Tugas sebagai istri

157 8 0
                                    

"Wah! Masakan kamu lezat sekali, Sha," ungkap chatrine memuji. Melahap makanan di meja.

"Papa juga suka sekali," timpal William seraya menyuapkan nasi ke mulut.

"Terimakasih, Pa, Ma. Aku juga belajar terus biar bisa masak," balas Aiersha seraya tersenyum manis.

Ereza sekilas melirik ke arah Aiersha. Lidah tidak bisa berbohong jika makan Aiersha jauh lebih nikmat dibanding dengan masakan Ronauly. Senyum tipis melekat pada wajah tampannya.

Mereka melanjutkan makan malam hingga kini Aiersha dan Ereza sudah berada dalam kamar.

"Kenapa kau memilih untuk bersamaku dibanding pulang dengan papamu?" tanya Ereza tiba-tiba.

"Karena tugasku belum selesai," jawab Aiersha datar. Memilih sibuk dengan handphone, dibanding menatap Ereza yang terbaring di sampingnya.

Ereza menyerngitkan dahi. "Tugas? Tugas apa maksudnya?" Wajah serius tampak penasaran.

Keheningan tercipta seketika. Aiersha menghembuskan nafas dengan kasar. Kemudian meletakkan handphonenya pada meja di samping kasur, menoleh ke arah Ereza.

Deg! Jantung kedua insan itu berdetak dengan cepat. Jarak wajah yang sungguh dekat hingga hembusan nafas terasa sangat hangat. Netra kontak cukup lama, menembus manik indah.

Segera Aiersha dan Ereza menjadi salah tingkah dan menjauhkan posisi wajah. Mengatur nafas yang kian semakin tidak beraturan.

"Jawablah! Jangan bawa perasaan!" tegas Ereza memalingkan pandangannya.

"Bukankah kita akan bercerai setelah, Ronauly melahirkan?" tanya Aiersha dengan datar.

Pertanyaan itu sedikit memukul perasaan Ereza. "Lalu?"

"Lalu ... selama hal itu belum sampai. Tugasku sebagai seorang istri akan ku lakukan. Dan ... maaf, dahulu aku menjebak kamu masuk ke dalam kafe tersebut. Aku cukup menyesal. Tapi kita sudah ada di dalam arena bermain, jadi marilah mengikuti alur," jelas Aiersha tanpa menatap sang suami.

Terdiam adalah hal yang bisa di lakukan oleh Ereza. Tidak ada sepatah kata pun yang dapat ia ucapkan atau hanya sekedar melintas di pikirannya.

Keheningan dan kedinginan masuk menusuk hati pada malam itu. Kedua insan itu memilih membawa pikiran masing-masing.

Sesuai dengan ketentuan alam, pagi datang lagi dengan tiada bosan. Ereza melirik ke sebelahnya, tidak ada manusia. Sejak kemarin malam, pria itu tak kunjung dapat memejamkan mata.

"Ada apa denganku? Hanya karena perhatiannya yang sedikit aku terlena? Tidak! Dia tetaplah gadis bodoh. Aku tidak mau mencintainya," ucap Ereza pada diri sendiri.

"Tidak perlu gila. Aku juga hanya ingin menjalankan tugasku sebagai istri. Ini! Minumlah, lalu mandi! Pakaian sudah aku siapkan. Aku harus pergi sekarang."

Belum sempat Ereza mengucapkan sebuah kata, Aiersha telah pergi meninggalkan kamar. Netra melirik ke meja, pakainya sudah menunggu dengan rapi.

"Huh!"

"Sayang! Aku pergi dulu, ya. Jaga diri baik-baik," ucap Leo pada Ronauly yang masih asyik dengan selimut.

"Kapan pulang?" tanya Ronauly.

"Nanti sore. Kamu mau sesuatu?"

"Aku mau shopping. Transfer uang ke atm. Sudah habis kemarin, Sayang."

Leo tersenyum kecil. "Baiklah." Pria itu mendekat mencium kening Ronauly dan perut yang semakin membuncit.

Satu tujuan yang hendak ia capai pada pagi ini, kafe. Setelah bertarung beberapa menit, akhirnya sampai dengan selamat. Langsung saja netra Leo mencari sosok yang belakangan ini membuatnya resah.

"Sha!" panggil Leo. Melambaikan tangan kepada seorang gadis yang duduk rapi di ujung kafe.

Tidak ada reaksi apapun dari gadis itu. Menatap dengan datar, berusaha menahan rasa rindu dan patah hati terbesar.

"Maaf papa lama datang."

"Katakanlah apa yang ingin papa sampaikan. Aku harus kejar mata kuliah," tutur Aiersha tanpa basa basi.

Leo hampir menangis. Putrinya yang dahulu lembut dan manis telah berubah drastis. Hembusan nafas terdengar cukup jelas.

"Papa mau bawa kamu kembali ke rumah kita. Suami kamu itu tidak bisa bertanggung jawab."

"Siapa yang mengatakan?" tanya Aiersha dingin.

"Cavin. Papa juga lihat dia tidak akan bisa buat kamu bahagia," ucap Leo sendu.

"Lalu papa bisa buat aku bahagia? Papa pria bertanggung jawab?" Aiersha berhasil mengeluarkan air mata tanpa peduli tempat.

Keributan dalam kafe besar itu mampu menutupi suara Aiersha yang cukup kuat.

"Papa akan berusaha. Papa mau perbaiki semuanya, Sha," ucap Leo. Matanya pun mulai merah dan berkaca-kaca. Tidak ingat dengan kehormatannya.

Tangan kecil Aiersha membungkam mulutnya sendiri dengan kuat. Tersedak dan sangat sesak. Hampir tak kuasa menahan.

"Nggak, Pa! Sebelum papa ceraikan wanita muda itu aku nggak akan pernah kembali. Papa sanggup? Tidak 'kan? Lalu papa bilang sayang dan mau memperbaiki semuanya? Khayalan semata!" Kali ini suara Aiersha meninggi, membuat perhatian beberapa orang teralih padanya.

"Bukan gitu, Sha. Pria itu nggak baik buat kamu!" tolak Leo dengan cemas.

"Lalu, gimana? Kalau papa nggak nikah sama wanita itu dulu. Aku juga nggak bakal se-menderita dan semurahan ini, Pa! Aku jadi wanita murahan, Pa!

Mulut Leo tertutup rapat. Hatinya menjadi semakin hancur, menatap putrinya yang sedang menangis tersedak. Air matanya pun berhasil keluar. Tidak ada kata yang mampu terucap lagi.

Aiersha & Hati [TAMAT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang