Part 9

17.2K 1.3K 18
                                    

Aku menatap layar ponsel dengan nanar begitu panggilan telepon terputus begitu saja. Keano cemburu pada Rafa?

Kukira yang kemarin itu hanya sekedar candaan, tapi ternyata pria itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Pantas saja setiap malam dia selalu mengirim pesan yang isinya tidak jauh dari nasihat untuk segera move on.

Aku menarik napas panjang dan berjalan masuk ke dalam cafe lagi. Perasaan bersalah karena berpura-pura menutup mata akan perasaan pria itu, aku sendiri tidak yakin dengan perasaanku yang sebenarnya.

"Bentaran banget jawab teleponnya, sampe kita hampir selesai makan." Sindir Kinan begitu sampai di meja kami.

Aku hanya tersenyum kecil, tidak berniat menanggapi lebih jauh. Pikiranku runyam, selama ini aku tidak pernah dekat dengan laki-laki lain selain Keano setelah aku dan Rafa berpisah.

Di tahun pertama mungkin memang karena perasaanku untuk Rafa belum selesai. Namun di tahun-tahun setelahnya hatiku juga tetap tertutup. Seolah takut untuk menerima nama baru dan tidak siap terluka lagi.

Aku takut hatiku berdarah lagi karena terlalu mencintai. Cinta pertamaku berakhir mengenaskan.

Aku tertawa miris mengingat kembali pemikiran bodoh dimana cinta pertamaku akan bahagia seperti kisah cinta miliki orangtuaku. Ternyata jauh berbeda, aku lebih menyedihkan dengan status yang berubah hanya dalam hitungan beberapa bulan saja.

Aku merasa tidak percaya diri dekat dengan seorang laki-laki karena statusku seorang janda. Memang tidak ada yang salah dan tidak ada yang mau juga dengan status itu, yang kutakutkan adalah ketika mereka bertanya soal masa lalu yang menjadi alasan kenapa aku mendapatkan status itu.

Satu-satunya laki-laki yang tahu masa laluku hanyalah Keano. Pria itu memang tidak berada di sampingku ketika aku dan Rafa berpisah sampai satu tahun lalu kami tidak sengaja bertemu dalam acara sosial. Dia kembali berada di sisiku dengan perasaan yang sama.

"Kamu lagi kurang sehat, Rei? Muka kamu pucet banget itu." Ujar Bu Linda dengan nada khawatir.

Aku mengerjap pelan begitu atensi dua sahabatku mengarah padaku. Aku tidak berani melirik ke arah kiri, pria itu masih duduk di tempat yang sama.

"Mau pulang aja gak? Biar gue sama Revan anterin lo pulang nih." Tanya Githa.

Aku menggelengkan kepala sembari mengibaskan tangan kananku. "Gue enggak apa-apa kok. Cuma lagi banyak pikiran aja, Tha."

"Kamu beneran gak kenapa-napa, Rei?" Tanya Rafa. Aku tidak berani menoleh. "Kalo itu biar saya aja anterin kamu pulang. Sekalian mau ada yang saya omongin sama kamu."

Aku hampir tersedak mendengar Rafa kembali membuka mulut. Berbicara sesuatu yang lagi dan lagi memancing rasa ingin tahu kedua temanku. "Maaf Pak, setelah ini saya ada jadwal praktek di rumah sakit lain."

Tidak ada yang perlu aku bicarakan  lagi dengannya. Terkahir kali kami berbicara, dia dengan tidak tahu malunya memintaku untuk kembali bersama. Pembicaraan kami tidak akan jauh dari perdebatan tidak penting yang pastinya akan memantik pertengkaran.

Rafa menghela napasnya. Ya memang semelelahkan itu berbicara dengan Reina yang sekarang. "Kalo gitu setelah jadwal kamu selesai, gimana?

"Oh, lo udah dapet kerjaan di RS lain, Rei? Kok gak bilang sama gue n Githa?" Tanya Kinan dengan nada heran.

Ya, sekarang aku berpikir ulang soal berapa lama kami harus bersahabat.

Aku tersenyum, menutupi kemarahan yang sebenarnya semakin membara. "Iya udah, di RS tempat pamannya Keano kerja." Ujarku setengah berbohong.

Day After Day (On going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang