Senin pagi selalu menjadi hal yang menyebalkan bagi setiap orang.
Biasanya aku selalu menjadi salah satu dari 'setiap orang' itu, tapi tidak untuk senin ini. Aku bersemangat karena nantinya kesibukan bisa mengalihkan pikiranku dari rasa bersalah.
Sebenarnya Keano mengirim pesan padaku semalam, tapi aku tidak berani membukanya. Kemarin setelah ucapan konyolku di dalam mobil, aku langsung meminta Keano untuk mengantarku pulang ke apartement.
Aku bahkan tidak berbicara selama di jalan. Aku merasa bersalah sekaligus merasa malu juga.
Mengambil tas serta kunci motor, aku berjalan menuju pintu. Menekan knop pintu lalu membukanya. Mataku membulat begitu melihat Keano berdiri tepat di depan pintu unitku.
"Lo ngapain disini?" Tanyaku dengan nada bingung.
Keano tersenyum. "Mau nganterin pacar gue lah."
Aku kembali terkejut. Jadi yang kemarin itu bukan sekedar candaan saja. Dia.. Keano benar-benar menganggapku sebagai kekasihnya.
"Jadi.. omongan lo yang kemarin itu serius? Gue kira cuma bercanda." Ujarku dengan canggung.
Dia mendengus. "Lo yang nembak gue masa gue tolak."
Aku memaksakan senyumku kemudian melangkah keluar dan mengunci pintu. "Ayo, berangkat." Ajakku.
Secara tiba-tiba Keano mengulurkan tangan kanannya yang langsung membuatku mengernyit bingung. "Mau ngapain?" Tanyaku.
"Lo enggak mau gandeng tangan gue?" Tanya Keano dengan alis yang terangkat sebelah.
"Gue lagi enggak mau nyeberang jalan. Udah ayo."
"Sama pacar kok enggak ada romantis romantisnya." Gerutunya sembari melangkah lebih dulu meninggalkanku.
----------
Aku menoleh ke arah samping, melihat Keano yang masih duduk di kursinya. "Lo enggak mau turun?"
Keano menggeleng dengan raut wajah yang tertekuk. Dia marah padaku.
"Lo marah sama gue?" Tanyaku, memastikan.
Dia kembali menggeleng. Kepalanya kemudian menoleh ke arah kaca mobil.
"Jangan kayak anak kecil napa. Nanti gue beliin ice cream kalo lo kayak gini." Ujarku sembari meraih pintu mobil, hendak membukanya.
"Tunggu."
Aku menoleh kembali ketika mendengar Keano berbicara. Pintu mobil kubiarkan terbuka setengah.
"Apalagi?"
Dia tersenyum sembari mengulurkan tangan kanannya. "Lo enggak mau salim sama calon imam."
Aku mendengus dan memukul tangannya. "Calon imam apaan! Udah ah, lo mah aneh aneh aja." Kesalku.
"Arah jam tiga, tepat di depan pintu masuk." Ujarnya masih dengan senyuman.
Aku mengernyit mendengarnya. Dengan refleks aku menoleh ke arah yang disebutkan Keano tadi. Mataku membulat, dia berdiri di depan pintu masuk dengan tatapan yang mengarah ke mobil ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Day After Day (On going)
General FictionReina Lesya Praditha, seorang mahasiswi yang baru saja menginjak usia 22 tahun memilih keputusan besar dalam hidupnya. Menikah diusia muda dengan pria yang sudah menjadi kekasihnya selama hampir 3 tahun dan meninggalkan bangku perkuliahan demi mengu...