Aku tersenyum menatap Rafa yang kini tengah menonton televisi. Raut wajahnya terlihat santai, meski gurat lelah juga terlihat disana.
Belum pernah aku senekat ini dengan mengabaikan mimpiku. Aku merelakan mimpiku menjadi seorang dokter begitu saja asal bisa terus bersamanya.
Keputusanku untuk menikah dengan Rafa tentu saja membuat kedua orangtuaku terkejut. Tidak, semua keluarga besarku terkejut ketika mendengarnya. Aku yang masih berusia 22 ini lebih memilih menikah muda dan mengabaikan bantuan dari saudaraku yang membiayai pendidikanku.
Pemikiran yang bodoh, menurut mereka.
Aku tidak peduli. Ini hidupku.
Aku mencintainya dan dia mencintaiku. Alasan itu menjadi dasar pernikahan kami terlaksana. Meski usiaku dan dia masih tergolong muda, kami sepakat untuk saling mengerti dan menekan ego masing-masing.
Memikirkan segala sesuatu dengan kepala dingin dan tidak memakai emosi, hingga tak terasa pernikahan kami sudah berlangsung selama hampir lima bulan. Dia berusaha menjadi suami yang baik dan aku juga berusaha menjadi istri yang baik.
"Lagi banyak kerjaan ya di kantor?" Tanyaku sembari memeluk lengannya dari samping.
Dia sudah bekerja di perusahaan Papa nya, ayah mertuaku. Walau masih pada tahap belajar, tetapi dia tetap mendapatkan gaji disana.
Dia menoleh dan tersenyum. "Iya, mangkanya beberapa hari ini aku pulang malem terus. Maaf ya, ninggalin kamu sendirian di rumah." Ujarnya dengan lembut.
"Kamu kan kerja buat aku juga. Jangan ngomong gitu, aku enggak suka dengernya." Protesku.
Dia meraih tubuhku dan memelukku dari belakang. "Iya, maaf. Besok kita pergi jalan-jalan yuk."
Aku tersenyum dan mengangguk. "Ayo! Kemana? Ke kebun binatang, yuk?" Ajakku Dnegan menggebu. "Udah lama aku enggak kesana."
Dia tertawa kecil. "Kangen sama saudara ya?" Candanya.
Aku memukul tangannya. "Enak aja kalo ngomong!"
Rafa tertawa kecil sembari mencubit gemas pipiku. "Kamu lucu deh kalo lagi marah gini." Pujinya. "Abis dari kebun binatang, mau kemana lagi?"
Memiringkan sedikit kepala, aku berpikir dengan keras."Kemana ya? Aku bingung, terserah kamu ajalah. Yang penting kita pergi jalan-jalan, aku mulai bosen diem di rumah."
"Kita nge-date seharian ya." Bisiknya dengan lembut. "Biar kayak waktu kita masih pacaran."
Aku menggeliat, berusaha melepaskan diri dari pelukannya. "Lepas dulu deh, aku mau ngambil hp. Mau nyari tempat wisata di internet."
Dia menggeleng dan memelukku semakin erat. "Jangan pergi kemana-mana. Aku lagi kangen berat sama kamu, sayang." Ujarnya dengan nada manja. "Paket hp aku aja. Tuh, di atas meja."
Tanganku terangkat dan mengusap pelan rambutnya. "Aku mau sekalian bales pesan ibu. Tadi ibu nge-chat tapi belum sempet aku bales."
Dengan berat hati Rafa melepas pelukannya. "Abis itu kesini lagi ya, aku masih mau meluk kamu."
Aku berjalan mengambil ponsel dari dalam kamar dan kembali lagi ke ruang keluarga. Rafa sedang menjawab panggilan. Gerakan matanya menyuruhku untuk duduk kembali di dekatnya.
Aku tersenyum dan memeletkan lidahku kemudian berjalan ke sofa yang berseberangan dengannya dan duduk disana. Rafa mendengus melihat kejahilanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Day After Day (On going)
General FictionReina Lesya Praditha, seorang mahasiswi yang baru saja menginjak usia 22 tahun memilih keputusan besar dalam hidupnya. Menikah diusia muda dengan pria yang sudah menjadi kekasihnya selama hampir 3 tahun dan meninggalkan bangku perkuliahan demi mengu...