GGK

47 15 0
                                    

Bukan menunggal,
bukan juga anti sosial,
tapi sebuah tutorial,
lebih menengadah dari gagal.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Belakangan ini, Gendewa sering mengirimiku chat kebanyakan isinya GGK, yang jelas membuatku sering kehilangan nafsu makan ketika mengingat hal itu. Apalagi sekarang ini, aku sangat diperburuk keadaan karena Tante Fatimah membelikanku banyak obat penambah nafsu makan. Dan semua itu berawal dari kesalahan cara berfikirku yang zadul dari sebuah grup yang tak penting sama sekali.

GGK itu singkatan dari Ganteng-Ganteng Kalem. Katanya, di situ grup anak laki-laki yang kalem. Katanya juga, tak perlu ganteng, penting laki-laki, karena laki-laki itu ganteng. Jadi, semua laki-laki ganteng. Katanya, kan hanya katanya! Gendewa juga sering memposting foto, quote, bahkan video yang beratasnamakan GGK, yang membuatku tau bahwa tanda titik dua dan huruf d kapital bisa dibuat emot tertawa. Baladahnya aku!

Kurasa aku kalem, dan paling penting aku laki-laki. Tapi, kenapa aku tak masuk atau dimasukkan di grup itu? Biar kujawab sendiri. Mungkin aku tampang ndugal¹  atau aku kelihatan tampang wanita? Dih, astaghfirullah. Atau bahkan karena kebodohanku yang terkenal hingga di kalangan petinggi negara? Tapi, aku tak merasa sangat bodoh(?)

Aku menghela nafasku, membuang semua pikiran yang cukup membuatku eneg² dan mulai untuk membuka mulutku, masukkan obat penambah nafsu makan. Walaupun nantinya akan kumuntahkan lagi ketika mandi sore. Sangat jelas, bahwa perutku yang Jawa tulen³ tak akan bisa beradaptasi dengan obat-obatan. Apalagi, sedikitpun aku tak pernah mengonsumsi obat, kecuali obat yang ibuku buat dari campuran tumbuh-tumbuhan yang kaya manfaat.

Setelah selesai kulakukan tradisi soreku, aku mengotak-atik layar kecil yang jelas kuperoleh dari pemberian Tante Fatimah. Belakangan ini aku sering mengirim pesan dengan Gavin.

Sebenarnya yang membuatku kelu yaitu kamu!

Sudahlah, aku terlalu enggan dengan semua ini. Dan hampir saja aku tak tau apa yang akan kubicarakan lagi untuk mendefinisikan rasa ini. Aku terlalu strip untuk menambah jumlah bilangan didepanku untuk menjadi bilangan yang utuh. Rasanya aku benar-benar jengah bernostalgia dengan kenyataan. Rasanya..

Cukup! Aku benci sambat⁴

Aku menjitak kepalaku sendiri, hingga terasa sakit kemudian, dengan cepat kuambil Al-Qur'an dan mencatatnya didahi.

Lama sekali hp ku berdering, di tengah kesibukanku mencatat poin-poin penting Al-Qur'an. Dan aku enggan melihatnya. Sudah kuduga itu pasti dari genre yang sama. Jangan banyak berfikir siapa itu.

Apa yang harus kulakukan ya Robb?..

🎈🎈🎈

"Kenapa aku masuk grup badboy?" ulangi beberapa kali, karena tidak satupun dari mereka yang menyempilkan waktu untuk menjawab pertanyaannku.

"Kenapa tidak sadboy saja? Atau coolboy? Atau funboy? Atau fuckboy sekalian saja? Kenapa harus badboy?" tanyaku sarkas.

Mereka semuanya menatapku, menghentikan kegiatan mereka. Aku yang terbakar emosi kemudian pergi dari rooftop dan absen dari undangan yang mereka buat untukku.

Sebenarnya aku tak ingin marah. Dan yang kulakukan bukan marah, tapi berusaha mengelak nasib. Aku hanya ingin menjadi atom netral, yang tidak masuk di dalam proton GGK ataupun elekton BB. Tidak. Aku hanya ingin menjadi atom netral. Cukup netral saja.

Aku memutar setang motor ninjaku. Bukan pelampiasan atau ugal-ugalan, tapi aku harus tepat waktu untuk memberikan sedikit es lilin yang kubuat untuk para aktor di balik panggung sandiwara publik sebelum meleleh.

Sudah beberapa bulan aku menemukan mereka. Dan mereka menjadi salah satu semangatku untuk terus bertahan. Mereka adalah alasanku untuk tetap hidup. Ketika tidak ada air untuk proses fotosintesis, maka tidak ada kehidupan untuk tumbuhan. Seperti halnya aku, tanpa mereka aku akan kering dan retak, bahkan rapuh. Mereka adalah nutrisiku untuk tetap tumbuh di latar drama yang berbeda, bahkan salah. Maaf aku terlalu berlebihan. Maksudnya di sini, mereka adalah motivasiku untuk terus bertahan walau punya banyak kekurangan.

"Assalamualaikum Aji!"

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh! Horeyy! Kak Pagi datang!" soraknya memunculkan beberapa tengilan bocah. Maksudku bocah tengil.

Tunggu. Dia manggilku Pagi karena namaku identik dengan pagi. Ya Fajar itu kan datang ketika pagi.

"Mana si Jeje?" tanyaku sembari membagi es lilin yang kubuat dari mulberry yang dijus.

"Dia merajuk pengen punya dompet Kak," adu Jojo, kakak Jeje.

Entah kenapa setiap kali aku mendengar aduan mereka, aku merasa lebih baik. Bahwasanya di sini aku kurang, tapi aku lebih baik dari mereka. Dan bersama mereka aku lebih bisa mengucap syukur.

"Panggil dia," perintahku pada Jojo yang sedetik kemudian berdiri dan menaruh empat jarinya di jidat. "Siap!" Kemudian dia melesat dibalik jembatan.

"Ini, ambil dompet Kakak Jeje. Jangan marah, ya," rayuku memberinya dompet kainku. Ya sebenarnya aku hanya punya satu sih.

"Horee! Terima kasih Kakak Pagi!" dia masih kanak-kanak jadi wajar jika ulahnya itu memalukan. Dengan catatan, bagi yang punya malu. Hahaha.

"Wah, udah sore. Kakak pulang! Assalamualaikum!"

"Kak! Uangnya ketinggalan di dompet!" teriak Jeje ketika aku masang helm, dan hampir meremas setang motor.

"Buat kalian!" teriakku, kemudian mereka melompat serempak.

Aku membagi pandanganku antara spion dan jalanan. Antara mereka, bocah-bocah kecil yang didorong keras untuk bertempur melawan zaman di tengah moderenisasi. Juga antara aspal yang telah dijadikan seni perkembangan dari tanah yang di tumpuki campuran semen dan bahan penutup tanah lainya.

Kadang, aku tak habis pikir, bahwa di luar aku tak menjadi sosok termalang. Tapi, kadang juga, egoku mengatakan sebaliknya, dengan argumen yang telah beda. Oh, Allah memang maha membolak-balikan perasaan.

Tapi, aku tetap merendah karena setidaknya aku sama seperti mereka, tapi bedanya, aku memiliki tunggangan sendiri, dan rumah pun ada. Walau di desa.

Hash! Kenapa moderenisasi harus selalu membawa korban? Entah itu di kalangan masyarakat, bahkan pelajar sepertiku yang terkena dampak modernisasi dari sebuah teknologi. Terutama GGK. Padahal, jika aku ikut grup itu, aku menjadi pisau yang lebih tajam. Ya setidaknya.. tapi hanya ilusi.

Oke. Ini aku boleh melajukan motorku setara dengan mobil-mobil di dekatku. Ya, sangat lambat. Sangat-sangat lambat, hingga motorku tiba-tiba berhenti.

" Anda Saya tangkap!"

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
¹ Nakal yang keterlaluan
² Berasa hendak muntah.
³ Jawa asli.
⁴ Mengadu, mengeluh.

Meninggi LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang