Part 2

20.5K 1.5K 14
                                    

Menyembuhkan hati yang kecewa itu jauh lebih sulit ketimbang patah hati.

Itu menurutku.

Buktinya ketika masih jaman sekolah dulu, aku hanya perlu tiga hari untuk menyembuhkan sakitnya patah hati. Yang kupikir saat itu adalah untuk apa memikirkan laki-laki yang bukan milik kita?

Kalimat itu cukup ampuh bagiku, karena dengan begitu aku bisa kembali seperti semula.

Tapi untuk menyembuhkan hati yang terlanjur kecewa itu, sulit untukku.

Waktu beberapa tahun hanya dapat menyamarkan bukan menyembuhkan. Aku masih bisa merasakan sesak itu dalam waktu tertentu. Contohnya, saat acara penghargaan satu minggu yang lalu.

Mengapa diantara jutaan orang di Indonesia, aku harus kembali bertemu dengannya?

Mengapa aku tidak bertemu saja dengan orang yang membuatku patah hati daripada bertemu orang yang membuatku kecewa?

Waktu itu aku masih terlalu muda untuk mengerti. Aku hanya gadis bodoh yang percaya jika cinta bisa menjadi alasan kuat hubungan kami berjalan.

Ternyata aku salah. Sangat salah.

Dan parahnya lagi, aku membuat kedua orangtuaku kecewa.

"Gue perhatiin lo jadi ngelamun mulu sejak dari acara penghargaan itu. Apa ada masalah?" Tanya Githa.

Saat ini kami -Aku, Githa dan Kinan-sedang berada di restoran yang ada di sebuah mall untuk menghabiskan waktu akhir pekan. Kebetulan kami memiliki jadwal yang kosong hari ini.

"Masa sih? Gue bisa aja kok, lo aja yang salah liat kali." Elakku.

"Nan, lo perhatiin enggak sih? Si Rei tuh akhir-akhir ini jadi sering ngelamun. Mana enggak tahu tempat lagi ngelamunnya."

Kinan menoleh dan memperhatikan raut wajahku dengan mata yang memicing kemudian mengangguk setelahnya. "Iya, emangnya lo lagi ada masalah?"

Ayo berpikir, alasan apa yang harus aku jadikan sebagai jawaban?

"Lagi kangen ibu sama ayah doang. Kerjaan gue banyak banget bulan ini, jadi belum bisa pulang ke Bogor."

Selamat untuk mulut pintarku.

Mereka mengangguk mengerti. Aku menghembuskan napas lega ketika mereka menoleh ke arah lain. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas, aku membuka pesan dari ibu yang baru saja masuk.

Aku memejamkan mataku selama beberapa detik. Pesan dari ibu, aku bingung harus menjawab jujur atau tidak.

Gimana hasilnya? Kamu menang penghargaan enggak, Rei?

Awalnya aku memberitahu ibu mengenai acara penghargaan itu dan meminta doa darinya. Doa ibu terkabul. Tapi aku tidak bisa memberitahunya. Penghargaan itu datang dari orang yang membuatku terluka.

Bahkan sertifikat penghargaannya aku taruh diatas lemari. Iya, diatas lemari. Terpisah dengan dokumen penting lainnya. Kubiarkan berdebu di atas sana. Aku tidak lagi merasa bangga karena sudah memenangkannya.

"Rei.. Tha.. Liat deh ke arah jam tiga. Nenggoknya pelan-pelan, jangan sampe ketahuan." Bisik Kinan.

Dengan perlahan aku menoleh. Menyipitkan mataku agar terlihat lebih jelas. Sedetik kemudian mataku membulat, aku kenal dengan orang yang berdiri menghadap belakang itu. Dengan cepat aku mengalihkan pandangan mataku. Aku tidak bisa melihatnya.

"Itu bukannya Pak Rafa ya?" Tanya Githa.

Kinan mengangguk dengan antusias. "Iya, anak kecil yang dituntun itu anaknya."

Day After Day (On going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang