Like am saying goodbye

312 11 4
                                    


Jam menunjukkan pukul 12:00. Aiersha semakin melemah, menggenggam kuat tangan Ereza. Hembusan nafas semakin keluar masuk dalam sekala berat.

"Tenang, Sha!" pinta Ereza lagi.

Tiba-tiba gelas minuman Aiersha jatuh dan pecah. Seketika seluruh tubuh merinding dan semakin tidak karuan dalam bernafas. Bersamaan dengan handphone seorang polisi masuk.

"Ha-hallo siapa ini?" Aiersha hampir tidak berdaya.

"Selamat siang, Nyonya. Kami dari kepolisian mengabarkan kecelakaan seorang pria paruh baya .... "

"Apa? Tidak! Papa! Saya akan kesana! Kirim daerahnya!"

Ereza tersentak juga. Menatap Aiersha yang sudah bercampur emosi. Kedua insan itu berlari masuk ke mobil. Kelajuan tinggi membawa menuju titik kejadian.

Hujan turun dengan derasnya bersama dengan airmata yang mengalir deras. Kesadaran Aiersha hampir hilang namun tetap memandang lurus ke depan, menyetir mobil.

Sampai di sebuah kerumunan orang. Dan terlihat baru saja polisi sampai dengan mobilnya. Tidak dapat di mengerti. Aiersha berlari sekencang mungkin.

"Papa! Bangun, Pa! Kenapa papa pergi? Papa udah janji akan tunggu, Sha! Papa ... bangun!" Aiersha berteriak sekuat tenaga.

Kepala Leo tepat di pangkuan Aiersha dengan darah yang mengalir deras. Polisi dan beberapa orang membiarkan sejenak Aiersha meluapkan tangisnya.

"Papa! Maafkan Sha! Papa jahat! Papa! Kenapa Sha tidak pernah bahagia? Bangun, Pa! Bangun!' teriak Aiersha melawan suara derasnya hujan.

Perlahan kerumunan kendor kala suruhan Ereza membawa Cavin dan Ronauly yang tertangkap. Seketika rasa benci muncul dalam diri Aiersha.

Pihak rumah sakit datang dan membawa mayat Leo pergi. Kerumunan bubar dengan suruhan polisi.

Aiersha tepat berdiri di hadapan kedua orang yang telah membunuh Leo. Tangisnya semakin pecah.

"Jadi kalian yang telah membunuh, Papa? Hah? Apa salah  papaku?" Aiersha mendorong tubuh Ronauly dan Cavin dengan kasar. Polisi menahan dan hendak melerai.

"Biarkan aku!" teriak Aiersha pada polisi. Ereza datang menahan polisi.

"Kau wanita macam apa kau ini? Terkutuk hidupmu! Kau akan rasakan bagaimana menjadi aku! Kau pastikan rasakan itu!"

Suara petir bersambutan. Hujan semakin deras membasahi bumi.

"Dan kau! Inikah cinta yang tulus itu?  Hah? Aku akan terkutuk jika saja kembali mencintaimu. Sekarang kau puas? Kalian puas?"

"Aku hancur!" teriak Aiersha kuat. Pohon tumbang terkena petir.

Polisi membawa Ronauly dan Cavin kedalam mobil. Ereza mendekat, memeluk isterinya yang kian hancur. Dengan tenaga yang tersisa Aiersha mendorong pelan tubuh Ereza.

Menjatuhkan diri di pasar hitam. Menangis sejadinya meratapi nasib.

"Akh! Aku tidak akan pernah kembali ke sini lagi!" teriak Aiersha. Setelahnya pingsan di tempat.

Kelemahan tubuh Aiersha berlanjut hingga pemakaman Leo selesai. Dirumah bersama dengan pembantu, tiba-tiba Aiersha kembali sadar.

"Nona, sudah sadar," ucap Bi Ana sambil menangis.

"Papa! Dimana papa?" tanya Aiersha panik.

"Sudah dikebumikan, Nona. Dan keluarga sedang mengurus dan menghadiri persidangan," ungkap Bi Ana sedih.

Kembali lagi Aiersha menangis. "Bi, tolong siapkan pakaian saya dan seluruh barang-barang saya." Gadis itu berjalan ke kamar mandi.

"Buat apa, Nona?"

"Bi, tolong jangan katakan pada siapapun, kemana aku akan pergi. Aku akan pergi jauh dari negara ini. Tolong, Bi. Aku akan kembali saat hatiku sudah dapat melupakan kebencian ini. Aku mohon." Aiersha berlutut memohon.

Bi Ana tersentak kaget, menatap sendu ke arah wajah Aiersha. Hati tidak ikhlas namun ia tahu bagaimana perasaan Nona-Nya itu.

Anggukan kepala kecil dari Bi Ana. Mempersiapkan seluruh barang-barang ke dalam koper. Hingga menghantar Aiersha ke luar halaman rumah.

"Jangan katakan aku pergi. Berikan surat ini untuk Ereza. Katakan saja aku pergi saat bibi sibuk memasak. Aku sayang, Bi Ana," ucap Aiersha memeluk wanita itu.

"Iya, Nona. Tolong jaga diri baik-baik," balas Bi Ana sambil menangis.

Aiersha pergi menggunakan taksi. Hatinya sangat perih harus meninggalkan tempat kelahirannya. Tepat hari ini adalah tanggal keberangkatan tiket pesawat. Awalnya untuk berlibur saja hingga ia pesan tiket itu. Tapi seakan semua sudah tertulis dengan indah.

Aiersha berbalik memandang pasar hitam, berharap Ereza datang untuk menahan. Meberikan janji untuk memberi kehangatan cinta. Namun nihil. Tidak mungkin itu terjadi.

Pesawat itu kini telah membawa tubuh kurus Aiersha ke negara lain. Meninggalkan sejuta kenangan. Meski hati tak sanggup untuk pergi.

"Bi! Aiersha, dimana?" tanya Ereza dengan  panik.

"Saya tidak tahu, Tuan. Tapi dia tinggalkan surat tadi. Saya sibuk masak dan ternyata saat saya ke kamar nona sudah tidak ada di kamar," tutur Bi Ana gugup dan sendu.

Dengan cepat Ereza mengambil surat itu. Bersamaan terdengar suara pesawat terbang membawa Aiersha pergi jauh.

"Tidak! Kenapa dia pergi? Tuhan! Kenapa tidak Engkau izinkan aku membahagiakan dia?" Ereza meratap, memukul lantai kamar.

"Akh! Aku mencintaimu, Aiersha! Aku ... aku  mencintaimu! Kemana kamu pergi? Kembali!"

William dan Chatrine berusaha menenangkan putra mereka. Chatrine pun ikut menangis walau sebelumnya ingin marah terhadap perbuatan memalukan dari Ereza.

Pemandangan awan berbentuk indah menciptakan dingin hati yang dalam. Aiersha mencoba menggariskan senyum manis di wajah sendu. Hingga tercipta senyum tipis penuh makna.

'Kepergian memang bukan jawaban dari sakit hati. Hanya orang lemah yang melakukan itu. Seharusnya di hadapi dan diperbaiki. Tapi ... maaf, aku orang yang lemah itu. Paling tidak kepergian membuat hatiku perlahan lupa akan sakitnya.'

"Aku mencintai kamu, Ereza."

~Tamat

Aiersha & Hati [TAMAT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang