CEMLOROTE BINTANG IKU SAJERONING PETENG, NDUK.....

119 5 0
                                    

Saat itu, aku, anak-anak dan Mama di rumah sakit menjaga Papa. Hati kami sedang tidak karuan melihat kondisi Papa dan setelah dokter-dokter yang menghandle Papa beberapa hari lalu menjelaskan kondisi Papa yang sudah hopeless..

Waktu itu, aku sangat lelah. Sudah hampir jam sebelas malam dan kami mau pulang ke rumah untuk istirahat. Gara-gara Papa sakit seperti itu di rumah sakit, Mama terkena gangguan di jantungnya. Mengingat kondisi Mama yang seperti itu, tidak kuijinkan Mama untuk menginap di rumah sakit untuk menjaga Papa. Kami minta tolong suster pribadi untuk ikut membantu menjaga Papa.

Sayangnya, anak keduaku suka berkelana. Jadi kami harus mencari dia di seluruh sudut rumah sakit ketika akan pulang. Haduuuuh, benar-benar melelahkan mencarinya di seluruh sudut rumah sakit.

Nah, selama aku mencari anakku yang kedua, anakku yang pertama kusuruh menunggu di lobby dengan bawaan yang cukup banyak. Tapi, karena butuh waktu agak lama untuk mencari anakku yang kedua, anakku yang pertama takut ditinggal. Dia pergi ke mobil dan membawa seluruh barang-barang yang kutitipkan padanya.

Ya ampun, bawaan sedemikian banyak itu diangkatnya sendiri dengan sekali jalan. Lalu akhirnya kami pulang. Masih baru 2-3 menit kami masuk dalam rumah, mendadak Mama berteriak-teriak. Ternyata si Kakak, anakku yang pertama kesakitan dadanya. Nyeri yang amat sangat. Sempat aku berfikir dia hanya mencari perhatian. Jadi, aku tinggal mandi dulu, baru kubawa ke UGD.

Ternyata tidak, si Kakak memang benar-benar kesakitan. Dokter mendiagnosanya mengalami cedera di otot dada. Mungkin karena membawa bawaan yang sangat banyak tadi. Ya Allah... hati ini semakin sedih melihat si Kakak sakit. Saat itu sudah pukul 12 malam. Aku begitu lelah dan sedih melihat anakku ikut sakit juga.

Setelah mendapat obat, lalu kami pulang. Saking lelah dan sedihnya, aku tak mampu berfikir jernih. Hingga aku keliru membuka pintu depan, padahal yang kubawa kunci pintu samping. Dan disaat itu, aku terkejut karena ada suara dalam hatiku. Suara lelaki sepuh dalam bahasa Jawa halus itu terdengar begitu nyata dalam hatiku

“Cemlorote bintang iku sajeroning peteng, Nduk...” Kurang lebih artinya adalah terangnya cahaya bintang itu hanya nampak dalam kegelapan, Nak...


Seketika setelah mendengarkan pitutur itu, tiba-tiba hatiku menjadi lebih tenang. Lebih adem. Dalam sekali arti pitutur itu. Siapakah yang berbicara padaku? Hingga sedemikian pedulinya membesarkan hatiku yang sangat sedih.

Sampai saat ini, pitutur tersebut masih selalu teringat dan kuingat. Sebenarnya pernah dua kali suara itu memberitahuku sesuatu. Yang pertama, saat ayah sahabatku divonis dokter sakit kanker paru-paru. Suara itu melarang ayah sahabatku untuk dioperasi. Aku hanya bisa menyampaikan saja. Karena semua keputusan adalah pada keluarga sahabatku. Lalu kali ke dua, suara itu menyuruhku menyiapkan seperangkat baju Papa dan membuangnya di satu tempat, yang dalam penglihatanku kulihat seperti jembatan suramadu. Petunjuk itu seperti mimpi. Disitu ada visi dan suara. Namun aku tak pernah melihat siapa yang berbicara. Entah, untuk apa seperangkat baju Papa itu harus dilarung.

Sejak bulan Mei 2014, setelah visiku melihat kedatangan Izroil, aku dan keluargaku menjadi lebih memikirkan persiapan untuk akhir kehidupan Papa. Seperti orang edan saja. Aku dan Mama sudah membelikan baju putih lengan panjang dengan dasi hitam kupu-kupu untuk Papa. Membelikannya satu setel jas dan celana panjang hitam, juga pakaian dalam, kaos kaki serta sepatu untuk Papa. Yang lebih nyleneh lagi, kami sangat kepikiran pada surga Papa. Setiap hari kami sediakan waktu khusus untuk berdoa bersama Papa. Doa apa saja, sebisa kami. Bapa Kami, Salam Maria dan Kemuliaan. Doa utama yang kami panjatkan dalam keseharian bersama linangan air mata. Selebihnya hanya doa-doa saat khusus saja yang kami unjukkan pada Allah. Kami hanya bisa menyerahkan Papa ke dalam tangan Allah Bapa yang Maha Kuasa, agar kehendakNya sajalah yang terjadi pada Papa. Bahkan yang paling ekstrim, kami telah memikirkan tanah makamnya. Akan kami makamkan dimana nantinya, termasuk langkah-langkah apa yang harus kami lakukan bilamana memang benar Papa berpulang.

Tapi aku jadi lebih mencermati kondisi Papa. Melihat pertanda-pertanda pada diri Papa, dicocokkan dengan pertanda-pertanda kematian yang aku baca di internet. Dan ternyata pertanda itu meski hanya garis besar, tapi setelah kuamati, memang benar adanya.

Akhirnya kami bawa pulang Papa. Sedih dan cemas rasa di hati kami saat itu. Tapi kami sudah benar-benar pasrah pada Allah. Kamar Papa kami sulap jadi rumah sakit kecil untuk Papa. Ada tiang infus, kateter, suster yang menjaga 24 jam dan perawat senior rumah sakit yang memeriksa Papa 2 kali sehari, mengecek infus dan memasukkan obat-obat injeksi sesuai petunjuk dokter.

Baru seminggu di rumah, ternyata kondisi Papa drop. Terpaksa Papa kami opnamekan lagi. Denyut nadinya hanya 60 denyutan per menit, lalu tekanan darahnya drop. Papa seperti kejang-kejang di perutnya. Kulihat perut Papa berdenyut-denyut..

Itu salah satu tanda juga yang pernah kubaca...


100 HARI MENUJU SAKARATUL MAUT (15 Episode - Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang