STROKE YANG KELIMA

180 7 0
                                    

Saat itu hari Minggu. Aku dan keluargaku menempati rumahku yang baru direnovasi. Waktu itu aku tidur di kamar depan. Sebelum tidur, aku sudah meletakkan kacamataku di sudut yang aman. Jauh dari jangkauanku dan jangkauan orang lain, termasuk anak-anakku. Aku ingat betul. Aku tidak memakainya sambil tidur atau meletakkannya sembarangan. Subuh itu, tiba-tiba saja aku terbangun seketika. Aneh. Aku bangun antara sadar dan tidak. Tidak ada yang membangunkanku. Tapi aku mendadak bangun dan duduk. Aku melihat ada bayangan hitam lari keluar dari ruanganku. Cepat aku langsung berdiri dan berjalan untuk mengambil kacamataku. Dan aku kaget... Kacamataku tiba-tiba saja rusak framenya. Sangat aneh. Padahal tidak ada yang mengutak-atik. Aku pastikan itu karena posisinya yang memang aman dan aku adalah yang tidur paling akhir.  Meski tanpa kacamata, aku langsung bergerak cepat memeriksa kemana bayangan hitam itu pergi. Ternyata tidak ada satu orangpun yang bangun. Waktu itu pukul 03.30 WIB.

Karena kacamataku tidak bisa kupakai lagi, maka pagi-pagi sekali aku diantar Papa kerumah Papa untuk ambil kacamata lamaku yang masih ada di sana. Terpaksa aku pakai yang lama. Lumayan, daripada tidak memakai kacamata. Setelahnya, aku balik ke rumah dan persiapan untuk ke Gereja. Tapi, karena anak-anak hari itu rewel sekali dan sampai jam misa dimulai kami belum bisa berangkat, maka kami tidak jadi ke Gereja. Yah.. berhubung mereka sudah rapi, anak-anak tetap memaksa untuk keluar. Akhirnya kami keluar juga. Sampai di Buduran, anakku batuk dan bajunya basah kuyup. Sehingga aku putuskan untuk kembali.

Setelah ganti pakaian dan minum obat, aku minta anak-anak untuk di rumah saja. Batuknya cukup berat. Tapi, anak-anak terus saja memaksa. Entah, sepertinya acara hari itu gagal terus dan aku enggan sekali keluar rumah. Jadi, kalau anak-anak tetap memaksa keluar lagi, aku malas sekali. Solusinya, mereka kami ajak ke Mall yang tidak jauh dari rumah saja.

Baru berangkat beberapa menit dari rumah, hapeku berdering. Mama telepon dengan panik. Katanya Papa jatuh. Aku langsung pulang. Tapi Mama tidak sabar, karena Mama melihat Papa itu dalam kondisi stroke, maka harus secepat mungkin diberikan pertolongan. Untuk itu, Mama langsung minta tolong Mas Wahyudi Setiarosha, tetangga sebelah rumahku, yang berbaik hati mengangkat dan mengantarkan papaku ke rumah sakit. Papa stroke untuk kelima kalinya. Dan kini membuat Papaku lumpuh tak berdaya. Meski hanya lumpuh separoh dan tidak bisa bicara, harusnya Papa bisa segera sembuh kalau ia menurut. Tapi Papa menolak untuk dibawa berobat, menolak difisioterapi dan menolak juga diakupunktur. Benar-benar keras kepala. Kondisi tubuhnya yang sekarang membuatnya marah dan frustasi. 4 kali stroke, Papa selalu berjuang untuk sembuh. Tapi kali ini, Papa nampak kesal dan marah dengan kondisinya. Aku paham. Papa orang yang sangat mandiri. Tidak suka merepotkan orang lain. Jadi, kalau sekarang ia tak berdaya, itu sangat menyiksanya.

Aku tahu, tidak dapat bergerak, tidak dapat berbicara, adalah sangat menyakitkan. Sangat menyiksa untuknya. Oleh karenanya, aku mencoba mengobati hatinya dan terus mengasah ketajaman fikirannya. Setiap hari aku bercerita apa saja pada Papa. Mulai dari berita TV atau media cetak hari itu, cuaca, tanggal, kondisi jalan, menceritakan pekerjaan, kegundahanku, menanyakan kondisi dan perasaannya, menunjukkan foto-foto atau apapun lainnya untuk menghiburnya. Puji Tuhan, selama sakit itu, emosi Papa masih normal. Papa bisa marah, sedih, senang, bosan, malu, menanyakan sesuatu dengan isyarat, termasuk memperingatkan kami bilamana anak-anakku dalam keadaan bahaya. Papa masih mengenali orang dan saat dijenguk kawannya, Papa masih bisa menunjukkan ekspresi senang dan berterimakasih atas perhatian orang dengan ekspresi dan tatapan matanya. Yang kutahu, Papa masih selalu berusaha mandiri, tidak merepotkan orang lain dengan segala keterbatasannya.

100 HARI MENUJU SAKARATUL MAUT (15 Episode - Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang