Hilang

104 18 5
                                    

Biasanya Mama menjemputku di sekolah. Terkadang bersama Papa, aku akan tersenyum riang dan menghampiri mereka. Berseru, melompat ke gendongan Papa sambil tertawa.

Jam berapa ini? Aku merapat di gerbang, tadi menolak tawaran Guanlin dan Jaemin untuk menumpang. Takut Mama datang dan mencariku. Sekolah sepi... aku mulai gelisah.

Jalan kaki? Tapi aku tak bawa uang sama sekali. Baru ingat, uangnya kuletakkan di meja rias---lupa kubawa. Lagipula aku menyimpan khawatir, kalau Mama datang. Dilema menghampiri, aku berpikir untuk pulang jalan kaki. Tapi jarak rumah ke sekolah pun jauh, kalau jalan kaki, bisa-bisa aku sampai di rumah pada sore hari.

Lalu? Tak mungkin menunggu lebih lama. Aku baru mendengar gosip soal pembunuh berantai yang belum tertangkap. Tidak lucu kalau Mama menemuiku dalam bentuk mayat, aku masih mau cookies buatan Mama!

"Maaf... Mama...,"

Melangkah, aku tidak tahu pasti jam berapa. Sekolah yang sepi menakutiku, pembunuh berantai juga menghantuiku. Memutuskan untuk pergi, memikirkan kemungkinan terburuk jika tersasar.

~Pine Tree~

Waktu TK, Mama menyewa seorang mahasiswa untuk antar-jemput. Lalu Mama memegangku penuh ketika aku SD. Ia mengajukan pengunduran diri di Dream Day usai mengadopsiku. Namun akhirnya, ada kerja kontrak dengan hitungan yang berbeda dari Papa. Sebab, ada aku yang harus di urusi.

Alasan kenapa kadang ia ke kantor, kadang di rumah.

Menoleh, orang-orang sempat menanyaiku, menjawab dengan "Tidak apa-apa," dan "Aku mau pulang." Selebihnya mengatakan bahwa aku menggemaskan dan...

sudah, berlalu begitu saja.

Aneh sebenarnya, anak kelas 2 SD tak bisa pulang sendiri. Tapi aku tak hafal nomor bus dan segala macam, Mama bilang aku harus menunggu usia yang ke-10 baru boleh pulang sendirian.

Benar-benar sendirian, kalau sekarang aku pulang dengan kawan-kawanku, mungkin Mama mengiyakan. Tapi aku tak bilang soal pulang bersama. Uangku juga tertinggal.

Aku yang buta arah. Memutuskan untuk melangkah kemana saja --pasrah dengan kaki sendiri. "Kayaknya gak pernah lewat sini...,"

Menemui cukup banyak jalan buntu, beberapa kali berputar arah, kembali ke titik awal dan mencoba jalan lain. Jalanan mulai ramai---sepertinya jam pulang kerja, karena aku bisa melihat langit berwarna orange cantik.

Mendongak kagum. Sampai lupa kalau berdiri di tengah trotoar, beberapa meneriakiku untuk menyingkir---yang langsung kuturuti tanpa kata. Kembali melangkah tak tentu arah.

~Pine Tree~

Kakiku mulai pegal, perutku meraung minta di isi. Persediaan minum habis sejak aku terjebak di langit orange. Memutuskan untuk duduk, menatap orang-orang berlalu lalang.

Drrssshhh!!

Dan... yak... hujan... udara menusuk, aku tak memakai apapun selain seragam sekolah. Terduduk di depan toko kecil. Tanganku terulur, menadah air hujan---selintas di pikiranku adegan drama yang pernah di tonton Mama.

"Nak?"

"Aduh!" aku melompat kaget, "O-oh... iya... maafkan saya." Aku membungkuk sopan, seorang ahjumma memindaiku. Menggeleng maklum.

"Ayo masuk, dingin."

Ragu, Mama pernah memperingatiku soal orang asing. Ahjumma itu tampak tahu soal kekhawatiranku, jadi ia mengatakan aku boleh duduk di bagian depan toko. Bahkan memberiku segelas kecil hocha untuk menghangatkan diri.

Pine Tree || Pacadong/YoungdongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang