Epilog

459 26 6
                                    

🐳🐳🐳

Hal yang paling menyesakkan adalah ketika kita belum mampu membayar duka dengan kebahagiaan karena alasan waktu.

REGRET*


🌹🌹🌹

"Kak Angga, Icha mau makan es krim."

"Mau apa lagi selain es krim?"

"Pengen cheese cake, cheese burger, kentang goreng, tapi emang boleh?"

Vio dan Johan mendekat. "Boleh banget. Icha mau apa aja kami belikan. Icha pasti bosan kan makan-makanan rumah sakit terus. Bunda cuma mau bahagiain Icha."

"Karena Icha mau pergi ya, Bun?"

"Enggak, Sayang, kapan pun kita semua bakal bahagiain Icha."

Icha hanya tersenyum. Dia menatap satu persatu wajah keluarganya. Tidak lama lagi, itu yang dia tangkap dari perasaannya.

"Cha, Varo udah klarifikasi," ucap Angga lirih saat adiknya tiba-tiba kejang. Johan dengan panik memanggil dokter dan mereka diminta untuk keluar ruangan.

"Bun, Icha kenapa?" Angga terlihat panik sekarang.

"Bunda enggak tau Sayang. Semoga Icha baik-baik saja, ya."

Dokter keluar ruang dengan begitu cepat. "Angga, Icha memanggilmu."

Angga mengangguk. Dia langsung masuk ke ruangan itu setelah diberi pakaian steril oleh perawat. "Icha," lirihnya.

Perempuan itu tersenyum. Di mesin elektrokardiogram, detak jantungnya begitu lemah. "Ka-kak," panggilnya hampir tidak bersuara.

Angga mendekatkan telinganya pada Icha. "Kenapa Sayang?"

"Icha sayang sama Kakak."

Angga mencium lama kening adiknya itu. "Kakak jauh lebih sayang sama Icha. Yang kuat ya adikku tersayang."

"Icha pesen sesuatu sama Kakak buat disampaikan ke temen-temen." Icha kemudian membisikkan sesuatu di telinga Angga karena napasnya sudah tercekat.

"Mau Bunda sama Papa."

Tak lama setelahnya, Vio dan Johan memasuki ruangan itu dengan air mata yang masih terlihat membekas.

"Icha mau pulang, tapi Icha enggak mau ninggalin kalian."

"Pulanglah, Nak, kalau itu membuatmu tidak sakit lagi," ucap Johan yang kembali meneteskan air matanya.

"Bunda belum ikhlas, Cha. Bunda enggak rela kamu pergi."

"Kalau begitu, Icha enggak akan pergi."

Johan menatap sendu istrinya yang terisak. "Vio," cicitnya.

"Enggak! Icha enggak boleh pergi kalau sekarang. Bunda masih pengen sama Icha!"

Icha berusaha menggapai pipi bundanya untuk mengusap air mata itu, tapi tidak bisa. "Bun-da … ja-ngan … na-ngis. I-cha … eng-gak … per-gi."

Usai mengucapkan itu, Icha batuk-batuk dan muntah darah. Dokter segera mengambil tindakan tanpa meminta orang tua Icha pergi. "Icha sudah tidak bisa bertahan, tapi dia tetap memaksa," jelas dokter itu.

Johan merangkul erat bahu istrinya. "Ikhlas, Vi, ikhlas. Apakah kamu tega melihat Icha seperti itu hanya untuk menuruti perkataan kamu? Jangan egois Vio," tuturnya lembut.

Vio menggeleng kecil. "Mas—"

"Icha juga tidak mau seperti ini, tapi ini sudah jalan takdirnya. Jangan menentang takdir, Vi, Allah tidak suka."

Vio melepas rangkulan suaminya. Dia mendekati putrinya yang masih memuntahkan darah dari mulutnya. "Icha sayang, putrinya Bunda. Bunda sayang sekali sama Icha, tapi kenapa Icha ingin pergi? Icha enggak sayang sama Bunda? Ah, Bunda tau Icha sayang banget sama Bunda padahal Bunda udah jahat sama Icha. Maafin Bunda, Icha, sudah egois selama ini. Icha mau apa? Icha mau pulang, ya? Bunda enggak bolehin, tapi Icha malah seperti ini. Bunda harus apa, Cha? Coba bilang sama Bunda. Icha, Bunda belum rela kamu pergi sekarang. Tapi kalau ini yang terbaik untuk Icha dan enggak akan bikin Icha sakit lagi, Bunda terpaksa menuruti kemauan Icha. Pulanglah Sayang, pulanglah ke pangkuan Allah. Pulanglah dengan rasa sakit yang ikut sirna. Pulanglah Sayang kalau itu bisa membuatmu bahagia."

Icha kemudian tidak lagi muntah. "Makasih Bunda," ucapnya melalui pergerakan bibirnya.

Talkin itu Vio lakukan untuk menuntun putrinya. Tentunya dengan berat hati yang dia rasakan. Sakit, sangat sakit saat perempuan yang sering datang ke rumahnya dan memeluknya kini sudah tertidur pulas untuk selamanya tanpa berniat untuk membuka mata lagi.

Sehelai kain penutup kepalamu berkibar.
Layaknya pertanda, kau kan pergi tanpa kembali.
Senyummu bak senyum bayi tuk pertama kalinya.
Tatapan itu, tatapan hangatmu untukku yang baru saja bertaruh nyawa membawamu ke dunia ini.
Pergilah jika itu bahagiamu, aku ikhlas.
Jangan buruk sangka ketika aku tak meratapimu karena aku percaya ada kehidupan abadi setelah ini.
Kita kan bertemu, tapi hanya waktu yang akan menjawabnya.

Sesulit ini melepasmu pergi.
Kita baru saja mengetahui bertahan.
Tapi ragamu tak lagi mampu bertahan
Jika diberi waktu lebih, aku akan membahagaikanmu.
Sayangnya, sang waktu seolah enggan tuk kita bersama.
Pergilah putriku.

***

Tunggu ekstra partnya, yaaa🥰

Jazakunallah khairan❤

REGRET || TAMAT✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang