Khawatir

201 9 2
                                    

"Aku tetap ingin bercerai denganmu. Itu sudah keputusanku. Dan sekarang aku akan pergi untuk mengajukan sidang perceraian," ucap Leo dengan yakin. Membawa kaki keluar dari rumah.

Ronauly menatap kepergian Leo. Segera keluar dari rumah, dengan rasa yang berkecamuk dalam hati.

Sampai di sebuah kafe, duduk di bagian paling depan. Kedua netra sibuk mencari sosok yang tengah ia tunggu. Memesan minuman hangat.

"Hai, Tante," sapa Cavin seraya tersenyum. Duduk di depan Ronauly.

"Hai. Akhirnya kau datang juga. Aku pikir hanya bualan semata. Pesan saja sesuatu! Aku yang akan bayar."

"Tidak perlu, Tante. Aku hanya ingin tau apa yang direncanakan oleh dirimu," tolak Cavin.

Keheningan tercipta di antara mereka. Ronauly sedang mengambil aba-aba. Butuh tenaga yang ekstra untuk hal gila yang dipikirannya. Sedangkan Cavin semakin tertarik dalam penasaran.

"Apa kau benar-benar ingin menikahi Aiersha?" tanya Ronauly cukup ragu.

"Tentu. Aku akan merebutnya dari, Ereza. Dengan cara apapun itu."

Senyum miring seketika muncul dalam raut wajah Ronauly. Langkah awal yang akan membuat rencananya sukses.

"Kau tahu bahwa semua itu bisa terwujud kalau Leo bercerai denganku," ucap Ronauly kesal.

"Kau sudah tahu?"

"Tentu saja. Dan aku tidak bisa bercerai dengan Leo. Karena orangtuaku pasti akan menghukum aku ... dan aku tahu bahwa gadis yang kau cintai itu sangat bijak dan kuat. Aku akan lenyap jika saja tidak bercerai dengan Leo. Maka aku ingin bekerjasama denganmu. Membuat Leo kecelakaan," tutur Ronauly dengan seringai ngeri.

Kedua netra Cavin melotot, tersentak. "Apa? Itu hal gila Ronauly. Apa tidak ada cara lain?"

Tatapan tajam menembus manik Cavin. "Dasar bodoh! Kau mau menikahi Aiersha? Jika saja Leo tidak meninggal maka aku tidak akan pernah bercerai dengannya. Dan kau tidak akan hidup dengan Aiersha sampai kapanpun.

Raut wajah Ronauly sangat kesal. Menatap pria muda di hadapan seperti orang paling bodoh di dunia.

Cavin diam mencerna semua perkataan Ronauly. Hati mulai bimbang dan cinta dalam hati membutakan pikiran jernihnya. Senyum lebar di wajahnya seketika mengembang dan mata berbinar.

"Kau benar juga. Kalau begitu kenapa tidak hari ini?" Cavin menatap Ronauly bagai menatap harta karun.

"Tentu hari ini. Leo sedang pergi mengurus perceraian kami. Kau seorang pria yang pandai dalam hal itu. Jadi kita pergi saja sekarang. Pikirkan saja rencana yang tepat. Aku akan memenuhi semua keperluan untuk itu," ungkap Ronauly tersenyum lebar.

Bagaikan cacing kepanasan. Aiersha tidak bisa tenang sama halnya seperti saat Lydia menghembuskan nafas terakhir. Ikatan darah begitu kuat mengalir dalam dirinya.

Gadis itu berdiri dan berjalan kesana kemari, tidak tentu arah. Sesekali menelan saliva yang terasa sangat pahit. Ada perasaan tidak enak menganggu jiwa dan pikiran.

"Ada apa, Sha?" tanya Ereza. Baru saja selesai membersihkan diri dan berpakaian.

Tidak ada jawaban hanya sekilas pandangan. Suara panggilan dari handphone membuat Aiersha tersentak kuat. Nafas semakin memburu, melelahkan dirinya.

["Hallo, Pa,"] sapa Aiersha dengan nafas terengah-engah.

["Sha. Papa akan ceraikan Ronauly. Saat ini papa ada sedang mengajukan gugatan perceraian. Papa harap kamu akan tinggal bersama papa. Walau hanya sebentar saja. Bolehkann kamu datang ke kafe? Papa ingin minta maaf, Sha. Papa mohon,"] tutur Leo dari seberang. Suara serak dan hampir tak kedengaran.

Deg!

Jantung Aiersha terpukul begitu kuat. Entah mengapa rasa benci itu memudar. Perasaan Aiersha semakin jauh terbawa ke dalam area sedih.

["Pa! Aku pasti datang. Papa jangan bilang begitu. A-aku, pasti datang,"] ucap Aiersha menangis. Bibirnya bergetar, jantungnya berdetak dengan sangat kencang.

["Terimakasih, Sayang. Papa akan tunggu. Papa pasti tunggu,"] ucap Leo dengan bahagianya.

Aiersha menahan badan yang bergetar. Mata senantiasa membulat, ketakutan menghantui. Air mata semakin giat berjatuhan membasahi pipi.

Dengan panik Ereza mendekati sang isteri. "Ada apa, Sha? Kenapa kamu ketakutan begini?"

Netra memandang lurus ke depan dengan kosong. Perlahan mengalihkan pada Ereza yang menatap dengan panik. Cukup lama Aiersha memandang raut wajah pria itu.

Tangan Aiersha tiba-tiba memeluk tubuh sang suami. Terisak dalam kehangatan dada bidang, membasahi kaos.

"Papa. Ayo kita pergi ke kafe. Aku tidak bisa tenang. Pikiranku negatif. Tidak! Tidak akan terjadi hal yang di pikiranku itu, bukan? Katakan! Pasti papa baik-baik saja!" teriak Aiersha, mencengkeram Kaos Ereza.

Pria itu terdiam namun kekhawatiran pun muncul dalam dirinya. Mengingat komunikasi di handphone bersama Ronauly semalam. Semakin membuat ia tak sanggup berbicara. Tangan mencapai kepala Aiersha, mengusap lembut.

"Kita bersiap sekarang!" ajak Ereza.

Dengan langkah cepat Aiersha mengganti pakaian dan mengambil beberapa keperluan. Jiwa seakan tidak penuh dalam jiwanya. Suasana desa nan sepi adalah hal yang sedang ia rasakan. Berjalan dengan tidak sadar, jiwa telah pergi jauh walau tidak sepenuhnya.

Mereka sudah tiba di kafe. Duduk di bagian paling depan agar cepat melihat Leo. Perasaan dalam hati Aiersha masih tidak tenang. Mata sibuk memandang ke arah luar. Langit seketika mendung dan hawa menjadi dingin.

"Sha! Kamu tenang, ya!" ucap Ereza menangkan dengan cemas.

"Aku ke toilet sebentar, ya," pinta Ereza.

Tidak ada respon sama sekali. Ereza pergi dengan cepat ke toilet, langsung meraih handphonenya. Mencari nomor seseorang.

["Hallo,"] sapa dari seberang.

Wajah Ereza tampak tegang dan panik berkomunikasi dengan seseorang di seberang. Amarah pun tampak meluap dari dirinya.

["Baiklah, aku percaya padamu,"] ucap Ereza. Mengakhiri komunikasi.

Aiersha & Hati [TAMAT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang