DELAPAN

7.5K 1.1K 233
                                    

Doyoung dan Jaehyun hanya saling memandang setelah Jaemin keluar. Semenjak menjemput di sekolah, si bungsu tampak diam tidak seperti biasanya. Selama di jalan pulang keduanya sesekali melirik Jaemin yang hanya melihat keluar kaca mobil.

"Dia kenapa? Tidak seperti biasanya." Doyoung bertanya kepada Jaehyun yang hanya dijawab dengan mengangkat kedua bahunya. "Apa terjadi sesuatu di sekolah hingga membuatnya mood-nya menjadi buruk?"

Jaehyun hanya melihat sekilas punggung Jaemin yang sudah masuk ke dalam rumah bersama Jeno. Jarang sekali melihat si bungsu diam seperti itu. Benar yang dibilang Doyoung, pasti terjadi sesuatu di sekolah hingga membuat suasana hati adiknya itu berantakan.

"Biar aku yang bertanya. Kalau kamu yang bertanya, pasti akan berlebihan. Aku tahu kamu seperti apa, Jae." Doyoung menahan tangan Jaehyun. "Sebagai calon kakak ipar mereka, aku harus selalu memperhatikan mereka. Tidak hanya memperhatikan bayi peach ini saja."

Senyum Jaehyun merekah. Ia memang tidak salah jatuh cinta.

"Aku akan bertanya kepada Jeno juga. Jika memang Jaemin enggak mau ngomong, kita bisa tahu dari Jeno," usul Jaehyun yang langsung diangguki oleh Doyoung.

"Kalau gitu, aku langsung ke kamar Jaemin. Kamu parkir dulu mobilnya, makan siang tinggal kamu panasin di microwave ya," ucap Doyoung yang langsung diangguki oleh Jaehyun.

Langkah Doyoung sedikit cepat hanya untuk segera menuju kamar Jaemin. Kamar yang berada di sebelah kiri kamar Jaehyun. Diketuknya pelan pintu kamar itu, "Jaemin. Ini Kak Doyoung. Kakak masuk ya."

Tidak ada jawaban dari sang pemilik kamar membuat Doyoung sedikit khawatir. "Jaemin. Kakak masuk ya." Sekali lagi Doyoung meminta izin, namun tetap tidak ada jawaban. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia akhirnya membuka pintu kamar dan melihat Jaemin yang tengah menidurkan kepalanya di atas meja belajar.

Pasti terjadi sesuatu, batin Doyoung yang berjalan mendekat. Tangannya terulur untuk mengelus rambut si bungsu. "Jaemin kenapa? Mau cerita sama Kakak?" tanya Doyoung dengan lembut.

Orang-orang yang melihat Jaemin pasti akan mengira laki-laki itu adalah uke. Tetapi dibali sifatnya yang soft, Jaemin adalah sosok seme yang diidam-idamkan oleh kaum hawa dan uke.

Doyoung berjongkok di samping Jaemin. Memandang wajah si bungsu yang terlihat murung. "Apa ada sesuatu yang Jaemin inginkan?" tanyanya lagi yang masih belum ada jawaban dari si bungsu membuat Doyoung menghela napasnya berat.

"Jaemin yakin enggak mau cerita sama Kakak? Apa mau Kak Jaehyun yang nanya?" tantang Doyoung dan berhasil. Jaemin hanya menggeleng sebagai jawabannya. Baik itu Jaemin dan Jeno, mereka berdua paling malas bila Jaehyun bertanya. Karena mereka tahu, Jaehyun akan memberikan pertanyaan-pertanyaan tanpa henti sampai si sulung itu puas.

"Ayo sekarang cerita sama Kakak, kalau enggak mau Kak Jaehyun yang nanya."

Jaemin merubah posisi duduknya menghadap ke arah Doyoung. "Ada anak di kelas Jaemin yang nyebelin. Dia bilang masakan Kak Doyoung itu murahan, beda sama makanan dia yang berkelas gitu."

Doyoung tersenyum. "Jaemin tahu sendiri, Kak Jaehyun yang minta dimasakan makanan rumahan pada umumnya untuk kalian. Kakak hanya menuruti permintaan kakak kalian," balas Doyoung yang dijawab dengan anggukan mengerti oleh Jaemin.

"Jaemin enggak marah karena itu, hanya saja Jaemin enggak suka dia bilang masakan Kakak itu murahan."

Doyoung tampak berpikir sejenak. "Kalau gitu, besok kakak masakin buat kelas kamu sama Jeno. Menu kesukaan kalian di restoran Kakak mau?"

Mendengar perkataan Doyoung, Jaemin seketika membelalak dengan sempurna. "Enggak. Nanti Kak Jaehyun mar—"

"Jangan bilang. Kalau dia sampai tahu karena itu, dia bisa saja langsung ke sekolah dan mencari anak itu. Pokoknya ini urusan Kakak, nanti Kakak cari alasannya. Kelas kamu sama Jeno ada 30 murid, 'kan?" tanya Doyoung yang langsung jawab dengan anggukan oleh Jaemin. "Berarti Kakak harus masak 60 menu, ditambah 100 menu untuk guru kalian. Biar kakak kalian tidak curiga."

Doyoung berdiri. "Sekarang kita makan dulu. Jaemin pasti lapar," ajaknya yang langsung diangguki oleh Jaemin. "Kalau ada apa-apa cerita sama Kakak aja. Jeno juga seperti itu."

Jaemin mengerutkan keningnya. "Jeno suka cerita sama Kak Doyoung?" tanyanya yang langsung diangguki oleh Doyoung. "Kok Jaemin enggak tahu!"

"Lagian kamu dekatnya sama Kak Jaehyun. Kalau Jeno deketnya kan sama Kakak."

***

Setelah membantu Chenle membersihkan kamarnya. Ia hanya duduk di depan televisi, mengabaikan suara adik kandung—beda ibu—yang terus merengek untuk membantu menyiapkan makan malam.

"Chenle. Kamu enggak boleh pegang pisau. Kalau sampai lukanya berbeka, Ibumu bisa marah sama Mama. Kamu nonton saja sama Kak Renjun."

Chenle merengut. "Enggak. Chenle mau bantu Mama."

Renjun melihat sekilas. Melihat sang mama kesusahan melarang Chenle yang sejak tadi berusaha membantu membuat Renjun menghela napasnya. "Chenle. Hari pertama sekolahmu, 'kan? Kakak bantu bahasa-bahasa yang mudah kamu mengerti."

Mata berbinar Chenle menatap Renjun. "AYO! CHENLE MAU CEPAT AKRAB DENGAN TEMAN BARU."

"PELANKAN SUARAMU!"

"RENJUN! KAMU SAMA SAJA!"

Chenle dengan cepat menarik tangan Renjun untuk berdiri dan mendorong kakaknya menuju kamar. Dia sangat antusias untuk bisa cepat beradaptasi dengan sekolah barunya.

Renjun hanya tersenyum ketika masuk ke dalam kamar. Duduk di atas kasur dengan Chenle yang berada di sebelahnya. Menceritakan setiap seluk-beluk sekolahnya agar sang adik tidak kesasar besok.

"Besok kalau kamu belum dapat teman, segera kirim pesan ke Kakak. Kita makan siang bersama," kata Renjun yang langsung diangguki oleh Chenle.

"Kalau kamu diapa-apain, bilang kalau kamu punya Kakak di kelas unggulan juga."

Chenle mengangguk. Yang ditangkapnya adalah kalau ada yang mengganggu dirinya, ia tinggal menyebut nama Renjun. Mendengar itu saja sudah membuat Chenle merasa bangga dengan kakaknya. Kak Renjun orang yang ditakuti di sekolah!

***

Haechan hanya diam memandang meja makan. Hanya ada satu piring dan itu untuk dirinya. Lagi dan lagi, kedua orang tuanya tidak bisa makan malam bersama. Hanya hari libur mereka bisa makan bersama.

"Apa restoran Mama lagi ramai ya?"

"Tapi memang jam segini lagi ramai, karena ini jam makan malam."

"Apa telepon Papa untuk video call?"

"Enggak ... enggak ... Papa tadi bilang kalau hari ini ada makan malam dengan klien. Haechan enggak boleh ganggu."

Helaan napas mulai terdengar. "Sepertinya Haechan harus makan seperti biasa."

Langkahnya memutar meninggalkan meja makan. Berjalan menuju ruang keluarga dan mengambil dua bingkai foto yang ada di sana.

Dengan senyum penuh arti. Haechan kembali ke meja makan dan meletakkan dua bingkai itu di depannya. "Selamat makan Papa ... Mama ... Jangan lupa selalu bersyukur kepada Tuhan atas hari ini."

Dua bingkai yang diambilnya adalah foto kedua orang tuanya. Walaupun selalu seorang diri di rumah, Haechan akan selalu makan di depan kedua foto orang tuanya. Dia tidak menangis, dia hanya makan dalam diam dengan sesekali bercerita.

"Mama tahu, tadi Jeno makan bekal yang Haechan bawa dan habis. Haechan senang banget, Ma."

"Oh iya, Pokoknya Papa jangan lupa bawa tape recorder pesanan Haechan."

"Tadi ulangan bahasa inggris Haechan salah tiga. Soalnya pas ujian listening headset yang Haechan pakai kresek-kresek udah gitu sebelah doang yang nyala."

"Tadi Pak Choi masa marahin Haechan karena salah masukin rumus. Padahalkan Haechan cuman typo doang pas nulis! Sebel!"

Haechan hanya menceritakan apa yang hari ini terjadi. Walaupun pada akhir pekan, dirinya juga pasti akan bercerita hal yang sama. Tetapi, baginya tidak apa. Rasanya berbeda walaupun tetap senang.

***

November 1st, 2020

Kakak Beradik Jung (Jaedo, Nohyuck & Jaemren)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang