Tok ... tok
Lagi-lagi Aiersha mengetuk pintu kamar seraya mondar-mandir di balik pintu. Hembusan nafas begitu gusar, gelisah.
"Za! Aku mau minjem kunci motor!" teriak Aiersha.
Ereza mengusap wajahnya dengan kasar. Sungguh lelah berhadapan dengan kenyataan yang menyakitkan baginya. Tak ingin membuka pintu walau sedikit saja, tapi akan terus terganggu.
"Mau apa lagi? Belum capek ganggu kehidupanku hari ini?" Ereza tidak tanggung menghantam dengan pertanyaan.
Tidak dihiraukan. Aiersha tidak tahu mengapa hatinya sangat resah. "Aku, mau minjem motor kamu. Aku ingin ke rumah sakit." Wajah Aiersha memelas, sendu.
"Heh! Jalan kaki saja! Kau pikir aku siapa? Memang benar kau hanyalah ingin harta!" tukas Ereza. Memiringkan senyum tipis pada wajah.
Aiersha sama sekali tidak peduli. Rasanya kegelisahan lebih menguasai dirinya. "Aku mohon. Aku, takut ada sesuatu terjadi sama mama."
Keras seperti batu. Begitulah sifat Ereza sampai selamanya. Dengan angkuh hati bersandar pada sisi samping pintu, menatap iba sekaligus bahagia.
"Ka ...."
Ucapan Ereza tergantung. Sebuah telefon dari rumah sakit, membuat dahi berkerut. Perlahan mengangkat tanpa mengalihkan pandangan. Sedang Aiersha masih dalam posisi berlutut memohon.
"Apa? Baiklah. Saya segera kesana."
"Siapa? Ada apa?" tanya Aiersha semakin tak karuan.
Tidak ada jawaban dari Ereza. Hanya melangkah pergi tanpa memikirkan hati sang istri.
Aiersha berlari mengejar, dengan hati gelisah. Nafas semakin memburu. "Aku ikut!"
Tanpa berpikir panjang gadis itu memasuki mobil. Kali ini, Ereza pun tampak diam dan membiarkan saja. Melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.
"Katakanlah! Apa yang terjadi di rumah sakit? Apa mama baik-baik saja?" Gelisah Aiersha begitu jelas tergambar.
"Kenapa diam? Katakan padaku!" Aiersha hampir menangis.
Belum juga ada respon dari Ereza. Pria itu fokus pada pandangan lurus, membelah jalan raya.
"Kenapa kau diam! Kumohon katakanlah!"
"Diam! Kau seperti orang kerasukan! Kau bisa lihat nanti. Apa lagi? Kau menganggu konsentrasi. Kau mau kecelakaan? Hah?" Emosi Ereza berhasil meluap.
Mulut Aiersha tertutup rapat dengan getar lembut. Tidak mengerti apapun, tapi hati sedih.
Sesampainya di rumah sakit, Ereza berlari. Aiersha pun tak ketinggalan. Menghabiskan seluruh tenaga yang ada untuk menjawab semua kegelisahannya.
Deg! Jantung Aiersha seketika berhenti bekerja. Tubuh membeku di depan ruangan dengan jendela. Mata membulat lebar kala menatap para suster dan Ereza sebagai dokter, sibuk.
Tit ....
Habis sudah nafas yang di hembuskan oleh Lydia selama bertahun-tahun. Ereza menggeleng kepala dan para suster menunduk sedih.
Bulu kuduk Aiersha berdiri. Pertahanan hampir roboh, berlari tak tau arah.
"Mama! Mama ...!"
"Bangun, Ma! Bangun ...!"
Dengan kuat Aiersha memeluk tubuh wanita yang perlahan mengeras. Menggoncang tubuh itu dengan sekuat tenaga, berharap dapat menghidupkan kembali.
"Ma! Tidak! Tidak mungkin! Bangun, Ma! Bangun ...! "
Aiersha menangis. Suara memenuhi ruangan hingga terdengar jelas ke luar. Beberapa orang yang lewat pun merasa iba. Sedang para suster mulai pergi menuju kamar mayat.
"Ini pasti gara-gara lo! Kenapa lo lakukan itu? Apa salah mama gue? Hah?Apa salahnya?"
Aiersha menghantam dada bidang Ereza dengan pukulan maut. Sakit, tapi Ereza tak bisa berkutik.
"Apa yang lo lakukan ini? Gue akan ingat seumur hidup! Gue mau bercerai dengan lo! Pria jahat tak punya hati! Dokter macam apa lo ini?"
Ereza hendak marah. Namun tentu saja malu, banyak orang yang sedang mengintai di balik jendela. Tak tau harus berbuat apa, hanya membiarkan Aiersha melakukan keinginannya.
"Pergi! Pergi ...!"
Tangan Aiersha menarik rambutnya sendiri dengan kasar. Berlutut di bawah kasur Lydia yang hendak di bawa ke ruang mayat.
"Ma! Bangun! Alasan aku hidup itu, mama! Aku nggak mau hidup! Mama tega ninggalin aku! Hah? Apa salahku!"
"Jangan bawa pergi! Biarkan disini! Jangan bawa pergi!" Aiersha menahan mayat Lydia. Mendorong jauh para suster hendak membawa.
"Bawa saja!" perintah Ereza.
"Apa maksud lo? Pergi, atau gue bunuh kalian? Pergi!"
Ereza tidak sanggup lagi menahan amarahnya. Dengan sigap memeluk tubuh Aiersha, mengunci dengan lengan kekarnya.
"Cepat bawa sekarang!"
"Tidak! Tidak!" Aiersha berusaha melepaskan tangan Ereza.
Sekuat tenaga menghantam dada pria itu. Semakin kuat Ereza memeluk Aiersha.
"Ma! Mama! Lepasin gue! Gue benci sama lo! Lepas!"
Tangis yang semakin menjadi. Aiersha kehilangan seluruh tenaga. Hingga perlahan gadis itu tak sadarkan diri dalam dekapan.
"Eh!" Ereza mengangkat tubuh lemah Aiersha ke kasur.
"Dia pingsan."
Ereza memberikan suntikan obat penenang. Setelahnya mencoba mencek tekanan darah. Dan hembusan nafas. Ereza mendekatkan wajah pada hidung Aiersha.
Deg! Jantung pria itu sekejap berhenti. Lemah, dan hampir tak terasa, hembusan nafas Aiersha. Ereza kembali menjauh dan menatap wajah yang sangat pucat dan lelah. Bahkan dalam tak sadar diri, Aiersha terhanyut dalam sedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiersha & Hati [TAMAT] ✔
General FictionMenikah dengan seorang dokter tampan berusia 30 tahun. nasib yang semakin memburuk, tidak sesuai dengan harapan. gadis berumur 19 tahun, harus merelakan diri demi balas dendam.