Pasar

140 9 0
                                    

Mobil yang Aiersha kendarai telah terparkir di sebuah pasar. Keramaian dan aroma ciri khas begitu menyengat pada hidungnya. Gerak cepat membawa Aiersha dan Bi Ana masuk ke dalam pasar.

"Bi, kita belanja apa lagi? Ikan atau daging? Mending kita masuk ke dalam, yuk!"

Aiersha menarik tangan Bi Ana dengan cepat. Sekali-kali melirik ke arah belakang. Harap cemas tidak ada yang mengikuti dirinya.

Semua mulai terasa aman. Aiersha mengusahakan diri untuk terlihat santai. Memilih beberapa daging menatap serta ikan.

"Wah! Cantik kok mau ke pasar? Kamu isterinya Ereza 'kan? Dokter tampan itu?" tanya seorang penjual dengan lagak gemas.

"Iya," balas Aiersha datar seraya tersenyum tipis.

"Pesanan mama saya mana, Bang?"

Sebuah suara yang cukup familiar di telinga Aiersha. Mata membulat kaget dan berharap bahwa orang yang di pikiran, bukan yang nyata.

Aiersha melirik dengan gagap. Tepat sekali. Orang itu adalah Cavin yang sedang menunggu pesanan daging di tempat penjualan sebelah.

"Bi, berapa lama lagi? Aku laper nih," ungkap Aiersha pelan. Membawa wajah untuk bersembunyi.

"Bentar, ya, Nona," balas Bi Ana.

Sebisa mungkin Aiersha menyembunyikan wajah dari Cavin. Tampak pria itu seperti tidak tahu akan sosok Aiersha.

"Hey! Tiana! Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu," ucap Cavin pada seorang gadis manis seumuran dengannya.

Mata Aiersha langsung melihat ke arah si gadis tersebut. Paras cantik serta senyuman yang mampu menggoda pria manapun.

"Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Apa masih dengan Aiersha?"

"Tidak! Aku tidak mengenalnya. Dia bukan gadisku lagi," tutur Cavin dengan nada yang cukup kuat di dengar oleh telinga Aiersha.

"Benarkah?" tanya Tiana cukup bahagia.

"Tentu saja. Apa kamu mau jadi gadisku?"

Hati Aiersha bagai ditimpa beban yang sangat berat. Ah! Hancur sudah pertahanan cintanya. Tapi ini adalah pilihannya sendiri.

Dengan langkah tergesa Aiersha membawa langkahnya. Wajah kusut dan sendu, hati tidak tahu bagaimana keadaannya. Bi Ana pun harus berlari mensejajarkan langkah dengan Aiersha.

"Aiersha! Tunggu!" Sebuah suara lagi-lagi menganggunya hari ini.

Kali ini Aiersha memilih untuk berhenti. Lelah jika saja di ganggu oleh orang lain terus. Leo bergegas dengan cepat mendapati putrinya.

"Nak, papa mau ngomong," ucap Leo memelas.

"Aku capek. Kita bisa ngomong besok saja di kafe. Aku lelah hari ini," balas Aiersha dengan tidak enak.

Aiersha segara menuju mobil. Leo hanya dapat menatap kepergiannya dengan hati hancur berkali-kali. Semua itu sangat membunuhnya.

Leo pun kembali ke mobilnya dengan hati kosong. Setelah semuanya ia banggakan, sekarang balasan dendam Lydia seakan terjadi padanya.

"Beri aku kesempatan memperbaiki ini semua. Aku terbunuh." Leo menghantam kaca mobilnya sembari menunduk. Tidak peduli pada orang yang sedari tadi menatap dengan aneh.

Dalam menyetir pun Aiersha menangis. Pikiran terbagi kesana kemari. Hingga tiba di rumah dengan selamat walau hampir saja nyawa melayang.

"Aiersha! Dari mana aja, Sayang?" Chatrine memeluk Aiersha.

Dengan buru-buru Aiersha menghapus jejak air mata. Memeluk Ibu mertua dengan hangat sembari tersenyum tipis.

"Kok, nangis?" tanya chatrine panik.

"Enggak kenapa, Ma! Masih terbawa," balas Aiersha.

"Udah. 'Kan ada mama. Ereza juga dari tadi nungguin kamu."

Aiersha sekilas melirik ke arah Ereza yang tengah duduk dengan santai bersama William di ruang tamu.

"Ak ubelanja, Ma. Rencana tadi mau masak dulu," balas Aiersha dengan kecut.

"Ereza nggak buat ulah 'kan?" tanya William tiba-tiba.

Senyum tipis tergambar pada wajah Aiersha. Menatap sendu ke arah Ereza yang berharap cemas akan jawaban.

"Enggak, Pa. Baik-baik aja, kok."

"Ya, udah. Kami ke kamar dulu, Pa. Aiersha pasti capek. Yuk, Sayang!" Ereza menarik tangan Aiersha dengan sdikit kasar seraya tersenyum lebar.

"Tidak! Aku mau masak. Aku tidak lelah," balas Aiersha dengan tatapan tajam. Segera melangkah pergi menuju dapur dengan belanjaan di tangan.

Spontan William dan Chatrine menatap tajam ke arah Ereza. Sedang Ereza mendengus kesal dan was-was.

"Mungkin dia masih belum bisa ikhlas, Ma, Pa. Aku udah berusaha buat dia bahagia. Tapi .... "

"Tapi apa? Kau memang tidak pandai mengubah egoismu. Lebih baik kau pergi saja ke kamarmu!" William kesal sendri atas sikap Ereza.

Ereza menggeleng kepala, setelahnya pergi menuju kamarnya. Sekilas melirik Aiersha yang tengah sibuk dengan sayuran. Sedikit terkesima. Jengkel hati berubah menjadi rasa senang.

"Gadis itu, cantik juga."

Sedang di ruang Leo, Ronauly sedang marah tak jelas. Berbagai kata pedas ia ucapakan atas keterlambatan suaminya membawa mangga muda.

"Sayang! Kamu dengar nggak, sih? Aku capek dari tadi ngomong. Kamu bengong terus!"

"Maaf, Sayang. Nggak mudah cari mangga muda. 'Kan sekarang udah disini. Kamu tinggal makan aja," tutur Leo dengan sabar.

"Ih! Kupas dong! Kamu nggak peka banget.  Anak kamu, nih yang minta," tutur Ronauly dengan manja dan kesal.

Seperti orang bodoh. Leo mengambil pisau kecil, lalu mengupas mangga muda dengan teliti. Pikiran masih pada putrinya.

Ronauly yang merasa terlalu lama, mulai marah lagi. "Sayang! Ih! Dari tadi bengong mulu. Kamu mikirin putri kamu itu, ya? Pikirin juga dong anak kamu ini. Kamu mau dia ngiler?"

"Maaf, Sayang."

Leo mempercepat gerak tangannya. Setelahnya memberikan pada Ronauly yang tengah sibuk dengan handphone seraya tersenyum tidak jelas. Sampai tidak sadar tangan Leo sedari tadi memberikan mangga muda yang ia inginkan.

"Kamu berhenti dulu main handphonennya!" perintah Leo lembut.

"Lagian lama banget, sih! Aku udah nggak suka!" Ronauly menolak. Pergi menuju kasur dan merebahkan diri bersama handphone.

Leo menghela nafas dengan berat. Perih sekali rasa hati dengan kepedihan itu, mangga muda ia lahap dengan rakus. Mungkin rasa asam dan tidak enak akan membuat hatinya cukup lega dari beban.

Aiersha & Hati [TAMAT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang