Ilalliqo✔

44 11 10
                                    

Bukan perpisahan,
hanya penjedaan karna perjuangan.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Aku melangkahkan kakiku. Bukan sekedar mengangkat dan menurunkanya untuk mencapai tujuan, disini aku melangkahkan kakiku menuju tempat yang berbeda dan tak untuk menjalani tujuan, melainkan mencari tujuan.

Illaliqo. Hanya sebuah kalimat, yang mampu kulontarkan pada serentengan manusia berkulit sawo yang berenteng di bandara, menangisi kepergianku. Ada sedikit ngilu, tidak! Tidak sedikit, bahkan sepenuhnya. Hatiku serasa memberat ketika aku tak melihat satupun diantara mereka penghuni surgaku. Tak ada ibu, bapak, Ana, atau Husein sekalipun. Bahkan, aku tak bisa kembali ke desa untuk sekedar memberi berita, dikarenakan ada lowongan kerja yang segera kulamar. Hingga aku hanya bisa mengabari mereka melalui layar kecil yang menampilkan wajah-wajah haru mereka. Dan untuk kedua kalinya. Setelah tujuh tahun lamanya. Dan sekarang akan kutambah lagi? Menjadi berapa tahun Ya Rabb? Aku rindu mereka. Aku rindu desa.

Kakiku terasa berat melangkah, aku butuh penitah. Tapi, aku tak boleh rapuh! Mimpi bukan negosiasi yang bisa di bayar, tidak! Aku tak boleh kembali. Aku harus melangkah, dan mengubah bahwa negoisasi adalah pemecah. Tidak!

Sebenarnya ini sama sekali tidak dramatis dengan berapa orang menangis sesenggukan, melambai padaku, dan aku yang menoleh kikuk tanpa air mata. Sama sekali tidak. Ini hanya seberapa malas seseorang untuk keluar dari zona nyaman. Enggan bergegas dari kenyamanan yang membutakan kenyataan. Dan mereka hanya menjadi budak ZONYA, yang turut berduka cita pada akhirnya. Miris bukan? Jadi aku memilih bersikap santai dan mencoba berprofesional, seperti salah satu sifat pekerja kantor yang nanti akan segera kujabat. Hahaha.

"Ilalliqo!" seruku yang kemudian dibalas dengan seruan yang sama oleh mereka.

Seorang dari mereka berlari mendekat padaku dan tiba-tiba saja mengambrukkan tubuh gorilanya di dadaku. Dasar foolish!

"Ardi. Kita sudah bukan anak SMA cuy!" candaku karena dia memelukku dan menangis sejadi-jadinya.

"Nanti kalau aku pulang kasih kabar dan bawa oleh-oleh! Terus nanti kita makan bersama sambil nangkring di pohon cinta ya! Hahaha!"  lanjutku sedikit menenangkannya dengan bahasa gaul sebisaku, yang mungkin malah terdengar kaku.

Tapi, tangisnya tambah menjadi-jadi. Aku menjadi bingung harus bagaimana dan yang kubisa hanya menepuk-nepuk pundak tebalnya. Kenapa tiba-tiba dia menjadi manja? Ini memalukan sekali!

"Te... terima kasih.. Elo ngerubah hidup gue Fa. Lo berarti bagi gua. Haaa, Lo baik-baik disana ya. Tapi gue ngerasa gue nggak bakal pernah baik pas nggak ada Lo," isaknya, kemudian aku melepas pelukannya dan memegang kedua bahunya.

"Ar, tidak ada kebaikan jika kejahatan tidak ada. Sesuatu dianggap baik jika ada kejahatan, yang menjadi penyeimbang. Aku yakin kamu bisa sendiri tanpa aku, bisa. Ada Allah, ada keluarga, ada saudara,-

"Ngga ada temen!" potongnya.

"I hope you know and i can meet with new you again. And see you nice time! Ilalliqo," kataku kemudian berlari menuju pesawat yang hampir tertutup.

"Ilalliqo!" teriakku sebelum pintu pesawat benar-benar tertutup.

Dan ilalliqo ibu,bapak, Ana dan Husein! Ilalliqo penghuni surga! Ilalliqo desa! Ilalliqo Indonesia!

Meninggi LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang