Part 4

18.7K 1.5K 12
                                    

Di tahun pertama aku meninggalkannya, hanya perih yang terasa di hatiku. Meninggalkan dia yang aku cintai dengan sangat. Mengecewakan ibu dan ayah, membuat mereka khawatir dengan keadaanku.

Aku terluka sedangkan dia tidak.

Aku menangis sedangkan dia berbahagia.

Aku sendirian sedangkan dia tidak.

Di tahun kedua, aku bangkit dan mengejar kembali apa yang sudah aku tinggalkan di tahun sebelumnya. Belajar dengan giat agar bisa mendapatkan gelar dokter di waktu yang seharusnya. Walau beberapa kali hariku diisi oleh tangisan, tapi aku sudah sedikit melupakan rasa sakitnya.

Beberapa tahun setelahnya aku berhasil mendapatkan gelar itu. Aku juga berhasil mengalihkan rasa sakit hatiku. Aku tidak lagi menangis. Aku tidak lagi merasakan sesak di dadaku.

Aku mendapatkan pekerjaan di sebuah rumah sakit kecil di Bogor. Bekerja keras hingga mendapat gelar terbaik dan dipindah tugaskan ke sebuah rumah sakit besar di kota Bandung. Meninggalkan ibu dan ayahku di Bogor dengan senyum bangga mereka.

Di tahun ini, aku kembali mendapatkan lukaku. Mengapa dia kembali lagi?

------------

Keano menuntunku berdiri dan menarikku ke pelukannya. Mengusap rambutku dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya mengusap punggungku.

Keano adalah sahabatku saat aku berkuliah di Jakarta dulu. Sebelum luka itu datang dan akhirnya aku memilih kembali ke Bogor. Dia tahu kisahku dengan Rafa dulu. Dia juga tahu apa yang aku alami selama sembilan tahun ini.

Aku bertemu dengannya lagi tiga tahun yang lalu, dalam acara amal yang diadakan oleh komunitas dokter yang aku ikuti.

"Ketemu lagi sama dia atau cuma inget?" Tanya Keano dengan nada tenang.

Aku masih terisak. "Ketemu lagi. Dia dateng sama anaknya." Lirihku.

Keano menghela napasnya. "Dari kapan? Kok enggak cerita sama gue?"

"Dari seminggu yang lalu pas di acara penghargaan. Dia yang ngasih sertifikatnya."

"Pertanyaan satu lagi, apa jawabannya?" Tanya Keano sembari masih mengusap punggungku.

Aku mendongak dan menatapnya dengan mata yang sembab "Gue kira enggak bakal ketemu lagi sama dia, mangkanya gue enggak cerita. Tapi tadi dia nyamperin meja gue terus duduk gitu aja."

Keano melepaskan pelukannya. Merangkul dan mengajakku berjalan menuju mobil yang terparkir di depan mall. "Maaf, tadi gue terpaksa ngelacak nomer lo. Abis udah hampir satu jam nunggu, lo enggak dateng-dateng."

Aku mengangguk sebagai jawaban.

Dulu dia juga melakukan hal ini ketika hubunganku dan Rafa berantakan. Aku kabur dari rumah dan berjalan sendirian menyusuri gelapnya malam di Jakarta. Lalu tiba-tiba dia datang dengan wajah paniknya dan membawaku ke rumahnya.

Dia tidak pernah menyukaiku.

Hubungan kami hanya sebatas sahabat. Ibunya juga mengenalku dengan baik. Bahkan beliau memberikan nasihat ketika aku putus asa dengan hubunganku dan Rafa.

Aku menatap kosong ke depan, sudah tidak ada lagi isak tangis yang keluar dari bibirku. Memejamkan mata kemudian menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan, aku sudah mulai tenang.

"Terus sekarang apa yang mau lo lakuin?" Tanya Keano sembari fokus mengemudi.

Aku menggeleng. Aku tidak tahu. Semuanya terasa abu.

"Lo kan tahu dari awal gue udah pernah bilang kalo dia bukan cowok yang baik. Tapi lo masih tetep keukeuh." Ujar Keano lagi.

Aku terdiam.

Keano adalah kakak seniorku di kampus dulu. Pria itu memiliki selisih umur satu tahun lebih tua dariku. Aku hanya memiliki dia sebagai temanku.

Dia melarangku mendekati Rafa yang saat itu sudah hampir lulus. Namun sayang karena rasa suka ini semakin besar setiap harinya, aku tidak mendengarkan perkataannya.

Hingga akhirnya aku berpacaran dengan Rafa di tahun kedua aku duduk di bangku kuliah. Dia dan sikap lembutnya membuatku yang baru berusia 20 tahun merasa begitu dicintai.


Aku menoleh secara tiba-tiba. Aku ingin melupakan Rafa namun dengan cara yang paling jahat.

"Keano." Panggilku dengan ragu.

Tidak menoleh, Keano hanya berdeham sebagai respon atas panggilanku. Mata pria itu masih terfokus pada jalan raya di depan.

Menggigit pelan bibir dalamku, aku kembali bertanya dengan penuh keraguan. "Lo single kan?"

Dia tampak mengernyit kemudian mengangguk, namun tetap tidak menoleh ke arahku.

"Ayo, kita pacaran."

Keano menoleh dengan cepat. Mobil kami pun berhenti di pinggir jalan yang cukup sepi. Raut wajahnya tidak dapat aku artikan. Aku rasa dia marah padaku.

Seperti orang gila, aku tertawa kencang. "Gue ngomong apa sih. Sorry.. Sorry, omongan gue ngaco banget ya."

Dia tidak tertawa.

Perlahan tawaku juga menghilang. "Maaf, gue salah ngomong." Ucapku sembari menunduk.

Tiba-tiba tangannya terulur dan mengusap rambutku. "Lo tahukan gue orang yang posesif." Ujarnya dengan sorot mata yang menatap lurus padaku.

Aku membatu. Walau dalam hati aku membenarkan ucapannya. Dia dan keposesifannya adalah hal yang membuat hubungannya tidak pernah berjalan baik. Mereka -para mantannya- tidak pernah tahan dengan sifat yang satu itu.

"Lo tahukan seposesif apa gue sama apa yang menjadi milik gue." Ujarnya seolah memberikan peringatan padaku.

Aku mengangguk dengan kaku.

"Asal lo tahan, gue mau jadi pacar lo." Lanjutnya lagi sembari tersenyum.

Eh?


Bersambung.

Ternyata ngedit langsung di wattpad itu susah yaa😅😅

Biasanya aku cuma tinggal nge-copypaste aja soalnya.

Day After Day (On going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang