Kita memang punya keinginan,
dan semesta punya kenyataan,
tapi, Tuhan punya rancangan.~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Hari ini kurasa cukup. Cukup sudah semua kecengenganku, kerapuhan, dan kebodohan, yang selama ini menggelibat, lantaran aku terlalu kelu untuk berubah.
Setelah kejadian tembak-lari dan penyelamatan gadis berniqob, aku memutuskan untuk tidak pernah keluar rumah, kecuali saat-saat genting. Jadilah, aku Fajar rumaha, yang tak pernah berubah sinar kebebasan, paling-paling hanya di sekitaran rumah. Itupun dibatasi. Di sini, aku tidak bermaksud menjadi laki-laki pengecut, tapi ini demi misi meminimalisir biaya yang Tante Fatimah keluarkan demi menjagaku tetap aman. Dan, terlepas dari semua usahaku yang ternyata melenceng dari rancangan Allah, aku berusaha menerimanya dan menikmatinya.
Aku memberi tangkupan pada sajadah yang terlentang di bawah kakiku, laksana aku benar-benar menutup semua kisahku--hari ini. Aku harus bertindak, aku butuh sesuatu--sedikit membuatku semakin dewasa. Kulihat benda kotak, penuh lekukan membentangkan dua garis yang dia punya membentuk garis horizontal.
03.15
Anak garis tak menampakkan bentuknya. Sejauh ini hanya kerik suara gesekannya nampak--daur telinga. Aku beranjak, aku harus memutar setangku dan memacu laju. Dan satu hal yang akan kuingat. Aku bukan lelaki rapuh.
Menangis tidak ada di kamus bahasaku, jadi aku tak tau menangis dan aku tak pernah menangis. Tak akan pernah. Aku mati-matian persetan dengan mata yang susah diajak kompromi. Hanya karena sepasang angka--tertera di secarik kertas, yang telah ludas karna tinta.
Aku mengusap kepalaku sarkas. Aku frustasi tentunya. Setelah 3 tahun bersekolah di ibu kota, dengan keinginan nilai mulia, tapi apa? Yang diperoleh hanya nilai yang tak jauh dari rata-rata. Padahal, aku telah menyiapkan semuanya dengan nyaris sempurna. Aku berusaha menarik nafasku dalam-salam seakan menarik paksa sesuatu yang pernah datang, kemudian menghembusakannya pelan, seperti aku berusaha menghilangkannya secara pelan. Ya, pelan-pelan saja karna aku belum terbiasa, nantinya juga terbiasa.
Aku mulai mengangkat tanganku dan menempelkannya pada gagang pintu. Dan memutarnya sekali kemudian terbukalah dunia baru. Dunia di luar kamar. Haha.
Aku merampas kontak dari papannya dan beranjak menuju parkiran. Sudah terbayang apa saja yang akan kulakukan. Karena aku tak akan bergerak tanpa tujuan.
Suara langkah kakiku berlomba dengan degup jantung. Belum lagi kaset di dalam otakku yang terus saja memutar berkas-berkas lembaran yang tentunya berabarkan prinsip.
Kenapa semuanya tak pernah berpihak padaku?
Baik. Sekarang, aku mematung di ambang pintu menuju garasi.
"Kenapa semuanya tak pernah berpihak padaku?" kuulangi sekali lagi. Dan sekarang mulutku angkat nyali.
"Aku harus meminta mereka memihak ku!"
Ya. Sebodoh itu jawabanku. Dan aku menghakiminya. Aku akan meminta semuanya berpihak padaku. Aku tak peduli apapun penggalannya. Dan, tiba-tiba otakku memutar kembali berkas masa lalu.
Aku duduk di rumah bolong melompong. Dan sebenarnya tak patut disebut rumah. Ini gubuk. Gubuk di tepi sungai dan perbatasan sawah dengan tegalan.
Aku duduk sendirian di gubuk tanpa dinding, yang ukuranya selebar kedua tanganku ketika telentang. Berkawan dengan angin, berseteru dengan deru burung camar--hal yang menyenangkan bagiku, seorang anak yang dibelenggu. Adakala, aku melirik-lirik jalan setapak di sebelah Utara, berharap gadis kecil berkhimar selendang menenteng tumbu berisi pakaian datang.
Sesekali aku menarik gulungan benang pada sepotong bambu yang kutancapkan di sela-sela lantai gubuk, untuk membuat kumpulan kaleng susu yang diikat dengan sebatang kayu bergerak, dan menimbulkan suara bising, yang membuat burung-burung terbang acak-acakan. Atau dengan meniup potongan bambu yang diberi lubang kecil-kecil ini dengan merdu, dan secara tiba-tiba menyalahkan temponya, dan itu cukup membuat burung-burung keluar dari seprai emas yang kadangkala menari-nari tersapu angin, kemudian membuat irama-irama indah membersamai nada serulingku. Atau bahkan menimbulkan protes dari kerbau yang kulepas di tegalan dengan mengoak keras. Dan aku membalas dengan menyatukan kedua telapak tanganku dan menghadap pada kerbau-kerbau yang tersedak rumput gajahan atau kata Pak Andin, guru biologi di sekolahku, itu--rumput benggala atau Arthemia Vulgaris. Itupun kalau aku tidak lupa menyebut nama latinnya.
Jangankan berberat hati melakukan hal ini. Justru aku akan menawarkan diri dengan profesi ini. Penggembala. Di sini pikiranku bahkan lebih jernih dari air di galangan sawah. Dan otakku bekerja jauh lebih deras dari aliran sawah. Rasanya, aku benar-benar merasa dewasa di sini.
Aku menyangga tubuhku dengan tangan kananku pada tembok garasi dan memijat pelipis kepala menggunakan jari-jari bebasku. Andai, tiga tahun silam aku menolak disekolahkan di ibu kota.. mungkin nasibku tak akan seperti ini. Ah.. andai. Satu hal yang membuatku menyesal sejadi-jadinya--opini bahwa sekolah di ibu kota bisa langsung dapat kerjaan setelah lulus. Dan itu.. omong kosong!
Selama di ibu kota ini, aku tak mengenal, atau bahkan mencoba berpaling dari rumah. Dan hal-hal yang menerpaku terus memacuku untuk melupakan masa yang pernah kulalui. Ini bukan pasal dimana aku terus merasa sengsara, tapi dimana dalam masa lalu aku juga pernah bahagia. Aku lupa, dan bukan berada di titik lupa yang menjadi permasalahan. Tapi, aku mencoba melupakannya. Dan sekarang, otakku berputar tanpa pelumas 50% lebih lancar dari biasanya, dan tentunya, memutar berkas.. masa lalu.
Aku telah menjabat profesi pengangguran dalam tiga Minggu ini. Dan ini tidak menyenangkan sama sekali, alih-alih merasa nyaman, adanya aku jadi runyam. Memang, Tante Fatimah memiliki kekayaan yang bila dimakan lima generasi penerus tak akan habis, tapi aku merasa tidak nyaman jika terlalu merepotkan. Apalagi Tante Fatimah bolak-balik membujukku melanjutkan untuk kuliah, menegosiasiku dengan jabatan tinggi setelah kuliah, mengajakku jalan-jalan yang endingnya membawaku bertemu dengan dosen, dan banyak lagi yang Tante Fatimah tawarkan padaku di tiga Minggu ini. Dan ini membuatku semakin bertekad untuk.. pulang.
Tapi! Apa yang akan kusuguhkan pada orang tuaku? Apa yang bisa kupamerkan pada kedua adikku di rumah? Pujian seperti apa yang akan kudapat dari teman-teman?
Tentu saja nilai di tengah rata-rata tak cukup mampu kuhidangkan dalam pembicaraan, yang malah membuat selera bicara menurun. Tidak tentu saja!
Lantas?
Apa aku harus bertahan lebih lama? Atau pulang saja dengan oleh-oleh seadanya?
Tak tahan berseteru dengan argumen-argumen, aku bangkit dari tempatku mematung. Kutancapkan kontak motor pada tempatnya dan menyatukan kedua ujung kain yang menjuntai dari pelindung kepala, juga sebagai pengaman, aku meniti bensin motor melalui sebentuk garis di dalam kaca motor. Tak lama, aku segera melebur bersama titik embun pagi ini.
"Den mau kemana pagi-pagi gini?"
Sontak aku terperanjat, dan hampir saja kontak motorku menerabas ke lubang mata. Yang mungkin, bisa membuatku buta.
"Hehehe ngagetin ya? Punten ya Den. Abis mau ngapain atuh, sepagi ini pepergian? Mau kemana Den?" cerocosnya dengan nada Sunda-gaul, yang sesekali membuat perubahan mulutku dan terbahak tak pernah berpaling dariku ketika berhadapan dengan manusia berbaju oblong dengan corak batik ini. Siapa lagi kalau bukan Mang Koko?
"Malah ngalamun? Den, awas. Nanti kesambet gimana?" tegurnya, dan kemudian tawaku pecah mendengar logat bicaranya yang terdengar lucu, walau sebenarnya aku sering mendengarnya juga.
"Hm, biasa Mang..," balasku, sebelumnya mengakhiri tawa yang keluar sebab sumbangnya logat bicara Mang Koko.
"Oh. Iyah Den, hati-hati yah,"
Aku mengangguk dan kemudian memilih jalan yang benar untuk kali ini. Mungkin..
KAMU SEDANG MEMBACA
Meninggi Langit
SpiritualDisarankan untuk mengubah tampilan menjadi hitam dengan font sans sarif! ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Langit tak selalu biru--kalimat mainstream. Semua orang tau itu. Langit juga disimbolkan--pencapaian tertinggi. Semua orang juga mengerti. Tapi, tak...