T

30 6 0
                                    

CTI-STC

Bagaimana jika aku yang menyerah? Atau kamu masih ingin berjuang?

>>>

< Indonesia, Frederick Corporation, 23 Oktober 2036

Alex baru saja tiba, tapi tampaknya Watson sudah mengetahui akan kedatangannya, ia langsung dipersilahkan masuk ke dalam ruangan itu bahkan minuman telah disediakan di meja tamu. "Hey, Watson! Apa kabar?" Watson tersenyum dari balik kacamatanya, "Baik Alex, ada apa?" Alex terkekeh pelan seraya menggeleng, "Kau ini, sudah seharusnya kau pensiun. Kenapa masih bekerja?" Tanya Alex kemudian duduk di kursi yang berada di depan meja Watson. "Baru 77 Alex, aku 3 tahun lebih muda darimu!" 

Alex mengerutkan dahinya heran, "Bukankah itu sudah tua?" Tanyanya dengan wajah datar. "Tentu saja, tapi tua mana denganmu? Kekeke, kau juga masih bekerja Alex," Watson tertawa kecil melihat Alex yang sebal, "Ah iya, bagaimana kabar Arha?" Watson langsung diam seketika, "Ia mogok makan, ia hanya makan ketika ada Arsya. Ia tak bisa bekerja dengan maksimal, jadi ku minta dia beristirahat dan Arthur serta Jasmine membantunya... Ia juga terlihat sering melamun saat ku mintai tolong. Hah... Anak itu..."

"Ah... Seburuk itukah keadaannya? Bahkan Al tidak berpikir terlalu lama akan hal-hal itu, ia memang sempat mengambil cuti selama 2 Minggu sampai pekan depan, tapi ia tidak sedikitpun mogok makan atau bekerja," Watson menggeleng, "Cucuku terbiasa di manja, sekali ia kehilangan, maka penyesalannya tak ada bandingan, dia terus menangis Alex, jezz... Aku lelah menasehatinya untuk berhenti menangis," Jelas Watson, mengingat bahwa Arha adalah anak terakhir yang manja dan mungkin bisa dibilang ceroboh juga.

-CTI-

Arha menolak ajakan sang ibu untuk makan, dengan alasan ia sudah makan di kantor sebelumnya. Ia masuk ke dalam kamarnya. "Arha... Sebaiknya kau paketkan gaun itu kepada Al. Tuliskan permintaan maafmu, sampai kapan kamu mau tidak makan? Kau akan semakin kurus dan bisa mati kelaparan," Ucap sang Ibu seraya mengusap kepala Arha. "Bu... Kapan? Kapan dia memaafkanku?" Sudah nyaris ke-100 kalinya sang ibu mendengar pertanyaan itu dilontarkan anak terakhirnya. Sang ibu tahu, betapa rapuhnya Arha saat ini.

"Ibu tidak tahu pasti itu kapan nak, tapi... Ibu tahu, Al pasti akan memaafkanmu bila kamu meminta maaf kepadanya dengan cara yang benar. Sekarang, lipat yang rapi gaun itu, ibu bantu. Kamu tulis surat untuknya," Arha menghela nafas, segera diletakkannya gaun itu di pangkuan sang ibu. Ia beranjak dari sana dan duduk di sofa yang lain, menulis entah apa. "Nanti kalau kamu gak berani ketemu dia, di paket kan saja tidak apa-apa," Arha mengangguk, matanya mulai basah. Ia bingung harus menulis apa lagi selain serangkaian kata patah hatinya.

"Nah, sudah Ibu masukkan ke kardus. Letakkan suratnya di dalamnya, lekatkan tutup kardusnya dengan rapi. Ibu masak dulu ya? Ibu harap nanti malam kamu mau bergabung makan malam. Jarang-jarang kamu pulang ke rumah," Arha mengangguk, tersenyum kecil, "Thanks Bu,"

Arha selesai menulis suratnya. Segera di masukkannya surat itu ke dalam box berisi gaun pernikahan Al 9 tahun yang lalu. Seharusnya tanggal 16 kemarin mereka merayakan Anniversary mereka yang ke-9. Mirisnya justru datanglah pelakor disaat dimana seharusnya sepasang suami-istri ini berbahagia. Arha mengangkat box itu dan keluar dari kamarnya. "Ibu! Aku antar dulu ya paket ini! Aku pulang nanti, setelah menjemput Arsya!"

"Ya, hati-hati dek!"

-STC-

Al masuk ke dalam kantornya, ia memang tak bekerja di kantor seperti biasanya, tapi ia tetap sibuk mengurus visi-misi yang telah ada. Perusahaan di New York diambil alih oleh sang adik, Diego Alaska. Setidaknya melalui serangkaian paksaan, Diego akhirnya mau mengambil alih kekuasaan meski diseimbangkan dengan kegiatannya mengudara sebagai seorang pilot aktif. "Selamat datang Nyonya," Seluruh karyawan menyapa dengan lemah lembut dan sopan. "Permisi, Nyonya Alaska, ada yang mencari Anda,"

"Oh ya? Suruh saja dia masuk, terima kasih Fathiah," Sang sekretaris mengangguk dan kembali menutup pintu. Tak lama kemudian seseorang masuk ke dalam ruangan itu. "Uh-oh, hi Al!" Al mengangkat kepalanya, menatap sosok itu. "Oh! Wijaya! Kenapa kamu tidak bilang kalau kau datang hari ini? Duduklah, aku ambilkan minum," Wijaya menggeleng, ditariknya kursi di depan meja Al, duduk disana. Al berdiri dari kursi kebesarannya dan berjalan menuju kulkas, mengambilkan minuman untuk Wijaya.

"Thanks," Wijaya menerima lemparan soda kaleng itu dengan cepat dan tepat. "Well, ada apa Jay?" Al kembali duduk di kursinya, menatap Wijaya yang masih sibuk dengan HP-nya. "Nah-nah, ini, aku akan sangat berterima kasih bila kau menyetujuinya," Wijaya menyodorkan sebuah berkas, "Persetujuan? Wait, kamu udah megang perusahaan ayahmu!?" 

"Tentu saja Al, aku satu-satunya anak laki-laki di rumah. Apakah kau lupa?" Al terkekeh, "Tentu aku tidak lupa Wijaya, sini akan aku tanda tangani. Nanti berikan ke resepsionis, mereka akan mengurusnya lebih lanjut," Jelas Al, tangannya terulur menerima berkas itu, dengan lihai tangannya menandatangani berkas tersebut. "Oh ya, selamat Jay, aku dengar kamu akan menikah ya?" Tanya Al setelah usai menandatangani berkas itu. "Hu-um, terima kasih Al, ternyata kau tetap cepat tanggap seperti dulu,"

"Al tetap Al, ahahaha," Ucap Al kemudian keduanya tertawa lepas. "Ini undangan pernikahanku, terima kasih Al. Sampai jumpa lain hari!" Al mengangguk, Wijaya melenggang keluar dari ruangan itu. Tanpa ia sadari, ada sepasang mata yang menatapnya penuh kesakitan, tatapan itu perih rasanya jika dilihat.

-CTI-

Arha memutuskan untuk mengantar langsung box tersebut ke perusahaan Al. Setidaknya mungkin yang menerima sekretaris Al. Tapi asumsinya salah, sekretaris Al tengah pergi untuk menjenguk salah satu temannya. Satu-satunya cara adalah memberikannya langsung pada sang CEO. Arha segera masuk ke lift bersama beberapa karyawan, tentu saja karyawan itu sangat menghormatinya karena yang mereka tahu, Arha adalah suami dari bos mereka.

Arha berjalan sedikit lambat, berusaha tenang, "Keep calm, alright... Please... Don't be afraid, it's your faults... You need to apologize to her... Please..." Tapi Arha berhenti cukup jauh dari ruangan Al. Al ada disana, bersama seorang pemuda yang tentu saja Arha juga kenali. Wijaya Stevan Arnold, ayahnya pemilik perusahaan obat kimia dan herbal serta perlengkapan otomotif pesawat. Kaya raya? Jauh di atas itu!

Wijaya adalah saingan terberat bagi Arha. Wijaya memiliki status cinta pertama Al. Keduanya bersahabat saat duduk di bangku sekolah dasar. Arha kalah banyak soal kesempurnaan kalau tandingannya Wijaya. Wijaya juga idola di sekolahnya dulu. Jago voli, sepak bola, basket, kasti, fisika, bahkan hal-hal berhubungan dengan spiritual juga. Wijaya juga orang yang polos, lugu, baik hati, siapa yang tak jatuh ke dalam pesonanya?

Arha menghela nafas, jendela kaca bening itu tak ia lihat lagi, ia segera meninggalkan kantor itu. Menjemput Arsya mungkin lebih berguna. "Maafkan aku Al, kalau kau mau, kau bisa memajukan surat asli untuk persidangan. Maafkan aku..." Arha kembali menangis, matanya memburam sepanjang perjalanan.

Ia berhenti di Apartemen Al, menghampiri resepsionis, "Permisi, bisakah saya menitipkan kotak ini? Tolong berikan kepada CEO kalian. Terima kasih," Setelah Arha menandatangani surat penitipan dan membayar biaya penitipan, Arha segera melangkah pergi, patah hati nya kini berubah menjadi remukan remahan-remahan.

-STC-

Al merapikan ruangannya, saat ia akan turun, Sekretarisnya menghampiri dan tampak bertanya-tanya. "Lho? Nyonya? Tuan Frederick Muda sudah pulang?" Al seketika menyipitkan matanya dan mengerutkan dahinya bingung, Frederick Muda itu kan Arha. "Em, permisi? Frederick Muda? Tuan Arham Frederick?" Tanya Al seraya mengangkat berkasnya. "Lho, Nyonya belum bertemu? Tadi Tuan Frederick Muda mau memberi anda kado, dia membawa box yang dihias sangat indah! Saya yakin Tuan Frederick Muda ingat betul Anniversary Nyonya dan beliau," Al hanya tersenyum masam, 'Kado? Dan... Dari mana karyawan ini tahu Anniv ku dan Kak Arha?'

"Maaf mengganggu Nyonya, saya duluan ya," Sekretaris itu segera melenggang setelah menerima berkas dari Al. Al terdiam, "Kak Arha kesini? Bawa kado? Tunggu... Hah! Minggu lalu kan ulang tahun pernikahan kita!" Al terdiam, ia hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Kini ia yang merasa bersalah.

"Pak? Tolong jemput saya sekarang juga di kantor, terima kasih,"

CTI-STC

TBC.

Indonesia, 26 Mei 2020.

CTI - STC [ ENDED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang