Mulutmu sepi, pikiranmu ramai,
dan itu yang membuatmu lunglai.~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Papan pengumuman penuh dengan siswa siswi yang tak henti-hentinya menaik-turunkan jarinya pada selembar kertas yang ditempel pada papan pengumuman. Aku hanya bisa memandang mereka tanpa harus berkata-kata. Pikiranku merujuk pada nilai, nilai, dan nilai.
Hari ini adalah hari pertama pengumuman hasil tryout 1, yang sukses membuat hatiku berdebar-debur. Mataku tak henti-hentinya melihat tingkah aneh teman-temanku. Beberapa ada yang mengusap-usap mata lembabnya, ada pula yang berhamdalah, dan tentu juga ada yang menepuk-nepuk pundak temanya yang sedang terisak. Tapi, di keadaan yang kunilai genting ini, masih terdapat juga beberapa siswa yang malah sibuk bermain game, berbincang-bincang kesana-kemari, seakan-akan tak pernah merasa kesedihan yang tengah dirasa oleh beberapa siswa lainya.
"Hoy! Ngalamun aja Lo!" Gavin menepuk pundakku, mengejutkan.
Mataku meluncur sesuai urutan peringkat, menghabiskan satu halaman kertas dari peringkat 1-50. Mataku kembali menjelajah selembar kertas untuk sekedar mencari sebaris namaku. Nihil. Aku mulai resah. Hingga kertas terakhir, aku belum juga menemukan sebaris namaku.
"Kok punyaku tidak ada ya?" bingungku kepada siapa saja yang mendengarnya.
"Ini, rank 56," Gendewa menunjuk selembar kertas didepannya yang berisi sebaris nama dan nilaiku.
"Alhamdulillah!" panikku.
Tapi, tak cukup begitu. Bahkan ciran bening perlahan perlahan menutupi pandangan mataku yang menatap lekat di papan pengumuman. Secepat mungkin aku berlari ke Musala sebelum bendunganku terbongkar. Gendewa dan Gavin sempat mengikutiku, tapi kemudian mereka menghilang. Biarlah. Aku butuh ketenangan. Satu kata yang hanya mampu mendeskripsikan perasaanku. Gagal.
"Woy! Ngapain di sini terus? Balik Fa, dah mau masuk!" pinta seseorang padaku.
Aku tak ingin menjawab. Kerongkonganku terasa kering setelah hampir setengah jam aku menangis dalam diam.
"Woy!" suara itu mendekat.
"Ngapain Lo nangis-nangis ginian? Ajrit! Cengeng bet dah Lo!" umpat dia, Gavin, sekaligus mengomeliku.
"Nilai Saya turun. Drastis. Alhamdulillah," balasku sekenanya dengan suaraku yang terdengar parau.
"Lagian..-
"Saya tau. Kamu mungkin pernah mengalami hal seperti ini. Dan tak secengeng Saya. Saya tau. Tapi, ini berbeda,"
Aku memotong perkataan Gavin. Hatiku merasa risih dengan kedatangannya. Sebenarnya, aku tak suka dengan seseorang yang terlihat lemah di mata seseorang. Aku benci. Tapi ini terlanjur.
"Lagipula ini masih TO 1 Fa, ngga usah banyak pikiran, mungkin Lo kurang sreg aja sama sikon di sini. Lo butuh belajar lebih keras lagi Fa," nasihatnya.
Bahkan aku tau kata-kata itu sering dipakai penasehat untuk menasehati seseorang yang dalam kondisi seperti ini.
Aku hanya membatin.
"Gue punya banyak latian soal Bahasa Inggris. Buat Lo aja sana," hiburnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meninggi Langit
SpiritualDisarankan untuk mengubah tampilan menjadi hitam dengan font sans sarif! ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Langit tak selalu biru--kalimat mainstream. Semua orang tau itu. Langit juga disimbolkan--pencapaian tertinggi. Semua orang juga mengerti. Tapi, tak...