Dua

51.2K 1.3K 22
                                    

Sekitar pukul empat pagi, Citra tiba di rumah mewah milik Nicholas. Ia berjalan sempoyongan menuju kamarnya. Ia dan Nicholas berada di satu kamar. Pria itu tidak merasa keberatan, hanya saja, mereka memiliki dua kasur di dalamnya. Citra melihat Nicho sedang pulas. Di atas meja, tampak beberapa kertas berserakan, dan laptop terlihat menyala. Mungkin, Nicho baru saja selesai bekerja. Dia adalah pekerja keras. Namun, sayangnya, kerja kerasnya itu bukan untuk Citra. Citra menuju tempat tidur kecil di sudut ruangan, kemudian terhempas dengan pakaian yang masih menempel. Ia langsung tertidur pulas.

Mendengar suara benda terjatuh, mata Nicho terbuka. Ia melihat ke arah belakangnya. Istrinya itu baru saja pulang. Ia bangkit, kemudian menyelimuti Citra. Tidak mencintai Citra, bukan berarti ia tidak mau bersikap baik pada wanita itu. Setidaknya, Citra cukup membantunya dalam kurun setahun ini. Wanita itu adalah teman bersandiwara yang baik.

Pukul sepuluh, Nicho melanjutkan pekerjaannya di balkon, sembari menikmati secangkir kopi. Meskupun ini hari minggu, ia tidak bisa melepaskan pekerjaannya. Dari atas, ia melihat sebuah mobil memasuki pelataran rumahnya. Ia terperanjat, membawa laptopnya ke dalam kamar. Ia cepat-cepat menghampiri Citra.

"Citra...Citra!"

Citra membuka matanya berat."Ada apa? Sudah siang ya?"

"Iya."

Citra menggeliat, kemudian bangkit dengan malas."Apa ada acara yang harus kita hadiri siang ini?"tanyanya sembari menguap

"Nggak ada." Nicho menatap Citra dengan intens.

Citra mengusap wajahnya dengan kasar. Raut wajahnya terlihat frustrasi.

"Kamu nggak apa-apa?" Nicholas menatap Citra khawatir.

Citra menggeleng, memegang pelipisnya."Aku kebanyakan minum semalam. Ini juga masih pusing." Citra berjalan menuju toilet.

"Oh, astaga...kamu harus minum obat. Mama sama Papa ada di depan,"kata Nicho ketika mereka melintasi walk in closet.

"Apa?" Citra terperanjat. Ia menandangi wajahnya di cermin, menciumi rambutnya. Ia harus segera mandi, tapi, ia takut sakit.

"Ah, kamu lakukan apa saja supaya kamu terlihat nggak baru pulang dari club. Aku temui Mama dan Papa duluan. Kamu menyusul secepatnya."

"Baiklah." Citra mulai panik. Ia masuk ke dalam  toilet, menyalakan air hangat dan mandi.

Nicho menemui mertuanya di ruang keluarga. Menyapanya dengan hangat."Ma, Pa...kok nggak bilang mau ke sini? Tahu gitu, Nicho jemput."

"Ah, kamu ini, jangan begitu. Kamu terlalu baik."

"Silakan duduk, Ma, Pa."

"Mana Citra?" Mama Citra menanyakan keberadaan anak perempuannya.

Nicho melihat ke atas."Ah, lagi di toilet, Ma...sebentar lagi menyusul. Sakit perut katanya."

Sementara itu, di kamar, Citra kalabg kabut. Memoles wajah seadanya saja, agar tidak terlihat begitu pucat dan lelah. Ia pun mengeringkan rambut dengan cepat. Ia segera menemui kedua orangtuanya.

"Ma, Pa..."

"Kalian sibuk nggak?"tanya Papa.

Citra dan Nicho bertukar pandang. Mereka tidak punya jawaban yang disepakati untuk ini.

"Kalau Citra, nggak terlalu, Pa. Memangnya kenapa, Pa?"

"Oh, Papa mau minta temani Nicho lihat rumah yang dijual di blok sebelah. Kelihatannya bagus untuk properti."

"Ya udah, Pa, Nicho temani." Nicho tersenyum senang. Di dalam hati, Citra cukup mengagumi Nicho yang bisa bersikap sesuai dengan situasi.

"Mama di sini aja, ya, sama Citra."

"Ya udah kalau gitu. Ayo, Nicho?"

"Aku pergi dulu,ya." Nicho mengusap puncak kepala Citra dengan lembut.

"Iya, hati-hati." Citra tersenyum tipis.

"Kamu belum hamil juga?" Pertanyaan spontan itu membuat Citra terkejut. Ia tidak menyangka kalau langsung mendapatkan pertanyaan ini setelah mobil Nicho baru saja keluar dari pagar.

"Belum, Ma."

Wanita tua itu terlihat resah."Kenapa, Citra, ayo kita periksa ke dokter kandungan. Siapa tahu ada masalah. Kalau kita bisa tahu dengan cepat, kita bisa nengatasinya juga dengan cepat."

"Ma, memangnya harus segera?" Citra bicara hati-hati sekali. Tentu saja ia tidak bisa hamil, sampai sekarang ia masih tersegel dengan baik.

"Citra, suamimu itu sempurna. Pokoknya idaman semua wanita. Jika kamu nggak segera memberikan keturunan, bisa-bisa perempuan lain datang. Kamu dianggap perempuan yang nggak bisa hamil." Mata tajam Mama Citra jelas terlihat sebagai bentuk kekhawatirannya pada rumah tangga sang anak. Apa lagi, jaman sekarang, banyak sekali istilah perebut suami orang yang diistilahkan dengan Pelakor. Ia tidak akan rela,menantunya yang maha sempurna itu jatuh ke tangan wNita lain.

"Jangan didoakan begitu, Ma."

"Kamu nggak tahu, sih, kejamnya kehidupan sekarang. Kamu harus hati-hati."

Citra mengangguk lembut, tidak ingin menyakiti hati Mamanya."Iya, Ma. Citra akan berusaha. Nanti, Citra ajak Mas Nicho ke dokter kandungan untuk program ya."

"Kalian tidak ada masalah,kan?"

"Kenapa Mama bertanya seperti itu?"

Mama Citra memegang kedua tangan Citra dengan begitu serius."Jangan sakiti Nicho, dia sangat baik. Kamu harus memberikan yang terbaik untuknya."

Citra mematung beberapa saat. Mamanya lebih khawatir pada Nicho. Andai Mama tahu, bahwa selama ini, anak kandungnya,lah, yang tersakiti oleh keadaan. Namun, semua tidak bisa Citra utarakan."Iya, Ma."

Pikiran Citra berkecamuk. Ia diam saja selama menunggu Papa dan Suaminya kembali. Setelah selesai dengan urusan rumah, Nicho mengajak Mertua dan istrinya makan di luar.

"Nicho, sesekali suruh istrimu memasak. Kalau makan di luar terus, kasihan kamu... pengeluarannya besar terus setiap bulan." Mama Citra berkata dengan nada sindiran. Ia berharap, anaknya bisa sadar dan mau mengerjakan semua kewajibannya sebagai istri pada umumnya.

Nicho tersenyum penuh arti."Nicho nggak mau Citra capek, Ma. Lagi pula...Nicho bekerja keras untuk keluarga."

"Oh, kamu ini manis sekali. Beruntung sekali Citra mendapatkan kamu."

"Nicho yang beruntung mendapatkan Citra, Ma." Balasan dari sang menantu membuat mertuanya semakin kagum dibuatnya. Tentu mereka semakin yakin, anak perempuan mereka akan hidup bahagia. Pilihan mereka memang tidak pernah salah.

Nicho melirik istrinya yang terlihat tidak senang. Nicho paham, berpura-pura itu memang tidak enak. Setelah ini, ia akan memberikan apa pun yang Citra inginkan sebagai balasan.
Begitu sampai di rumah, Citra langsung masuk ke kamar, mengurung diri.

Nicho masuk, menatap istrinya yang cemberut."Mama bilang apa?"

"Apanya?"

"Pasti ada sesuatu yang bikin kamu cemberut begitu,kan?" tebak Nicho. Pria itu melepas jam tangannya.

"Mama menanyakan kehamilan dan menyuruhku cek kandungan."

Gerakan Nicho terhenti sesaat, ia berdehem."Terus.. kamu bilang apa?"

"Seperti biasa, ya. Aku dan Nicho akan pergi ke dokter kandungan."

Nicho menarik napas berat."Aku akan cari cara untuk itu. Kita akan segera punya anak."

"Kamu mau nidurin aku gitu?"kata Citra asal.

"Tidak mungkin, Citra..." Nicho tersenyum geli.

"Sampai kapan kita terus begini?" Citra mulai kesal. Apa lagi, senyuman Nicho barusan. Mengejek sekali.

Pria itu melangkah memasuki walk in closet sembari berkata,"selamanya. Aku nggak akan menceraikankan kamu." Nicho mengambil jaketnya di lemari.

"Why?"tatap Citra kesal.

"Kita sudah pernah bahas. Jawabannya masib sama. Aku harus pergi. Uang bulananmu sudah kutransfer. Hubungi aku kalau masih kurang." Nicho pergi begitu saja. Citra tahu, kalau Nicho pergi menemui kekasihnya, mungkin, tidak akan pulang, atau pulang ketika sudah pagi.

❤❤❤

Pria SimpananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang