TIGA

8.6K 1.2K 149
                                    


Renjun berdiri di depan kelas. Matanya menatap tajam sosok Jaemin yang tengah berjalan ke arahnya dengan membawa ember dan alat pel lantai.

"JAEMIN! GUE TUNGGUIN LO DARI TADI! CEPAT PEL LANTAI KELAS. KALAU ENGGAK, GUE LAPORIN KE PAK SHINDONG, LO KAGAK PIKET!"

Suara Renjun melengking keras di pendengaran Jaemin. "Kilii inggik gii lipirin ki pik Shinding, li kigik pikit!" Bibir Jaemin berucap mengikuti perkataan Renjun, tetapi mengganti semua huruf vokal menjadi "i".

"Apa lo bilang?!" tanya Renjun dengan mata menatap Jaemin saat melihat pergerakkan bibir laki-laki tinggi itu.

"Enggak. Sok tahu! Lo juga ngapain megangin tas gue kayak gitu?"

Jaemin menatap malas Renjun yang tengah menyandera tas miliknya. Terlebih lagi laki-laki pendek itu memeluk tas miliknya dengan erat.

"Biar lo enggak dengan mudah ngambil tas ini. Gue tahu akal bulus kalian yang malas piket."

Jaemin memutar kedua bolamatanya malas. Ia masuk ke dalam kelasnya setelah meletakan ember berisi air yang sudah dicampur dengan obat pembersih lantai.

"Ck. Lo kemana aja, sih! Gue nyariin lo di kelas 11-2 kagak ada. Gue kira lo bakal kabur ninggalin tas lo ini."

Jaemin hanya diam. Ia malas meladeni Renjun yang kerjaannya hanya mengomel sepanjang hari. Mulut apa enggak capek tiap pagi ngomel mulu. Heran itu suara kagak habis-habis, pikir Jaemin.

"Jaemin. Bawah meja jangan lupa."

Jaemin hanya mengangguk. Ia lebih baik mengikuti perintah laki-laki berbadan pendek itu dari pada harus menikmati segala ocehan yang keluar dari mulut yang memiliki lidah setajam silet. Walaupun tidak setajam lidah Doyoung.

"Gue yakin. Si Huang masih jomlo. Mana ada yang mau sama dia yang kerjaannya ngomel mulu. Kasihan gue sama orang yang mau jadi pacarnya."

"Dan gue orang pertama yang bakal mundur secara cepat kalau dia adalah orang terakhir di dunia. Ogah gue ... ogah!"

Jaemin masih asik menggerutu sepanjang menyelesaikan tugas piketnya. Menggerutu dengan suara pelan. Bisa habis dirinya kalau sampai Renjun mendengarnya. Dan tas miliknya, ah, bukan. Tetapi gantungan Ryan miliknya adalah prioritas pertama untuk diselamatkan.

Jaemin masih ingat saat bel pulang sekolah berbunyi. Renjun dengan cepat mengambil tas miliknya dan menahannya sebagai sandera. Tidak lupa tangannya membuka tas miliknya dengan berkata, "Masukkan buku dan alat tulis lo sekarang. Tas lo bakal gue sandera biar lo kagak kabur."

Bisa saja Jaemin meninggalkan tas miliknya. Tetapi gantungan Ryan yang berada di tasnya adalah hal yang berharga. Jaemin bahkan harus meminta ayahnya untuk mendapatkan gantungan yang sangat limited edition itu, bahkan memaksa membeli lebih dari dua. Dan Jaemin tidak mau gantungannya yang berharganya hilang satu.

"Ryanku yang malang."

***

Jeno memandang malas Haechan yang berdiri di sampingnya. Sudah lima belas menit sejak mereka meninggalkan kelas dan laki-laki itu masih berada di sampingnya.

"Lo nungguin apa, sih?!" Jeno berkata dengan jengah karena sejak tadi Haechan hanya diam dan memandang dirinya.

"Nungguin jemputan," balas Haechan santai.

Jeno mengernyitkan keningnya. Nunggu jemputan? Sejak kapan beruang hutan ini dijemput?! Astaga! Bisa gila gue lama-lama.

"Gitu doang? Jeno enggak mau nanya yang lain ke Haechan? Kayak misalnya, 'dijemput jam berapa?' gitu. Atau, 'siapa yang jemput?'"

Sumpah! Ini orang ngomong mulu. Capek gue dengarnya!

"Ayo dong. Tanya Haechan yang lain. Jarang-jarang Jeno nanya soal Haechan. Ya, ya, ya?"

Jeno bergerak ke kiri. Menjauh dari Haechan yang mulai sedikit aneh menurutnya. Tapi sialnya, Haechan mengikuti pergerekkannya untuk mendekat ke arahnya.

Ngapain lagi beruang hutan ini?! Jaemin lama banget, elah! Kak Jaehyun juga lama banget!

Jeno mundur. Haechan ikut mundur. Jeno maju. Haechan pun ikut maju. Jeno ke kiri Haechan pun ikut ke kiri. Kanan? Tidak mungkin Jeno ke arah kanan, karena itu artinya ke arah Haechan. Jeno tidak akan melakukan itu.

"Lo ngapain, sih?! Ngikutin gue mulu!" kesal Jeno yang sejak tadi Haechan terus mengikutinya.

"Yes! Jeno nanya yang lain!" seru Haechan yang sedikit loncat-loncat mengabaikan murid-murid yang masih berada di dekat mereka menatap ke arahnya. Kecuali Jeno yang semakin mengumpat di dalam hatinya.

"Haechan jawab, ya?"

"Kagak usah. Enggak penting!"

"Buat Jeno penting pasti. Haechan ngikutin Jeno terus, karena Haechan kan harus ngikutin apapun yang dilakuin suami Haechan nanti."

Amit-amit gue! Musnah kek lo beruang hutan! Berisik hidup gue ada lo! Gue ke kelas Jaemin aja, lah!

"Eh! Jeno! Kok Haechan ditinggal! Tungguin!" seru Haechan berlari mengejar Jeno yang pergi begitu saja.

Bangsat! Katanya nungguin jemputan. Ngapain malah ngikutin gue, elah! Beruang hutan sialan!

***

Doyoung tersenyum menatap mangkuk keempat ramyeon yang baru saja dihabiskan oleh Jaehyun. Tangannya terangkat memanggil pramusaji yang menuju ke arahnya.

"Sayang. Udah, ya. Perutku udah kenyang banget. Enggak sanggup makan lagi. Enggak lagi, deh, aku kayak tadi. Janji!"

Doyoung tersenyum. "Aku mau pesan makanan buat Jeno sama Jaemin.'

Jaehyun tersenyum lega. Ia menarik napasnya perlahan hingga matanya melebar saat mendengar perkataan Doyoung.

"Ramyeon yang ini sama ini satu lagi, ya. Makan di sini aja. Minumannya juga tambah lagi."

Setelah Doyoung mengatakan, ia tersenyum ke arah Jaehyun. "Lihat kamu makan tadi aku jadi lapar lagi. Sekalian aja aku pesan lagi yang ramyeon kamu tadi. Kita makan bareng."

Alasan! Perut kotak-kotak gue akan hilang dalam sekejap.

"Enggak mau? Ya udah, enggak usah makan."

"Eh!" Jaehyun dengan segera merubah raut wajahnya menjadi tersenyum.

"Enggak. Aku suka, kok. Aku makan lagi nanti ramyeonnya."

Tidak lama, pesanan Doyoung datang. Jaehyun memandang ramyeon miliknya dengan tidak selera. Namun, ketika netranya melihat bertemu pandang dengan netra Doyoung yang menatapnya dengan tajam, tangan Jaehyun dengan cepat meraig sumpit miliknya dan mulai makan.

"Aku kenyang. Kamu habisin ramyeon punyaku, ya. Aku udah enggak sanggup makan lagi, Jae. Kenyang banget."

Ingin rasanya Jaehyun melempar sumpit yang ada di tangannya. Ramyeonnya kelimanya baru saja akan habis dan sekarang Doyoung berkata seperti itu. Ramyeon milik kekasihnya itu masih setengahnya dan perutnya benar-benar sudah kenyang.

"Sayang. Aku udah kenyang. Ak--"

"Jadi, kamu enggak mau habisini ramyeon aku? Dulu kamu bilang kalau makanan aku enggak habis, kamu yang akan habisin," kata Doyoung dengan nada yang dibuat sesedih mungkin.

Fuck! Mulut sialan gue. Jadi, senjata makan tuan. Mana gue kagak tahan kalau Doyoung lagi begini.

Jaehyun mengeluh pelan. Ia mengambil mangkuk ramyeon milik Doyoung. Mau nangis rasanya gue makan begini banget.

"Terima kasih Jaehyun Sayang."

***

23 Mei 2020

Kakak Beradik Jung (Jaedo, Nohyuck & Jaemren)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang