Diantara puluhan ceritaku, mengapa harus pada bagian ini yang terulang?
Aku duduk dengan kaku di kursiku. Setelah hampir sembilan tahun aku berpisah dengannya, mengapa rasanya masih tetap sama? Aku tetap tidak bisa berbuat banyak di depannya. Aku tetap tidak bisa mengendalikan diriku.
"Saya dan anak saya boleh ikut bergabung disini?" Tanyanya.
"Silakan, Pak." Ucap Githa.
Aku masih menunduk, berpura-pura sibuk dengan ponselku agar tidak perlu melihat dia dengan anaknya yang kini duduk tepat di kursi kosong di sampingku. Aku menyiapkan bermacam rencana melarikan diri yang terlihat natural dari sini. Karena Githa dan Kinan tahu, jika hari ini aku tidak ada kegiatan apapun.
Pertama, menyetel alarm di ponsel. Agar saat berbunyi nanti dianggap sebagai telepon masuk, lalu pergi dengan alasan ada kepentingan mendadak.
Kedua, mengirim pesan pada ibu untuk meneleponku. Kemudian berpamitan dengan alasan ingin mengangkat telepon padahal nyatanya kabur dari sini.
Ketiga, berpura-pura lupa jika memiliki janji lain. Ini alasan yang paling sering orang gunakan, kurasa. Apa jika aku menggunakan alasan ini Githa dan Kinan akan percaya ya?
Keempat, izin ke toilet--
"Kamu kayaknya keberatan saya dan anak saya duduk disini ya?"
Dia berbicara padaku?
Aku mendongak menatap Githa dan Kinan yang juga menatapku. Mengernyit ketika Githa memberikan kode lewat matanya untuk segera menjawab pertanyaan bernada tidak suka itu.
Menghembuskan napas kemudian menoleh ke arah kiri. "Tidak, Pak." Ujarku.
Aku mengernyit ketika sorot mata itu menatap lembut padaku. Aku mendengus pelan lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Oh ya Pak, nama anaknya siapa?" Tanya Kinan. Sepertinya dia membantuku dengan mengalihkan topik. Atau.. memang dia merasa penasaran saja.
"Kamu yang waktu itu menang penghargaan sebagai dokter anak terbaik, bukan?"
Aku merasa kasihan dengan Kinan karena diabaikan.
Aku mengangguk sembari tetap memainkan ponselku. Ayolah, seseorang tolong aku. Ini dia nasib seorang jomblo, ponsel sepi seperti kuburan.
"Pak, nama anak Bapak siapa?" Tanya Githa mengulang pertanyaan Kinan.
"Nama anak saya Lesya."
"Lesya? Kenapa enggak Kesya gitu, Pak?" Tanya Githa sembari mengernyitkan kening.
Dia tertawa kecil. "Saat pembuatan akte lahir petugas medisnya salah mengetik huruf. Harusnya huruf K tapi mereka mengetik huruf L."
Aku berdiri dengan cepat membuat mereka semua berhenti tertawa. Suara derita kursi yang cukup kencang menjadi penanda jika aku muak berada disini.
Aku tersenyum pada kedua temanku. "Gue balik duluan ya."
"Mau kemana? Bukannya hari ini Lo free?" Tanya Kinan.
Aku tersenyum, berpura-pura menunjukan raut wajah bahagia."Gue lupa ada janji sama Keano."
Aku tidak berbohong. Beberapa detik yang lalu pesan dari Keano masuk ke ponselku. Isinya pesannya memang mengajakku pergi keluar hari ini.
"Wah.. pdkt lo berhasil. Traktir kita kalo udah jadian ya." Ujar Kinan dengan bersemangat.
Aku mengangguk sembari tersenyum kemudian menatap sekilas ke arahnya. "Saya duluan, Pak."
Aku melangkah pergi. Masa bodoh karena sudah bersikap tidak sopan. Ini diluar jam kerja, aku bebas bersikap seperti apapun dan pada siapapun yang kumau. Termasuk dia, selaku direktur RS tempatku bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Day After Day (On going)
General FictionReina Lesya Praditha, seorang mahasiswi yang baru saja menginjak usia 22 tahun memilih keputusan besar dalam hidupnya. Menikah diusia muda dengan pria yang sudah menjadi kekasihnya selama hampir 3 tahun dan meninggalkan bangku perkuliahan demi mengu...