terdengar sangat menggoda untuknya tapi tidak untukku. Aku memiliki kewajiban sekarang.
"Kenapa Aku tidak boleh bertemu adikmu?" Tanyanya saat setelah selesai sarapan dan aku mengusirnya.
"Belum." Koreksiku.
Aku tidak berharap Jimin akan melihatku berpacaran dengan pria yang masih bersekolah.
Dia cemberut. "Kau malu denganku?" Tanyanya menuduh.
"Jungkook-ah, ini pertama kali kami bertemu lagi semenjak kematian kedua orang tuaku. Aku membutuhkan waktu dengannya tanpa orang lain ikut di dalamnya." Aku tidak sepenuhnya bohong.
Dia masih tidak terima namun akhirnya mengangguk. "Aku mengerti." Dia mencium kening dan bibirku dengan lembut. "Beri tau aku saat adikmu pergi."
Aku mengangguk.
"Apa yang harus kulakukan di akhir pekan." Gerutunya pelan dengan wajah yang di tekuk. Dan itu sangat terlihat menggemaskan.
"Kau bisa belajar." Sahutku.
Dia memutar mata lalu mendengus. "Pokoknya segera hubungi aku saat adikmu pergi."
Aku mengangguk. "Iya iya, sekarang pergilah."
Dia menciumku lagi dengan cepat. "Aku mencintaimu." Katanya lalu pergi.
Sepeninggalnya aku menyalakan ponselku yang kumatikan sejak kemarin. Aku yakin Jimin menghubungiku, dan benar saja pesan singkat dan panggilan tidak terjawab semuanya berasal dari adikku.
Aku menekan nomornya sebelum menempelkan ponsel di telinga, terdengar nada sambung dua kali sebelum dia menjawabnya.
"Noona!" Sahutnya lega. "Akhirnya kau menghubungiku. Kau tau berapa kali aku mencoba menghubungimu, eoh? Kau memutuskan teleponku tiba-tiba dan tidak bisa dihubungi. Aku hampir mati cemas tau!" Suaranya bergetar seperti hampir menangis.
Ya ampun adik laki-lakiku yang manis.
"Maaf, aku ada urusan mendadak. Aku tidak bermaksud membuatmu cemas. Maafkan aku, hm?"
"Baiklah, tapi lain kali kau jangan melakukannya lagi. Aku hampir menerobos asrama untuk menyusulmu. Aku begitu takut terjadi sesutau padamu. Aku takut—kau.. kau meninggalkanku seperti Eomma dan Appa." Suaranya benar-benar bergetar dan aku yakin dia menangis.
Aku jadi merasa berasalah padanya. Dia mengkhawatirkanku semalaman sementara aku?
"Arraseo, maafkan aku Jimin-ah." sahutku lembut. "Tapi kau tidak membatalkan janji kita kan?"
"Tentu saja tidak, aku sudah di terminal menunggu bus ke Seoul."
Aku tersenyum. "Aku akan menjemputmu di terminal bus. Setelah itu kita bisa langsung memutuskan untuk kemana."
"Kedengarannya menyenangkan." Sahutnya ceria. Nada sedih menghilang sepenuhnya dari suara beratnya.
"Baiklah, sampai ketemu nanti." Kataku dan mengakhiri panggilan.
Sambil menunggu, Aku membuat bekal makan siang untuk kami. Dua jam berikutnya aku menghabiskan waktuku di dapur sebelum berangkat menjemput adikku.
Lebih dari dua puluh menit aku menunggu bus yang membawa Jimin di terminal. Hampir tiga bulan kami tidak bertemu, dia terlihat lebih tinggi dan tentu saja tampan dari terakhir aku melihatnya.
Jimin berlari dan langsung memelukku, mengangkat tubuhku yang lebih kecil darinya dan memutar. Kami saling tertawa seperti mendapat lotere. Dia menurunkanku dan menjauhkan wajahnya melihatku.
"Aku sangat merindukanmu Noona."
Aku memeluknya lagi sekilas. "Begitu juga denganku." Aku menepuk lengannya ringan. "Wahh uri Dongsaeng terlihat lebih tampan sekarang."
Dia tersenyum malu-malu sambil melepas topinya dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal sebelum memakainya lagi. Aku melingkarkan tanganku di lengannya dan mengajaknya berjalan ke luar terminal.
"Jadi, apa Adikku yang tampan ini sudah punya pacar?" Tanyaku menggoda.
Dia terkekeh. "Tentu saja tidak, aku belum memikirkannya. Bagiku sekolahlah yang terpenting."
Aku mengangguk. "Aku setuju, fokuslah dulu pada pendidikanmu."
Aku mengarahkannya ke halte bus terdekat. Dia melihat ke sekeliling lalu menatapku penuh harap.
"Noona, Bagaimana kalau kita ke kampusmu?"
"Huh? Kampusku? Apa itu tujuan pertama kita?"
Dia mengangguk antusias. Aku menyetujuinya dan kami menunggu bus yang membawaku ke kampus. Aku mengajaknya berkeliling, menunjukkan beberapa kelas yang biasa ku gunakan lalu fasilitas apa saja yang ada di kampusku. Saat melewati papan pengumuman Jimin menyimak beasiswa yang ditawarkan universitas.
"Berminat dengan Beasiswa?" Tanyaku.
Dia mengangguk tanpa melihatku, matanya terfokus pada papan di depannya. "Biaya kuliah sangat mahal, aku tidak bisa bergantung pada Noona. Kita juga tidak bisa menjual rumah peninggalan Appa. Hanya beasiswa yang bisa menyelamatkanku." Katanya kemudian melihatku dan tersenyum.
Aku menatapnya sejenak sebelum membuka suara. "Kau bisa mengandalkanku, Jimin. Tahun depan aku lulus, aku tidak memiliki pinjaman pendidikan dan itu bisa kugunakan untukmu. Aku ingin kau mengambil kesempatan dan masuk ke universitas terbaik."
"Terimakasih Noona, aku sangat menghargainya. Tapi aku ingin berusaha mendapatkan beasiswa terlebih dulu."
Aku tersenyum bangga padanya. Adik laki-lakiku yang baru berumur enam belas tahun begitu terlihat dewasa. Aku memeluknya singkat sebelum melanjutkan tour singkat kami.
Kami maenyantap makan siang di taman yang tidak jauh dari lingkungan kampus. Dia menceritakan rencana masa depan yang telah disusunnya. Bidang apa yang akan dia ambil, beasiswa yang cocok, hingga perusahaan yang menjadi impiannya. Aku mendukung Jimin sepenuhnya, dia telah dewasa dan bisa memilih untuk jalan hidupnya sendiri.
Aku bukan lagi merasa sebagai kakak melainkan sebagia tutor. Ini bukan acara jalan-jalan yang semula kami rencanakan. Aku dan Jimin justru pergi mengunjungi beberapa kampus di ibukota.
Kami memanfaatkan waktu akhir pekan karena kampus-kampus tidak akan seramai hari biasa. mengumpulkan beberapa brosur dari berbagai jurusan dan mengumpulkan beasiswa yang tersedia. Hingga menjelang malam Aku mengantar Jimin kembali ke terminal bus.
Sejak awal kedatangannya dia memang tidak berniat untuk bermalam di tempatku. Dia masih harus mengerjakan tugas bersama teman-temannya besok. Jadi dengan berat hati aku harus membiarkannya kembali ke asrama. Kami berpelukan erat sebelum Jimin masuk ke dalam bus. Sebelum Dia pergi aku berjanji akan bergantian mengunjunginya.
Dan saat bus yang di tumpangi Jimin mulai menjauh, aku segera merogoh ponselku dan mengirimkan sebuah pesan untuk Jungkook.
Adikku sudah pergi.
Hah, entah apa yang akan terjadi lagi setelah ini. Tapi jujur saja, aku memang menantikan hal yang tidak-tidak. Bukankah aku terlihat seperti menagih sesuatu dengan mengirim pesan itu?
Sialan, Jugkook memang terlihat sangat memikat untukku saat ini.
—
Aku juga punya adik laki-laki tapi tidak seakur ini wkwk. Yang ada malah tiap hari ribut teross.Eunbi udah ketagihan jeykey sama kayak aku yg ketagihan sama yoongi huhuㅠㅠ
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] Devil Rabbit • JJK ✔️
Fiksi PenggemarCompleted✅ Saat ini aku telah mempunyai pekerjaan. Pekerjaan yang Sebenarnya cukup mudah dan sangat menguntungkan mengingat bayaran yang di tawarkan cukup menggiurkan. Namun semuanya tak sesuai ekspetasi begitu mengetahui murid yang akan aku ajari m...