Dengarkan,
jangan sungkan,
kau butuh sandaran.~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Semuanya hanya terasa gagal. Macam-macam usaha telah menjadi prioritas yang harus dan wajib dilakukan. Tapi kenapa semuanya gagal?Aku tak tanggung-tanggung untuk berdzikir, memuji Asmaul Husna yang telah kukhususkan, juga solat malam yang semakin rutin tiap harinya, tak lupa seperti yang diperintahkan guru Bahasa Inggris, yaitu mengucapkan 'wow keren' ketika merasa tersinggung atau apalah itu. Yang terpenting adalah tambah pengetahuan, dan itu juga telah kulakukan dengan mengurung diriku di perpustakaan dan bertanya-jawab dengan guru melalui chat WhatsApp. Sepertinya lengkap. Tapi kenapa yang hanya santai meremas handphone dan dolan ngalor ngidul¹ malah dapat peringkat yang lebih baik daripada aku, bahkan sangat lebih baik?
Kenapa semuanya menjadi bisu dan mengkelabu ketika aku berusaha maju? Apa aku tak berhak bahagia? Apa aku tak boleh melihat bapak ibuku tersenyum bangga? Apa aku tak boleh sedikit merasa bahwa kebahagiaan itu ada di dunia? Sungguh ini kesalahan terbesar yang pernah kuukir di membran berkasku.
Perlahan, air mataku menetes di sela-sela isak tangisku. Aku tau aku seorang lelaki, bahkan Nabi Muhammad juga pernah menangis, jadi akupun menangis. Fair kan?
Aku semakin tak bisa mengendalikan diriku sendiri. Aku tak bisa tidur malam, hanya karena nilai. Nilai. Atau bahkan ingin sekali kucetak serangkaian huruf N-I-L-A-I yang sangat besar di tembok perdukuhan, atau di tembok kenegaraan sekalipun. Kenegaraan apa? Dasar cengeng!
Untung dapat rank 56. Bayangkan yang dapat rank 2kali dari itu.
Spontan aku menolak pernyataan hatiku dengan menjawab sendiri, "Tapi itu tidak ada!"
Aku menengadah, kulihat pukul 00.00 . Dengan mataku yang lembab karena banyak menangis, aku menyalakan senter handphoneku menuju garasi. Aku menarik jaket kulit berwarna hitam yang menggantung di hanger, juga helm model keluaran terbaru, yang entah apa namanya.
Aku meremas setang motor ninja yang kukendarai. Sebenarnya, aku punya CB70 dan astrea. Tapi, Tanteku membelikanku motor ninja. 'Biar nggak ketinggalan jaman'. Katanya ketika aku bertanya padanya waktu itu.
Di tengah malam, ditengah gelapnya awan, ditengah lampu-lampu tak kunjung padam, aku membelah jalanan dengan kecepatan tinggi, seakan-akan berusaha mengangin-anginkan lukaku. Tidak hanya luka, ingatan sekalipun. Biarlah, biar aku lepas aku boleh terbang lepas. Sekali saja.
Masjid. Aku kadang merasa kasihan terhadapnya yang hanya menjadi tempat pelarianku dalam hal apapun. Yang selalu mengadangi air mataku yang tumpah di atas sajadah.
Tet tet tet.
Jam tanganku berbunyi karena kualaram. Satu jam aku mengadu. Kepalaku terasa pening karena terlalu keras untuk menjejalkan kenyataan. Jika bisa, ingin kulepas kepalaku dan membiarkan sakit itu hilang, kemudian memasangnya kembali setelah rasa sakit itu pergi. Penggal sekalian saja kepalamu! Dasar cengeng!Sudahlah, aku benar-benar ingin melupakan sesaat hal yang menimpaku. Tapi tidak. Aku tidak boleh melupakannya, nanti aku terlalu bahagia dibuat lupa. Sudahlah. Kacau benar aku sekarang. Kacau mbahmu peang! Turun nilai malah begadang!
Aku kembali melajukan motorku di tengah gelapnya malam. Lampu motorku membelah jalan hitam yang hanya diterangi lampu penerang jalan yang samar-samar terlihat karena malam ini benar-benar berkabut dan gelap. Berbanding terbalik dengan diriku, yang tanpa penerang berjalan. Tanpa jalan melintas. Lantas, dari mana cahaya dan bagaimana caranya agar sampai ke tujuan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Meninggi Langit
SpiritualDisarankan untuk mengubah tampilan menjadi hitam dengan font sans sarif! ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Langit tak selalu biru--kalimat mainstream. Semua orang tau itu. Langit juga disimbolkan--pencapaian tertinggi. Semua orang juga mengerti. Tapi, tak...