SAKARATUL MAUT

135 2 0
                                    

SAKARATUL MAUT

Saat itu anakku yang besar sedang dalam minggu ujian. Aku berkonsentrasi mengajari kakak. Seperti biasa aku persiapkan anak-anakku sekolah dan mengantarkan mereka ke sekolah. Saat masih di depan rumah, tiba-tiba Adik (anakku yang kecil)  berbicara padaku “Ma, Adik khawatir Engkong bisa meninggal...”. Aku tidak begitu pedulikan kata-katanya. Tapi tetap kuperhatikan dengan menanyakan alasannya mengatakan demikian. Kata Adik, dia melihat banyak “nyamuk” yang menarik-narik sesuatu dari tubuh bawah Engkong,  ke arah tubuh atas. Dan Adik katakan bahwa darah Engkong banyak. Yang ditarik itu sudah sampai ditenggorokan Engkong katanya.

Hmmm... agak terkejut juga dengan cerita penglihatan Adik. Karena dari apa yang pernah aku baca saat Googling, begitulah cara Izroil mencabut nyawa. Ada banyak malaikat-malaikat kecil yang membantunya menarik nyawa orang yang akan meninggal, dari bagian bawah tubuh hingga sampai ke bagian atas tubuh. Dari yang kubaca, saat paling menyakitkan itu adalah saat nyawa telah berada di tenggorokan. Di saat itu orang yang akan dicabut nyawanya akan merasa sangat kesepian dan benar-benar sendiri. Rasa sakitnya amat tak terperikan. Meski dicabut nyawanya secara lembut, tapi rasa sakitnya bagai 300 kali hujaman belati...! Ya Allah... Aku kepikiran dengan ucapan Adik. Memang saat kami membawa Papa pulang itu, kondisi Papa tidak bagus. Dan saat Adik bercerita itu, memang nafas Papa begitu berat. Seperti sudah sampai di tenggorokan. Selama ini, kalau Papa sesak, langsung aku persiapkan meramu obat nebulizernya. Biasanya diuap 2-3 kali saja Papa sudah lebih baik kondisinya.

Hari itu kami beraktifitas seperti biasa. Kesibukan kami mempersiapkan banyak hal sangat menyita waktu dan perhatian. Waktu itu jam 14.00 WIB setelah bekerja, aku ajak anak-anakku pulang. Badanku lelah dan sedang tidak enak badan. Jadi, begitu sampai rumah aku langsung rebahan sebentar. Belum 15 menit sejak kami pulang ke rumah, tiba-tiba aku mendengar teriakan dan jeritan. Astaga! Dheggggg! Hatiku langsung runtuh dan jantungku berdetak sangat kencang. Papa!

“Mama...!!!! Engkong...!!!!” teriak Kakak sekeras-kerasnya. Kudengar teriakan, jeritan dari suster dan si Kakak anakku yang pertama. Suster sedang mengguncang-guncang Papa. Muka Papa tiba-tiba tertarik semua kesatu arah. Bibirnya menguncup. Kulihat keningnya berdenyut-denyut. Ada cairan busa putih keluar dari mulut Papa. Matanya juga sudah tidak ada eye contact dengan sekelilingnya. Kulihat Papa sangat berusaha keras untuk menarik nafas. Nafasnya sudah dileher. Urat-urat dilehernya sedemikian tegangnya. Berusaha menarik nafas.

Aku panik. Aku tahu ini saatnya. Hatiku seperti kosong. Ada satu ruang dalam hatiku yang-tiba-tiba melompong. Yang kuingat selama ini hanya satu. Jika tak dapat menyelamatkan nyawanya, aku harus menyelamatkan surganya. Kuelus-elus rambut Papa dengan lembut. Kuatur nada suaraku agar terdengar tenang. Untuk itu aku bertarung keras dengan gemuruh hati dan airmata yang kutahan. Dengan bergetar, aku bilang pada Papa.. “Papa..tenang ya Pa. Papa tidak sendiri. Papa punya Allah. Papa punya Mama, Saya, Mbak dan cucu-cucu Papa yang sangat menyayangi. Sekarang Papa ta bimbing berdoa ya...”

Lalu meluncur keras-keras dari mulutku, doa Bapa Kami, Salam Maria dan Kemuliaan. Doa-doa itu terus aku dengungkan sambil kuelus-elus rambutnya dengan penuh rasa sayang. Tidak lupa aku berikan hapeku ke si Kakak. Kuminta dia untuk menelepon Mama supaya mendatangkan ambulance dan Mama segera pulang. Suster Papa kuminta untuk menyiapkan apa saja yang diperlukan untuk dibawa ke rumah sakit.

Aneh. Airmataku tiba-tiba kering. Padahal biasanya setiap aku berdoa untuk Papa, saat disampingnya aku selalu menangis. Setiap hari aku selalu curhat pada Papa. Menceritakan tentang kesedihanku, kegalauanku. Selama ini selalu aku ulang-ulang segala kebaikan Papa yang telah ia lakukan untuk kami. Segala kehebatannya di mata kami, semua kiprahnya selama ini. Aku tekankan bahwa kami sangat berterimakasih untuk semua jerih payah dan perjuangannya. Bahwa dia hebat dan sangat berarti untuk kami. Bahwa kami takkan pernah meninggalkannya. Sampai titik terakhir garis hidup Papa, kami akan selalu ada. Mencintainya dengan ketulusan tanpa pamrih.

100 HARI MENUJU SAKARATUL MAUT (15 Episode - Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang