Satu Tahun✔

47 16 0
                                    

Satu tahun sudah aku bersekolah di ibu kota. Satu tahun sudah aku beradaptasi dengan situasi yang bertolak belakang dari keadaanku. Satu tahun sudah aku mengumpulkan memori yang jelas telah kebek¹ dan sangat besar kemungkinannya untuk terus menyimpan memori itu. Dan sudahlah, tak perlu banyak dipikirkan. Yang selalu penting dan terpenting adalah menunjukkan pada orang tuaku yang jauh di sana bahwa IQ manusia desa tak lebih buruk dari orang kota. Dan yang utama dan pertama, aku harus selalu meningkatkan imanku dengan perang batin untuk menuju jati diriku. Tak lupa, untuk menuju dua tahun aku bersekolah di ibu kota ini, aku harus menambah berat badanku, yang mengacu pada 'harus makan banyak'. Dan itu semua cukup melelahkan.

Layar kecil di sampingku bergetar, membuyarkan kepingan puzzle yang baru saja kurangkai. Jariku menyentuh tombol 'angkat' yang kemudian menampilkan gambar seorang lelaki paruh baya, berhidung mancung, alis tebal, dan wajah datar. Aku tau, dan jelas tau, dia bapakku. Tiba-tiba ada segelintir rasa muncul layaknya sebuah ruang tanpa isi yang membuatku kelu berkata-kata. Semuanya seakan menderu-deru di hatiku, kapan kita bertatap muka langsung Pak?

Dari menatap wajahnya lewat layar kecil ini saja membuatku rapuh. Garis wajahnya yang kian menapak jejak di jalan setapak sunyi menuju kesenjangan mulai nampak, tapi sejauh itu aku masih melihat matanya menunjukkan binar bening yang selalu menyetrum semangatku untuk beribadah. Entah kenapa. Aku terlalu merindu Pak. Dan itu sebuah kalimat menggelikan jika diungkapkan. Selama ini, ketika rindu aku akan merapal doa khasnya, dan entah bagaimana aku merasakan dia datang, dan aku memeluknya. Benar-benar memeluknya, dalam doa.

Tiba-tiba saja dia berdehem yang membuyarkan hatiku berkata-kata. Dan biarlah, ini sebuah pembicaraan batin seorang bujang dengan bapaknya yang sangat sakral.

"Iki rencange pada ngene, jarene pan ketemu deke," (Ini teman-temanmu datang kesini, katanya ingin bertemu kamu.)

Aku hanya mengangguk, lalu muncullah kepala-kepala tuyul yang memantulkan cahaya matahari. Silau.

"Ada apa ini? Kok lampunya dinyalakan Pak?" kataku melucu.

"Weleh-weleh deke ngenyek temen si! Apa ra kangen karo rai-rai seng ngene kie pa?" (Weleh-weleh, kamu menghina sekali sih! Apa tak rindu dengan nampak-nampak yang macam ini kah?) katanya menimpali leluconku.

"Edan nek nyong kangen karo deke. Mending si kangen karo kebone nyong timbang kangen karo tuyul Paijo,"(Gila kalau aku rindu dengan kamu. Lebih baik rindu dengan kerbauku daripada rindu sama tuyul Paijo,).

"Leh ngenyek! Iki nyong digundul gara-gara bapake deke!" (Dih menghina! Ini aku dibotak gara-gara bapakmu!) adunya berbisik.

"Salahe sapa ndablek. Nek ora ya ora lah," (salah siapa nakal. Kalau tidak ya tidak lah) ketusku.

"Va, owes ya guyone. Nang kene dewek pengen ngomong, pengen cerita," (sudah ya melucunya. Di sini kita ingin bicara, ingin cerita) prolognya serius.

Aku hanya berdehem, kemudian layar kecil ini menampilkan sosok teman-temanku, kerbauku, daraku, dan semuanya yang berbau desa, yang membuat hatiku seketika terbelah bahkan terpecah menjadi banyak kepingan. Andai saja mereka tau bahwa di sini aku tak bahagia. Andai saja mereka tau bahwa di sini aku menderita. Andai saja mereka tau bahwa aku benar-benar merasa tidak nyaman. Dan mereka semua tak akan melakukan hal yang sekonyol ini. Hufh.

Terlalu sibuk mengandai-andai, Paijo menutup panggilan lama ini karena adzan Maghrib berkumandang. Aku sadar dan kemudian berlari begitu saja menuju kamar mandi. Entah kenapa aku tersengat setrum dari kawan-kawan di desa. Faktanya, mereka mematikan panggilan itu dan memotong si Udin berbicara, untuk segera solat Maghrib, jika tidak, mungkin bapakku akan tak engan mencukur kepala mereka lebih botak. Dan realitanya, kini aku merindukan mereka. Mereka semua.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
¹ Penuh.
² Ini menyebalkan.

Meninggi LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang