Luka itu masih ada. Hanya tersembunyi jauh di dalam hati.
Aku bisa bangkit ketika dia mengkhianatiku, lalu mengapa sekarang aku harus lari jika aku bisa menghadapinya?
Aku memandang sendu hujan dari balkon unitku. Bodoh adalah kata yang tepat untuk menggambarkan diriku yang dulu.
Aku sangat mencintainya dulu, percaya akan semua yang dia katakan serta buta karena sikap lembutnya. Dan ketika semua kebohongan itu terbongkar, aku dan keluargaku yang menjadi paling menderita.
Satu yang kupelajari dari semua yang kualami. Mencintai sesuatu itu boleh, asal tidak melebihi cinta kita pada-Nya.
Aku tenggelam dalam tangis, meratapi takdir hidup yang terlalu kejam bagiku. Menjadi orang yang paling menderita bahkan dunia seolah runtuh karena kesedihanku.
Tidak hanya itu, aku juga mengabaikan kesehatanku. Nafsu makan yang berada di titik nol dan minum pun aku tak ingin. Hingga aku kehilangan dia. Janin yang tidak aku ketahui keberadaannya.
Aku juga lupa akan keberadaan ibu dan ayahku yang juga menderita malu karena permasalahanku. Mereka yang juga mendapatkan cemoohan karena telah gagal mendidikku sebagai wanita yang terhormat.
Terkadang orang lain hanya akan percaya dengan apa yang mereka lihat dan dengar. Tanpa berusaha memastikan langsung pada orang yang bersangkutan, mereka menuduhku sebagai wanita yang tidak baik.
Aku tidak bisa melakukan apapun saat itu. Lidahku kehilangan kata, ragaku kehilangan jiwa serta hidupku kehilangan cahaya. Berada di titik terlemah, tidak ada yang menolong dan tidak ada pula yang mengulurkan tangannya padaku.
Bertambah buruk ketika aku dilarikan ke rumah sakit dan kehilangan janin yang sudah berusia hampir dua bulan. Aku keguguran tanpa sang ayah dari anak yang kukandung tahu.
Dia sedang bahagia bersama keluarga kecilnya.
Dunia tahu jika dia dan wanita itu telah menikah.
Kewarasanku kembali diuji begitu melihat berita soal keluarga mereka yang muncul di layar televisi rumah sakit. Di detik selanjutnya aku tertawa kencang, menertawakan diriku yang menyedihkan.
Kelahiran bayi perempuan itu disambut dengan bahagia. Sementara disini, tidak ada yang berduka atas keguguran yang kualami. Janin itu juga cucu mereka.
Tawaku menghilang tergantikan oleh tangisan tanpa suara. Belasan kali aku memukul dadaku, berharap rasa sesak itu bisa sedikit berkurang. Namun rasa sakit yang justru semakin aku rasakan.
Menatap dia yang terdiam sembari menggendong bayi mungil dari balik layar televisi. Aku berharap, mengapa aku tidak ikut pergi saja dengan janin itu.
Menarik napas panjang, ini bukan saatnya aku menghindar. Aku dan dia sudah tidak ada hubungan apapun selain hubungan pekerjaan yang sejujurnya ingin sekali aku putuskan.
Seperti kata Keano tadi, sudah sejauh ini aku bangkit dan melangkah. Terlalu sia-sia jika aku kembali terpuruk karena dia. Lagipula, perasaan itu sudah mati. Aku hanya perlu menutup mata dan telinga untuknya.
--------
Aku berjalan sembari tersenyum dan menyapa beberapa perawat yang berpapasan denganku. Aku senang sekali karena Keano mau membantuku berbicara dengan pamannya -yang seorang dokter di sebuah rumah sakit- menanyakan soal lowongan pekerjaan untukku disana.
Bersenandung kecil, aku masuk ke dalam lift. Mengeluarkan ponsel hitamku dari dalam tas dan mengirim pesan pada Keano untuk mengajaknya makan siang. Lift berdenting, aku melangkah keluar kemudian berjalan menuju ruanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Day After Day (On going)
General FictionReina Lesya Praditha, seorang mahasiswi yang baru saja menginjak usia 22 tahun memilih keputusan besar dalam hidupnya. Menikah diusia muda dengan pria yang sudah menjadi kekasihnya selama hampir 3 tahun dan meninggalkan bangku perkuliahan demi mengu...