Karena titik rendah
belum tentu terendah.~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Aku mengusap kepalaku sarkas. Setelah tiga hari bersekolah di ibu kota, aku digembleng dengan dengan cabai merah yang malah menutup klep otakku. Hufh. Setidaknya otakku semakin gesit dengan hal itu. Hal itu yang kumaksud yaitu bersekolah di ibu kota, yang terdengar menyenangkan, tapi tidak. Aku kembali meringis-ringis kesakitan karena sariawan yang sebesar ranti itu kembali kambuh di tempat yang sama. Kenapa? Baru saja tiga hari. TIGA! Hari, aku menjadi pusat perhatian kaum hawa SMA yang kutempati ini. Dan aku telah berjuang hingga sekarang ini. Ya, sekarang.
"Den?" panggil Mang Koko membuyarkan lamunanku.
"Eh Mang. Kemari duduk,"
Kurasa aku masih kikuk berbahasa Indonesia, sekalipun aku sangat menyukai Bahasa Indonesia, tapi tetap saja masih ada rasa kaku.
Yaalloh maafkan aku yang masih saja bodoh dalam bicara.Alih-alih mendekat, dia menggeleng dan tetap saja teguh pada pendiriannya. Aku hanya menggeleng dan kembali menyusun puzzle angan yang baru saja roboh karena panggilan Mang Koko.
"Den ngelamunin apa atuh. Kunaon Aden?"
"Tidak, tidak Mang," gagapku.
"Kalau..-"
Ucapan Mang Koko terpotong karena hp ku berdering. Secepat mungkin kutekan tombol angkat.
"Assalamualaikum--
"Cepet datang ke cafe gue Fa, gue butuh adek gue. Bawa juga dia dari rumah gue. Cepetnya Fa, tolongin gue. Tolong cepet. Waalaikumsalam,"
"Maksudnya bagaimana ini?"
"Ck!"
"Aku harus ke rumah kamu terus bawa adik kamu ke cave, begitu?" jelasku.
"Gue tunggu. Wassalamu'alaikum."
"Ada apa Den?" Mang Maman sedari tadi memperhatikanku menelfon tanpa tau apa masalahnya.
"Temen Fajar butuh bantuan. Katanya Fajar disuruh ke sana Mang... Oh iya nanti kalau misalnya Tante Fatimah pulang tapi Fajar belum pulang, permisi dan tolong diberitahu,"
"Siap Den!"
Aku terkekeh melihat sikap Mang Koko padaku. Tak heran Mang Koko dipercaya bertahun-tahun untuk bekerja di rumah Tante Fatimah.
🎈🎈🎈
Aku mengesa kalimat istighfar berkali-kali dalam hati. Baru sekali ini aku mengendarai motor bersama seorang wanita, dan itu bukan muhrim. Dia adik Gavin. Ani namanya. Sebenarnya lebih baik Fransiska yang berada di belakang. Entahlah... Rupanya aku benar-benar butuh stop otak, agar otakku tidak kembali ke masa lalu.
"Woy, nggak diapa-apain kan Fa?" interogasi Gavin dengan merengkuh tubuh Ani-- adiknya, ketika aku sampai di depan kafe yang dimintanya itu. Sembari sedikit menggelengkan kepalanya, Gavin berisyarat padaku agar tidak ikut campur, melalui bola selaput matanya yang hampir kekurangan lem untuk menjaga si bola mata agar tidak menggelinding ke bawah sana. Dan aku dengan kikuk melakukan apa yang dia perintah.
Oh.. ada drama apa ini?
"Kenalin ini pacar gue. Ani Azzahra namanya. Sini Yang," kenal Gavin setelah mengajak Ani-- adiknya untuk duduk di kursi meja yang kosong di sebelahnya. Di depannya ada dua wanita, yang satunya meminjam tatapan singa, yang satunya memandang ke arah entah siapa, tapi putik matanya beradu denganku. Atau terlebih dia menatapku?
Ya Allah, sebenarnya ada hadiah apa hingga mereka berlomba-lomba dengan sandiwara?
Aku masih berdiri karena Gavin tak menyuruhku duduk sama sekali. Aku memilih mematung dan mencoba menalar semua ini.
"Benar-benar Lo penghianat! Tega--"
"Eits, gue nggak pernah janji sama Lo. Dan gue nggak pernah suka sama Lo. Dan inget gue bukan penghianat," bela Gavin.
Wanita berambut coklat itu menabok meja dan mengambil segelas jus jambu dan melemparkannya ke Ani.
Bug prang
Gavin yang mungkin menyadari hal itu akan terjadi, dia sekilat merentangkan kedua tangannya di depan tubuh Ani, dan jarak antara hidung Gavin yang bangir. dan hidung Ani yang berbalut niqob bisa kukatakan satu inci...mungkin.
Alamat gelas yang dilempar gadis berambut pirang itu miris. Setelah membentur tubuh kekar Gavin, dia menyentuh permukaan lantai, dan bunyi 'prang' khas kaca jatuh tak asing lagi di telinga. Bahkan menarik mata para pengunjung lainnya.
"Apa-apaan ini! Nggak seharusnya wanita main tangan! Nggak seharusnya cuman karna cinta, jadi orang beda! Nggak seharusnya. Lo tau, sikap Lo yang begini adalah salah satu hal yang ngebuat gue benci sama Lo. Tau!" geram Gavin, menunjuk-nunjuk wajah wanita itu dengan telunjuknya.
Dan. Tidak seharusnya juga Gavin mengucapkan kata-kata sekasar itu pada wanita. Batinku pada diriku sendiri, menimpali ucapan Gavin.
"L lo! Lo kebangetan Gav! Kebangetan! Gue suka sama Lo itu karna sikap Lo! Dan sekarang gua benci! Benci Lo Gavin!" pekik wanita itu pada Gavin sembari meneteskan air mata.
"Dan Lo mencintai gue dengan cara yang nggak seharusnya! Gue juga bisa jatuh cinta! Gue juga bisa keras. Dan inget, semua sikap gue tergantung sikap orang ke gue--
"Cukup!" prologku menegur mereka.
Mereka berempat menoleh ke arahku, dan dengan begitu aku berkata, "Tidak seharusnya kalian begini. Ingat, inna syaaniaka hualabtar. Sesungguhnya orang yang membencimu ialah yang terputus dari rahmat Allah. Sadar? Kalian hanya mengutuk diri sendiri! Tak ada faedahnya! Dan Saya bukan berarti ikut campur, tapi saya mengingatkan saja. Selanjutnya, terserah kalian,"
Enggan berdebat saja, aku kemudian berjalan untuk pulang, setelah satu cafe menatapku, dan mereka berempat dengan tatapan aneh. Aku tak bergeming sedikitpun untuk menoleh. Enggan dan sangat-sangat enggan untuk melihat sebuah pertikaian. Itu semua hanya membuatku teringat kampung halamanku, tempatku pertama dari sekian lamanya hidupku melihat pertikaian bapak ibu. Dan ini semua seakan akan menohokku, mencekokiku untuk tetap mengenang masa lalu. Enggan saja, aku pergi dan kembali merasakan sariawanku yang kembali cenat-cenut. Kenapa aku tidak berbohong saja seperti Gavin?
Tiba-tiba saja aku berfikiran untuk berbohong. Dan seketika saja kubuang jauh-jauh pikiran itu, dan kembali mengesa istighfar. Dosa.
"Tapi, berbohong untuk kebaikan bukankah itu diperbolehkan?" desisku sembari mengendarai motor.
"Tapi pasalnya, aku tak tau itu kebaikan atau malah sebaliknya," jawabku sendiri.
Bodoh. Selama ini aku bersekolah di ibu kota, yang kudapatkan hanya sebuah kekonyolan yang mendongkolkan hati. Muak aku setiap kali mendengar jawaban, 'Fajar pindahan dari desa yang tampannya kek oppa Korea?'.
Geli aku!
Belakangan ini, banyak perempuan yang mendekatiku, entah dari gugus seangkatan atau kakak kelas. Dan aku tak suka. Aku lebih suka mengurung diriku di dalam kelas ketika jam istirahat, atau aku pergi ke Mushola, tapi tidak. Jika penampakanku terlihat oleh beberapa gadis, aku akan dikejar, ditanyai ini-itu. Aku jengah. Dan pelarian paling aman ketika terdesak adalah kantor. Tidak ada satupun gadis yang berani mendekatiku ketika aku berada di kantor. Sebenarnya tidak semua gadis berlaku sedemikian padaku, hanya beberapa saja yang tidak. Tapi tetap saja aku tidak suka, karena mereka diam-diam mengechatku dan kembali sama seperti gadis-gadis yang menyebutku Opor. Oppa Korea katanya.
"Memangnya aku bersantan apa? Kurasa dagingku putih-putih sana begini. Kenapa aku disebut-sebut 'opor-opor' menjijikkan!" cerocosku sendiri ketika mengingat hal itu. Kenapa aku tidak berpura-pura saja?
Kembali pertanyaan itu menerpaku, dan kembali ini sebuah angan yang benar-benar terjadi jika aku tidak mondok. Ini sungguh hal yang membuatku tersesat dari waktu menuju impianku. Akan beginikah nasibku selama dua tahun mendatang?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Meninggi Langit
SpiritualDisarankan untuk mengubah tampilan menjadi hitam dengan font sans sarif! ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Langit tak selalu biru--kalimat mainstream. Semua orang tau itu. Langit juga disimbolkan--pencapaian tertinggi. Semua orang juga mengerti. Tapi, tak...