Ada banyak air di sekitar kita,
tapi di waktu yang sama kita juga tak tau air mana yang baik untuk kita telan.~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
"Anjing! Kenapa bisa salah sasaran?"
"Bodoh! Lari! Lari! Cepat!"
"Bocah itu, dia! Tembak! Cepat!"
"Percumah! Dia sudah mati! Lari!"
"Tembak dulu! Tembak!"
Dor.
Suara kaki beradu aspal terdengar jelas. Bahkan nyaris menggetarkan badanku yang sekarang berkawan dengan aspalan hitam.3 detik. Hingga 30 hitungan, suara itu reda, berganti suara riuh manusia di hitungan ke 32. Aku nyaris mati kutu bila seseorang penyelamat tak datang padaku.
"Tolong Pak, gotongkan dia, dan masukkan ke mobil itu," tuturnya.
"Iya benar. Mereka harus segera di rawat!" imbuh seseorang.
Apa yang dimaksud dengan 'mereka' aku sangat tidak mengerti. Apa aku telah berhasil melumpuhkan sekutu? Atau.. ragaku jadi dua? Atau, ada orang ketiga dibalik semua ini? Ah, enggan berdebat, aku merasa tubuhku yang tak berdaya ini, tidak berada di rotasi semula. Digotong.
Aku yang mulai melayang dengan tumpu tangan-tangan, mencoba mengerjap-erjap. Apa yang terjadi? Kenapa aku tidak melayang? Berarti nyawaku masih enggan meninggalkan jiwa yang koyak ini.
Aku mencoba menoleh dan darah berceceran di tanah. Seandainya, darah itu bukan dari tubuhku, aku akan mengejar mereka. Tapi tidak untuk sekarang ini. Tidak karna aku juga melihat darah di tempat lain.. dan itu bukan dariku, tapi dari seseorang di seberang jalan, dengan baju.. batik!
"Kamu aneh sayang. Kenapa kamu keluar sendirian? Kami butuh pengawasan dari dunia fantasi yang penuh metropolitan," desis seseorang, memangku kepalaku.
"Ta..tan..te?" ejaku tiba-tiba gagu, ketika melihat wajah bulat tanteku dengan asido tipis-tipis yang mulai menunjukkan garis panik di jidatnya.
"Oke, kamu boleh cerita nanti, sayang. Sekarang, mari kita sembuhkan lukamu," senyumnya membawa tiga titik yang dalam di salah satu pipi, walau jidatnya masih berkerut, tapi lebih terlihat mendamaikan.
"Pak Wardi?" kaget Tante, membuat seluruh syarafku menegang, hanya karna seorang paruh baya digotong tepat di sampingku.
"Andai Saya tidak datang, dia akan mati sekarang. Tapi, Saya juga tidak ingin mati sekarang. Tapi, bocah itu," cecarnya dengan menunjukku menggunakan dagu berjenggot tipis, dan membuat Tante Fatimah nyaris lupa berkedip ketika memutar kepalanya ke arah yang ditunjuk orang itu. Aku.
Telak. Aku menelan saliva keringku. Sakit di seluruh tubuh dan lengan kananku yang paling parah dan bolong sekalipun, tidak berasa seketika. Mataku menatap nanar orang paruh baya di sampingku yang beberapa detik lalu terkapar di sebrang jalan. Ternyata dia--Pak Wardi, seorang RT di blok rumah Tante Fatimah yang katanya telah menjadi milikku lantaran kado ulang tahun.Wajah Pak Wardi khas bapak baik hati, tapi mungkin tidak dengan kebaikan hatinya.
"Maafkan anak Saya Pak. Sebagai gantinya, biaya pengobatan Bapak Saya totalkan," Tante Fatimah memelas, dan aku semakin melas. Apalagi kalau bukan sebutan 'anak' yang keluar dari bibir delima Tante Fatimah.
"Kau pikir, Saya terlalu fakir? Untuk membayar biaya operasi saja tidak mampu? Jangan merasa paling kaya dulu!" tolaknya keras. Tanteku menyudutkan pria itu dengan berargumen, "lantas, apa yang Bapak inginkan? Bukanya Saya harus bertanggung jawab? Dan ini kewajiban yang Saya lakukan pada Bapak, kalau bapak mengelak, apa yang Bapak inginkan?" Tante Fatimah sedikit naik oktaf.
Pak Wardi masih gigih menentang Tante, tapi, perlawanan itu dia urungkan lantaran lubang di bagian pahanya mungkin rawan bentrok. Jadilah Pak Wardi hanya mendesis-desis menahan sakit. Dan mungkin menang mayoritas berada di tangan Tante, yang sekarang tersenyum simpul lalu menyeringai, "sekarang, mari kita sembuhkan luka-luka Anda, Pak RT," tandasnya kemudian beranjak, yang membuatku sedikit melakukan peregangan untuk bangkit dari posisi telentang.
Kali ini sama sekali aku tak mengerti sandiwara apalagi yang tengah Allah berkan padaku, lantaran mataku menangkap sosok wanita...syari'i! Dia berniqob dan mengambil alih kemudi mobil yang harganya bisa kuasumsikan bermiliaran ini. Sedang Tante, sibuk dengan seseorang di balik headset senadanya. Dan aku, sibuk memperhatikan sepasang mata yang kadangkala melirik-lirik ke arahku, yang diiringi desahan dari Pak Wardi yang tak pernah dipungkiri.
Inikah yang namanya mati satu, tumbuh seribu? Bukan. Ini mati seribu, tapi tumbuhnya hanya satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meninggi Langit
SpiritualDisarankan untuk mengubah tampilan menjadi hitam dengan font sans sarif! ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Langit tak selalu biru--kalimat mainstream. Semua orang tau itu. Langit juga disimbolkan--pencapaian tertinggi. Semua orang juga mengerti. Tapi, tak...