Bahwasanya, rindu
adalah hal yang sangat membuat candu.~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Washington DC, Amerika.
"Okay, thanks for today. You are about cool partner! And i hope we continue to develop this relationship," endingnya menutup pembicaraan kami yang berjam-jam dengan menepuk-nepuk pundak kiriku."You're welcome. You are also a great partner, Sir!"
Ayolah, sekarang aku lapar dan butuh be time. Tapi, manusia paruh baya ini terlalu tinggi tahtanya untuk kulewati begitu saja.
" Whohoho. And i found one more valuable thing from you. Courtney," sanjungnya.
Sebenarnya, aku tak bisa menyembunyikan dadaku yang hampir membusung ini. Terlalu banyak dia ciptakan angin yang mendorongku membusungkan dada, tapi aku geli hal itu. Dan aku hanya terkekeh mendengar pujiannya yang bahkan otakku dapat melihat skema darimana pujiannya itu dilontarkan.
Just chuckles. Dan sekarang aku tak ingin terlalu cepat membuka pintu kuburku dengan bergulat dengan suhu yang minus rata-rata suhu di Kaliwiro, bahkan lebih strip dari Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo sekalipun. Dan andai saja dia bukan calon atasanku, sudah kulalui saja dia. But, this is pride. Yah.. katakan saja promosi dalam rangka bisnis. Hahaha. Tapi, aku juga ingin mendengar pernyataannya suatu saat, ketika kami lama berbisnis bersama, bahwa aku adalah orang yang tak berubah sikap. So, balance? This is me.
Aku berjalan cepat menuju halaman kantor dengan telapak tangan yang sudah kumasukkan ke saku celana, setelah menyudahi pembicaraan yang sepertinya tak kenal panjang lebar, dengan calon atasanku. This is annoying, but I like it. Dan sebenarnya, aku bisa berlari untuk lebih cepat sampai di parkiran, tanpa berlama-lama bergulat dengan suhu ini. Tapi, ini demi keprofesionalan.
"Hi! aren't you a candidate for secretary in this office?"
Apakah tidak ada pertanyaan lain? Sepertinya itu pertanyaan retoris. Dan pasti sebentar lagi ada ledakan dari hidungku yang tak berkesudahan. Dan ini akan memalukan! Cepat bergegaslah nona!
"Insha Allah. That is me," kuulangi sekali lagi, demi keprofesionalan, aku menjawabnya. Jika tidak, bayangkan saja apa yang akan kulakukan.
"Well! we hope you take the office quickly, and we will often be together,"
"Okay!"
Aku kembali melangkahkan kakiku menuju parkiran mobil dan bergegas menuju apartemen.
🎈🎈🎈
Aku duduk di dekat jendela apartemenku, setidaknya untuk sekedar mengisi waktu yang cukup luang. Kulayangkan pandanganku ke luar apartemen melalui jendela yang sedikit terkena cipratan salju. Entah sudah berapa jam salju turun, karena aku sibuk menjaga suhu diriku dari pada memperhatikan salju.
Dari jendela apartemen yang sedikit buram, sedikitnya mataku masih melihat butiran salju yang turun seperti sega jagung yang biasanya dijual di Pasar Kaliwiro ketika Pahing, dan kini berhamburan, berlomba-lomba jatuh menutupi aspalan hitam yang berubah memutih seiring dengan banyaknya butiran sega jagung itu jatuh. Hahaha. Berbeda dengan Indonesia, di sini sangat dingin. Padahal aku selalu menyalakan penghangat ruangan dan memakai syal dan beberapa jaket, tentu juga baju besar anti dingin, yang kuyakini membuat para American bisa mengendalikan gigilan tubuhnya. Berbeda denganku yang asli kulit tropis, tak akan tahan dengan dinginnya hujan salju ini yang membuatku bergegas menarik selimut tidurku dan menyelimutkan ke seluruh tubuhku yang menggigil. Sungguh, ini lebih dingin dari Puncak Dieng, Wonosobo.
Kembali aku melayangkan pandang ke luar apartemen.Terlihat jelas daun pohon american elm yang biasanya tumbuh, kini kian berguguran dan berganti dengan gundukan salju yang menyelimuti setiap rantingnya.Tak jauh, terlihat sebuah gedung berwarna putih susu yang pernah menempati peringkat kedua dalam List of America's Favorite Architecture versi American Institute of Architecture tahun 2007. Beragam kendaraan juga tak luput dari pandanganku, yang layaknya barisan bebek yang digiring Sang gembalanya entah siapa.
Aku suka salju. Sangat suka, karena ini adalah hal terlangka bagi manusia Indonesia.Tapi yang menyebalkan dari salju adalah, kulit tropisku tak bisa bergulat dengan suhu yang minus nol ini, yang menyebabkan bintik merah berbentol-bentol datang tanpa undangan. Menyebalkannya lagi, hidungku yang pesek khas Indonesia ini berubah merah yang jelas mengundang flu berat bagiku. Kalau begini, ingin sekali kuaduk butiran putih ini dan kumasukkan dalam oven! This is one of the wonderful gifts of God for me.
Ping... bunyi chat whattsap menembus tudung kepala yang melindungiku dari dinginnya suhu.
Dengan malas aku mengeluarkan tanganku dari selimut yang menyelubungi tubuhku ini, meraih handphone untuk menerima pesan itu. Barangkali saja seseatu yang penting. Aku membuka satu pesan dari nomor asing.
"Keprige rasane nang Amerika?
Anyes ora?:D"Bagiku, mendapat pesan dari nomor asing adalah hal yang mendebarkan. Jemariku lihai menari-nari pada layar kecil yang kubawa, melupakan dinginnya udara.
"Maaf, ini siapa ya?"
Singkat saja, aku masih tak tahan dengan suhu yang berada di sekitarku ini.
Nada handphoneku berubah menjadi nada panggilan video call dari nomor asing itu. Aku ragu untuk menerima panggilan itu.
"Angkat saja Fa, nanti kau tau,"
Pesan itu sangat membuatku tertarik. Kembali, nada video call disertai getaran mengusik kegundahan hatiku. Aku menarik tombol angkat, yang langsung menyuguhkanku gambar seorang laki-laki. Wow! it turns out he's back!
"Keprige rasane Fa?!
Anyes ora?
Oleh jodo horong?"
Seruntun pertanyaan menghampiriku, membawaku kembali pada ingatanku pada masalalu.
"Yaalloh anta! Kaifa khaluk?
Lama kita los kontak Jo!"
Tut tut.. panggilan itu berakhir. Mungkin dia sibuk. But, this is an impressive call
Rasanya, hatiku hampir meleleh dengan panggilan sekejap itu. Ingantanku tiba-tiba melayang ke masa lalu, menembus dinginnya suhu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meninggi Langit
SpiritualDisarankan untuk mengubah tampilan menjadi hitam dengan font sans sarif! ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Langit tak selalu biru--kalimat mainstream. Semua orang tau itu. Langit juga disimbolkan--pencapaian tertinggi. Semua orang juga mengerti. Tapi, tak...