Beberapa hari setelah mimpiku itu, gantian Mama yang mendapat firasat. Mendadak Mama menangis dan marah dalam tidurnya. Ternyata Mama mimpi, Papa pamitan mau pergi.
Papa bilang ingin ikut anak kecil perempuan yang “elok” itu. Demikian Papa menyebutnya. Anak kecil itu bersama seorang wanita (Entahlah mengapa hatiku berkata dia bidadari yang kulihat dalam mimpiku dan next nya aku baru tahu jika gadis kecil lucu itu anakku). Lalu Mama marah-marah dan menangis dalam tidurnya. Mama dengan kesal menyuruh Papa pergi.
Setelahnya, Mama dan aku memutuskan bahwa kami harus ikhlas. Kondisi Papa sudah berat dan benar-benar sudah terasa dekat “saatnya”. Aku mendesak Mama untuk mengatakan kepada Papa jika Papa mau pergi, kami ikhlas.
Mama tak pernah tega untuk mengatakan semua itu pada Papa.. Selama 41 tahun mendampingi Papa dengan setia, hidup Mama sudah didedikasikan untuk Papa dan kami. Ia adalah Mama yang penuh cinta dan semua kehebatan seorang Mama ada padanya. Ia selalu berusaha yang terbaik untuk kami. Dan karenanya Mama tidak sanggup untuk mengatakannya pada Papa. Mama hanya sanggup mengatakan bahwa Mama mengampuni semua kesalahan Papa; bahwa Mama, anak-anak, serta seluruh cucunya sangat menyayangi Papa. Bahwa aku dan kakakku akan mengasihi, menjaga dan merawat Mama. Sehingga tak ada yang perlu Papa khawatirkan lagi.
Hanya itu batas kesanggupan Mama untuk mengatakannya pada Papa.
Mungkin saja aku dianggap kurang ajar. Mungkin aku dianggap tidak sopan... Tapi, aku tidak tega melihat Papa yang terus berjuang meski kami semua tahu bahwa kondisi tubuhnya tak kuat lagi. Kuberanikan diri dengan suara yang terbata-bata.. saat suster Papa tak ada disitu.. saat aku biasa mengajaknya berdoa..
Kuselipkan kata bahwa kami semua menyayanginya. Semua saudara, anak, istri, cucu, kawan-kawannya begitu perhatian kepadanya selama ini. Aku pun membuka satu rahasia yang selama ini sudah hampir dua tahun selalu kami simpan, aku jujur katakan bahwa sahabatnya yang juga tetanggaku sudah meninggal dunia hampir 2 tahun lalu. Itu kenapa sahabatnya tak pernah datang menjenguk.. Lalu aku ceritakan bahwa Papa adalah idola anak-anakku. Papa suka menggendong anakku yang kecil untuk melihat air mancur diseberang jalan... Melindungi anakku yang kedua saat diganggu Kakaknya... Mengajak Kakak kemana-mana dengan sepeda motornya. Menyayangi, mengasihi dan memperhatikan anak-anakku..
Aku berterima kasih atas semua daya upayanya pada kami. Aku katakan bahwa kami sangat bersyukur karena Papa dan Mama telah menjadikan kami sampai seperti ini. Kukatakan betapa kami menyayanginya dan berusaha keras untuk memberikan yang terbaik saat Papa sakit. Aku yakinkan Papa bahwa Mama dan anak-anak dapat kujaga dengan baik. Tak ada yang perlu Papa khawatirkan. Kalau Papa sudah tidak kuat, Papa pergi saja tidak mengapa. Kami ikhlas demi kebaikan Papa.
Aku mengatakannya dengan terbata-bata dan airmata yang mengalir deras.. Setelahnya Papa seperti berfikir. Ia lebih banyak terpejam, tidur. Daripada melek dan berinteraksi dengan kami. Lagi-lagi ada rasa bersalah yang menelusup dalam hatiku. Apa Papa sedih atau bagaimana dengan kata-kataku itu...?
Hampir dua minggu Papa opname di RS... Aku masih ingat saat itu. Ada satu berita di Jumat pagi dan siangnya yang membuatku tak pernah melupakan hari itu. Hingga akhirnya aku tak kuasa lagi berjuang dan tak bisa lagi mencegah airmata Mama. Aku bergetar. Diriku penuh kemarahan. Disaat Papaku sedang bertaruh nyawa...! Kusebut nama Allah, kuserahkan semua dalam tanganNya. Hari itu adalah hari dimana aku membiarkan Allah bekerja. Meletakkan seluruh harapan, luka, amarah dan seluruh daya upaya dalam kepasrahan Illahi. Tapi menyakiti hati, menyedihkan dan membuat kedua orang tua terluka itu benar-benar menyakitkan. Aku tahu, Allahku adil. Ia yang mengubah hitam menjadi putih. Ia yang meletakkan segala hal sebagaimana mestinya. Aku percaya itu. Dan aku harus tetap teguh dalam iman kepada Allah Bapa.
Lalu di Jumat sore itu, dengan segala pertimbangan dan dengan ijin Mama, Papa kami bawa pulang.
Papa tak lagi bisa makan. Sehingga kegiatan kami hanya berkelana dari apotik yang satu ke apotik lain. Mencari obat dan susu khusus Papa. Susu papa tidak mudah ditemukan. Tapi tidak ada pilihan, karena perut Papa tidak tahan dengan merek lain. Tidak mengapa, asal Papa masih bisa mengkonsumsinya, kami tidak menyerah untuk terus mencari susu khusus Papa. Sementara rumah sakit kecil di ruangan Papa berjalan lagi, kamipun melakukan aktifitas sebagaimana biasa. Ketika itu, suster Lasmi, suster Papa pamit pulang untuk dua hari. Dan kamipun memanggil suster lain yang pernah menjaga Papa. Biasanya Papa senang dijaga suster ini. Tapi ternyata Papa tak begitu bersemangat melihatnya. Malah nampak kehilangan suster Lasmi..
KAMU SEDANG MEMBACA
100 HARI MENUJU SAKARATUL MAUT (15 Episode - Tamat)
TerrorKisah nyata penglihatan, suara bahkan pertemuan dengan malaikat maut, pergi ke awan dan perjalanan memasuki tubuh Papa kualami saat 100 hari mendampingi Papa menjelang meninggal dunia.. ********* Segenap firasat dan pertand...