Tiga Belas

24.7K 1K 39
                                        

Berjalan mengendap-endap selayaknya pencuri, Karin terus mengikuti Keduanya yang berpelukan mesra. Keduanya masuk ke mobil, Karin mengikutinya dengan menggunakan sepeda motornya. Mobil Axel melaju ke sebuah Mall.

"Ngapain mereka ke sini,"gumam Karin. Sepanjang jalan tadi, Karin berusaha mengingat siapa wanita yang bersama Axel. Karin ikut masuk ke dalam mall. Axel dan Citra masuk ke sebuah toko berlian.

Karin masih di luar toko, kemudian hatinya terdetak. Karin cepat-cepat membuka media sosialnya. Ia segera masuk, mencocokkan wajah Citra dengan wanita yang ada di media sosial tersebut.

"Wanita itu...." Karin terperanjat. Wanita yang bersama Bosnya, bukankah wanita bersuami. Ia cepat-cepat sembunyi saat Axel mengedarkan pandangannya. Karin mengambil foto mereka diam-diam. Ia akan menyimpannya. Suatu saat,ini akan sangat berguna.

"Bagaimana yang ini?" Citra menunjukkan cincin pada Axel.

Axel mengangguk."Pilihan yang bagus. Kamu suka?"

"Iya."

"Baik, tolong...ya, yang ini,"kata Axel pada pramuniaga.

"Kenapa kamu belikan aku cincin?"tanya Citra.

Axel mendekatkan wajahnya, dan berbisik,"anggap saja, bukti bahwa aku serius ingin menikahimu."

Wajah Citra merona."Aku...tidak tahu harus berkata apa, Axel."

"Tidak perlu mengatakan apa-apa, sayang. Cukup katakan, ya, kamu ingin menikah denganku."

Citra memukul lengan Axel pelan. Lalu, disambut pelukan hangat oleh Axel. Karin yang masih di sana terlihat begitu cemburu. Kenapa wanita bersuami seperti Citra, justru menarik perhatian Axel, bukan dirinya yang setiap hari berusaha berpenampilan menarik. Agar sang Bos tertarik padanya. Atau mungkin saja, Axel tidak tahu kalau wanita itu sudah bersuami. Karin menarik napas panjang, kasihan sekali Bosnya itu. Besok, ia harus menberi tahu Axel. Dengan hati-hati, Karin meninggalkan mall itu. Mengikuti Axel berlama-lama, tidak baik untuk kesehatan jantung dan pikirannya.

Malam ini, Nicho minum dengan frustrasi. Sang kekasih di sebelahnya tidak berani mengganggu. Dia memilih untuk bercerita dengan temannya yang lain. Di kepala Nicho, terputar ucapan Mama dan Papanya, berkali-kali, sampai ia ingin membanting gelas. Hasrat ingin bercintanya sirna begitu saja, padahal sejak tadi, sang kekasih sudah menggodanya. Masalah yang membebani, sungguh membuat Nicho sulit berpikir.

Saat meneguk minumannya, Nicho menangkap bayangan Olla, sahabat Citra, bersama seorang wanita. Nicho segera menghampiri Olla. Dia yakin, Olla bersama dengan Citra.

"Olla!"

Wanita itu menoleh."Eh, hai, Nic!"

"Hai! Sama Citra?"

Olla kelihatan bingung, kemudian dia membalikkan badan wanita di sebelahnya yang sedang ngobrol."Lihat, apa ini Citra?"

"Oh, sorry!" Nicho mengusap wajahnya kasar.

"Ada apa, Nic? Duduklah!" Olla mempersilakan duduk."Kau kelihatan stress."

"Ah, iya, soal Citra."

"Ada apa dengan Citra?" Olla menatap curiga. Ia menangkap gelagat yang aneh pada Nicho.

"Hmm..." Nicho ingin menjelaskan, tapi, beberapa detik kemudian dia sadar, bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi dengan Citra."Dia nggak balas pesanku sejak siang."

"Memangnya kenapa?" Olla bertanya heran."Bukankah, hal seperti ini memang sering terjadi? Nanti juga Citra bakalan balas pesanmu, kalau dia sudah nggak sibuk."

"Tapi, dia sudah baca, La." Nicho menjadi cemas.

Olla semakin curiga dengan suami Citra. Jangan-jangan, Nicho mulai peduli dengan Citra.

"Apa ada yang penting di pesan itu?"tanya Olla santai, bahkan terkesan tidak peduli. Tiba-tiba saja ia ingat bagaimana terpuruknya Citra ketika menaruh harapan pada rumah tangganya. Itu bukan hari-hari yang menyenangkan.

Nicho menggeleng,"aku cuma menanyakan di mana dia."

Olla tertawa geli."Karena itu kau sudah stres? Ada apa denganmu, Nic? Apa...kau ini sudah mulai kehilangan Citra?"

"Mana mungkin. Aku cuma...merasa bersalah saja." Nicho memegang kedua pelipisnya. Wajar saja, jika seorang suami mengkhawatirkan istrinya. Apa itu salah. Harusnya Olla tidak melontarkan pertanyaan itu.

Olla meneguk minumannya, diam sesaat, lalu melirik Nicho sebal."Jika kau merasa bersalah, kenapa terus-terusan memposisikan Citra seperti itu? Kalau kau memang tidak cinta, ceraikan saja. Citra sudah cukup menderita dua tahun ini, Nic. Dia juga berhak bahagia, bukan dengan mengabdi pada suami yang tidak bisa mencintainya."

"Apa...memang seperti itu?"tatap Nicho.

"Ya. Memangnya apa yang kaupikirkan selama ini?" Olla tertawa mengejek."Egois sekali!"

"Bukankah menguntungkan baginya untuk tinggal dan hidup bersamaku? Aku memfasilitasinya. Semua mewah. Dia tidak perlu lelah sebagai Ibu rumah tangga. Dia juga bebas bercinta dengan siapa saja!" Nicho membela diri. Ia merasa semua baik-baik saja. Ia tidak lari dari kewajibannya sebagai suami. Menafkahi Citra, memperlakukannya dengan lembut, agar Citra nyaman dan merasa betah tinggal bersamanya.

"Citra butuh nafkah batin juga!"

"Aku tidak melarangnya berhubungan dengan pria lain. Dan sekarang, dia juga sudah punya Axel."

"Tapi, kau menuntutnya untuk menjaga nama baikmu!" Olla melirik sinis."Bangkai yang disembunyikan, akan tetap tercium, Nic. Suatu saat, hubungan Citra dan Axel, akan terbongkar. Orang akan mengira kalau dia berselingkuh. Kau bisa saja membela. Tapi, bagaimana dengan perasaan Citra?"

Nicho menarik napas berat."Citra baik-baik saja. Dia sudah membelaku, karena...kemarin ada orang yang memotretku sedang bersama wanita lain."

"Wanita?" Olla menyipitkan matanya."Kau sudah suka wanita?"

"Mereka berpikir aku bersama wanita, padahal,kan tidak. Tapi, untunglah, setidaknya aku masih dianggap normal."

"Laki-laki yang dianggap selingkuh, akan terasa wajar, Nic. Lalu, bagaimana jika Citra dikatakan selingkuh? Semua orang akan menghujatnya. Kau nggak akan ngerti, karena kau memang egois. Sudahlah!" Olla kesal pada Nicho. Pembicaraan ini terasa sia-sia saja.

❤❤❤

Pria SimpananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang