Cavin selalu ada

145 8 0
                                    

Langkah Aiersha tidak teratur. Memilih duduk terdiam di kursi taman belakang. Cukup selama ini menyusahkan Cavin, kali ini tidak ingin lagi. Menikmati angin berhembus membawa jauh air mata.

Ruangan yang semula penuh dengan amarah, berubah perlahan. Ereza kembali memeluk kekasihnya dengan erat. Sekali-kali tangan mengelus perut wanita itu.

"Tidak perlu dipikirkan, Sayang! Aku nggak akan terpengaruh dengan wanita itu," ucap Ereza.

"Aku percaya sama kamu, kok," balas Ronauly. Melekatkan punggung pada dada bidang Ereza.

"Kapan kamu bercerai dengan, Leo? Aku,tidak sanggup hidup tanpa kamu," jelas Ereza tiba-tiba.

Ronauly spontan duduk menatap manik Ereza. "Aku belum bisa pastikan itu. Kamu tahu akan ada masalah besar jika aku bercerai dengan pria itu."

"Jadi kamu tidak akan bercerai dengannya? Apa kamu sudah mencintainya?" tanya Ereza dengan kesal. Menatap tidak terima pada manik Ronauly.

Ronauly menghela nafasnya. Menatap sendu dan lekat pada kekasih. Memberi suatu definisi yang tidak terbaca.

"Aku juga ingin menikah denganmu. Tapi bagaimana caranya? Orangtuaku sama sekali tidak menyukai kamu."

"Menikahlah denganku! Ceraikan suamimu ketika bayi ini sudah lahir. Aku akan meminta dengan baik pada orangtuamu. Percayalah!" terang Ereza memamerkan senyum.

"Benarkah?" Ronauly masih tidak percaya.

Ereza mengangguk pelan. Mengambil kedua tangan Ronauly, mengecup punggung tangan dengan lembut. Memejamkan mata menikmati wangi dan halus punggung tangan Ronauly.

Sedang dalam keheningan, Cavin kaget dengan kedatangan Leo. Pakaian rapi dan tak pernah terlihat seperti manusia biasa. Melangkah sangat berwibawa.

"Sedang apa kau disini?" tanya Cavin kesal. Berdiri dari duduk santai.

"Dimana, Aiersha?" tanya Leo langsung.

"Bukan urusanmu!"

Leo menggeleng pelan. Harus bersikap lebih sabar dan bijaksana. Kaki melangkah mendekati Cavin yang tengah menatap tidak suka.

"Aku ingin membawanya pulang bersamaku. Hidupnya tidak akan disiplin, jika hidup di lingkungan bejat!" tegas Leo.

Senyum miring tergambar jelas pada wajah Cavin. Jelas pria paruh baya itu tengah menuduh dirinya. Bersabar dengan orang lebih tua, sudah sewajarnya.

"Dimana, dia? Jangan coba menyembunyikan dariku," ucap Leo memaksa.

"Dia sibuk! Jika benar Anda mencintai Aiersha, Anda pasti tahu bagaimana status dan kehidupannya. Mengapa bertanya pada orang lain?"

Kata Cavin sangat menghantam kuat hati Leo. Berusaha tetap bersikap bijaksana. Netra memandang wanita yang sama sekali tidak ia cintai lagi. Ada rasa iba bukan cinta.

"Temui aku di kafe bersama Aiersha nanti malam!"

Leo langsung pergi menjauh. Cavin menatap dengan tidak suka, mengantar dengan tatapan tajam. Hampir saja nafas berubah gerakan.

Tiba-tiba terpikir untuk menghubungi Aiersha. Tangan beralih ke saku mengambil benda pipih.

Sudah berapa kali menghubungi namun tidak diangkat sama sekali oleh Aiersha. Rasa tidak tenang kini menyelimuti hati dan pikiran. Mengimbangi antara pergi atau tidak.

Setelah perdebatan hebat dengan diri sendiri, Cavin kini kakinya menapak di area rumah Ereza. Segera mungkin masuk menuju kamar Aiersha. Hingga langkah terhenti saat melihat dua insan bermesraan menuruni anak tangga.

"Siapa yang mengizinkan kau masuk?" tanya Ereza menghentikan langkah.

Tidak ada jawabnya dari Cavin. Akan menjadi percuma, menguras energi. Sedang Ereza tampak berpikir.

"Pasti gadis itu. Dia hampir mati di taman belakang. Bawa saja ia dari sini! Menyusahkan saja!"

Amarah Cavin meledak. Ereza melewati Cavin dengan menyenggol bahu. Tertawa bahagia saat mendapati Cavin terdiam.

'Pria macam apa itu?' Percuma seorang dokter, usia tua pikiran bocah!'

Cavin berbelok menuju pintu belakang. Dan netranya tidak kuat kala mendapat sosok Aiersha tengah menangis. Segera berjalan mendekati posisi gadis itu.

"Sha," ucap Cavin pelan. Menepuk pundak Aiersha.

Gadis itu tersentak. Menghapus air mata dengan cepat, kemudian menatap pria di samping.

"Bagaimana bisa disini?" tanya Aiersha seraya mengalihkan pandangannya.

"Mereka menyakitimu! Aku tidak terima. Lebih baik tinggalkan saja, pria bocah itu!" kesal Cavin. Mengikuti langkah mata Aiersha.

"Tidak, Vin! Belum waktunya. Aku harus mengungkapkan kebenarannya terlebih dahulu," ungkap Aiersha.

"Mereka keterlaluan."

"Aku tahu. Tapi, dengan begitu semua bukti yang kuinginkan akan terwujud. Aku ingin Papa sadar! Setelah itu aku akan pergi bersama mama," terang Aiersha menangis.

"Pergi? Apa maksudmu?" tanya Ereza.

Kepala Aiersha menggeleng pelan. Tersenyum pahit, paksaan. Ada suatu keinginan yang akan dilakukan setelah semua kebenaran sudah terwujud.

"Jangan bilang,pergi meninggalkanku! Aku cinta dan sayang sama kamu, Sha. Jangan lakukan lebih dari sekarang ini! Aku mohon."

"Sudahalah, Vin. Apa langkah selanjutnya yang harus dilakukan?" tanya Aiersha.

Cavin menundukkan kepalanya. Sedikit kecewa atas penolakan lembut dari Aiersha. Mendinginkan hati, mengumpulkan energi untuk berbicara.

"Kita,malam ini akan bertemu dengan papa kamu dan kita harus pergi!"

"Untuk apa?" tanya Aiersha. Tidak terima dan sedang dalam keadaan malas.

"Dia sendiri yang minta. Datang kerumah sakit satu jam yang lalu. Ini kesempatan baik, Sha. Agar kita tahu apa yang membuat hatinya lunak," terang Cavin.

Aiersha mengangguk paham. Menit kemudian kembali menangis. "Makasih, Vin. Lo selalu kesusahan karena gue." Memeluk Cavin dengan perasan hancur.

Tangan kekar Cavin mengelus lembut kepala Aiersha. Dinginnya hembusan angin, menambah luka di hati. Masih terpikir dengan perkataan Aiersha, tentang kepergian yang diinginkan gadis itu.

'Izinkan aku membuat Aiersha bahagia.'

"Mau sampai kapan loo berdua di situ? Mata gue terganggu!" teriak Ereza. Berdiri di pintu, melipat tangan dengan wajah angkuh.

Aiersha dan Cavin spontan membalikkan badan, menatap. Terdiam tak ingin menanggapi.

"Lo berdua dengar nggak sih? Pergi aja dari sini! Mesraan di tempat lain!" ucap Ereza semakin tajam.

Pria itu pergi menutup pintu dengan sangat kasar. Aiersha menundukkan kepala, dengan jatuhnya air mata. Terlalu lemah! Bukan ini yang ia inginkan. Selalu menangis dan lemah di hadapan Cavin.

Melihat Aiersha menangis, Cavin memeluk kembali tubuh yang kian melemah dengan hati hancur.

"Gue kuat kok, Vin. Jangan peluk gue. Gue nggak lemah!" ucap Aiersha sedikit berteriak.

Tak mengindahkan perkataan Aiersha, Cavin tetap memeluk gadis itu. Sama sekali tidak sanggup menatap wanita yang dicintai menangis dan hancur.

Aiersha & Hati [TAMAT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang