Ronauly dalam ruangan Lydia

186 9 0
                                    


Hari kembali bersinar. Ronauly sudah terbangun dari mimpinya. Netra menangkap sosok Leo, duduk termenung di meja kerja. Perlahan Ronauly melangkah mendekati sang suami.

"Ada apa, Sayang? Dari kemarin kamu marah terus. Aku salah apa?" tanya Ronauly cukup khawatir.

"Aku tidak apa-apa."

Ronauly kesal. Membuang nafas secara perlahan lalu menatap Leo dengan sendu. Mendekap lengan Leo dengan manja seraya duduk di sampingnya.

"Aku nggak bisa tidur kalau kamu kaya gini. Kamu marah karena kemarin aku kelamaan?" Ronauly memandang Leo dengan sendu. Membelai perutnya. Beralasan untuk meluluhkan hati Leo.

"Nggak, Sayang. Aku nggak marah sama kamu," balas Leo. Takut bila istrinya yang sedang hamil, berpikir terlalu berat.

"Jadi kenapa kamu marah?" tanya Ronauly.

Leo masih menghembuskan nafasnya dengan gusar. Memandang wajah Ronauly dengan lekat. Perlahan tangan kekar mengusap lembut perut sang isteri.

"Aku mau putriku tinggal bersama kita. Kamu mau 'kan?"

Ronauly tersentak kaget. "Sayang, aku nggak mau. Apa kamu udah kembali sayang sama wanita itu? Kamu pasti jumpa sama dia 'kan?"

"Aku nggak sayang sama dia. Hanya putriku. Lagian usianya sudah beranjak dewasa. Nggak bakal nyusahin kamu," tutur Leo berharap.

Ronauly berdiri dari duduknya. Menatap tajam ke arah Leo dengan wajah kesal. Sedang Leo mulai was-was akan hal tersebut.

"Aku nggak mau. Pasti anak kamu bakal usil sama aku. Aku nggak siap, Sayang. Lagian putri kamu udah besar. Tinggal sendiri juga 'kan bisa," jelas Ronauly mulai menangis.

Wanita itu berlutut di lantai seraya menyapu airmata yang berjatuhan. Leo menghembus nafas frustasi, melangkah mendekati sang isteri. Memeluk hangat dengan perasaan bersalah.

"Maaf, Sayang. Aku  hanya ingin yang terbaik."

"Kamu nggak ngerti perasaan aku," ucap Ronauly manja.

"Maaf," ucap Leo. Memeluk lebih erat.

"Aku harus pergi kerja. Kamu jaga kesehatan juga calon bayi kita."

Leo melangkah mengambil jas. Mencium kening Ronauly. Wanita itu, mencium tangan Leo dan memeluk sekilas. Mengantar Leo sampai pada pintu depan, melambaikan tangannya.

'Aku akan kerumah sakit.'

Disisi lain, Aiersha duduk santai bersama dengan Ereza serta kedua orangtua mereka. Diam yang tercipta sungguh menyiksa diri gadis itu.

"Ma, Pa, aku harus kerumah sakit sekarang. Tidak ada yang jaga mama disana," tutur Aiersha pada akhirnya.

Ereza spontan menatap Aiersha. Ada rasa bahagia dalam hati terbesar dari gadis yang baginya adalah musibah besar. Sedang William tersenyum kepada menantunya.

"Pergilah dengan Ereza!"

Ereza membulatkan matanya tidak setuju. Semakin menatap tajam ke arah isteri. Tidak bisa membuka mulut untuk menolak. Perkataan William harus selalu dituruti.

Netra Aiersha menangkap jelas rasa tidak suka Ereza. "Aku pergi sendiri, Pa." Memberikan senyuman palsu.

"Tidak! Kalian harus pergi bersama," sergah William.

"Okey," balas Ereza. Langsung melangkah pergi menuju kamar.

Aiersha mengikuti langkah Ereza. Pria itu masih dalam keadaan kesal bukan main. Mengganti pakaian dengan wajah semrawut. Tidak berbicara walau hanya sepatah kata saja.

Suasana hening tercipta dalam mobil. Netra keduanya fokus memandang lurus ke arah jalan yang ramai. Membawa perasaan masing-masing dalam pikiran.

"Kau semakin keterlaluan," ucap Ereza tanpa memandang posisi Aiersha.

"Kau baru tahu? Apakah aku yang memintamu pergi bersamaku?" balas Aiersha tidak terima. Masih memandang lurus ke jalan raya.

"Selalu saja membuatku sibuk. Aku muak denganmu! Pernikahan macam apa ini?"

Aiersha tersenyum kecut. "Kau ingin pernikahan bagaimana? Menikahi kekasihmu yang sudah hamil itu? Atau menunggu suaminya mati? Masih belum percaya ada orang ternama seperti dirimu!" sinis Aiersha seraya memandang keluar kaca mobil.

Ereza kesal. Melajukan mobil dengan kecepatan tinggi demi meluapkan emosi. Hingga waktu tempuh begitu singkat menuju rumah sakit.

"Aku tunggu di ruanganku."

Ereza berjalan lebih dahulu meninggalkan Aiersha. Gadis itu tidak peduli. Segera kaki melangkah menuju ruangan Lydia terbaring.

Beberapa langkah akan sampai pada ruangan Lydia, Cavin datang menghampiri Aiersha. Membawa senyum manis di pagi hari meluluhkan hati.

"Ayo! Maaf, semalam aku tidak bisa menjenguk tante."

"Tidak apa-apa," balas Aiersha.

Kaki Aiersha dan Cavin hendak masuk. Tapi terhenti dengan peristiwa dari tangkapan netra keduanya. Aiersha hendak segera masuk dan menampar wanita di dalam yang tengah menatap sinis. Tapi Cavin menahan.

Ronauly yang sedang berada di dalam kamar Lydia. Tidak sadar jika dirinya sedang diintip. Dengan segala rasa yang berkecamuk di dalam hati, memaki wanita yang tengah terbaring lemah dan tidak tahu apa-apa.

"Dasar wanita tua! Kenapa dirimu selalu menjadi penghalang? Aku tidak mencintai mantan suamimu itu! Hanya saja ingin melindungi nasib hidupku."

"Benarkah?" tanya Aiersha tiba tiba.

Ronauly kaget. Langkah sedikit termundur. "Sedang apa kau disini? Hah? Apa urusanmu dengan wanita ini?"

Aiersha tersenyum. Mendekatkan langkah pada Ronauly. "Aku sangat suka berada di dekatmu. Aku, disini karena suamiku kerja disini. Kau? Siapa wanita ini, bagimu?"

"Bukan urusanmu! Apa kau mau menjadi pembela buat wanita ini?" Ronauly memutar malas bola matanya.

"Kau akan tau akhirat dari hidupmu, Nyonya. Entah mengapa tuan Thomas Leo menikahi wanita sepertimu," ucap Aiersha dengan misterius.

"Kau lebih rendah!" ucap Ronauly tidak terima.

Aiersha tertawa. Melangkahkan kaki semakin dekat dengan Ronauly. "Aku rendah? Berarti kekasihmu itu juga rendah. Tidak mungkin ia akan menikah degan wanita rendah, jika ia tinggi."

Ronauly membulatkan matanya. Kali ini lebih panas suasana hati. Menatap tajam membelah manik Aiersha. Suhu tubuh menaik akibat amarah terpendam.

"Kenapa? Hah?" tanya Aiersha dengan nada kuat.

"Aiersha!"

Suara teriakan itu sukses membuat Aiersha termundur dan menoleh ke sumber suara. Perlahan memutar bola mata dengan malas. Sedang Ronauly menatap kehadiran sosok dengan bahagia.

"Apa yang mau kau lakukan? Hah? Jangan pernah sakiti Ronauly! Dia lebih berharga daripada wanita seperti dirimu!" ucap Ereza dengan kesal. Wajahnya berubah menjadi kemerahan.

"Sayang, aku takut," ucap Ronauly.

"Ayo kita pergi, Sayang!" Ereza menarik tangan Ronauly, melangkah pergi.

Aiersha terdiam di posisinya. Enggan menatap kepergian sang suami beserta kekasihnya itu. Cavin memeluk Aiersha dengan satu tangan. Menghiasi wajah dengan senyuman.

"Jangan sedih! Akting kamu bagus! Masih ada aku. Kamu lupa?"

"Nggak! Makasih ya, Vin. Aku nggak akting."

Aiersha tersenyum pahit. Menghembuskan nafas yang terasa sangat sesak. Menahan semua tangis yang begitu kuat memukul hati.

"Hufttt...."

Aiersha & Hati [TAMAT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang