Rencana dan air mata

173 7 0
                                        

Aiersha berjalan dengan lemah menuju sang ibu terbaring. Tidak ada kebahagiaan yang tergambar dari wajahnya. Sendu semakin sendu.

"Sha, harus kuat!" ucap Cavin menepuk pundak Aiersha.

Aiersha menggeleng pelan. Mulut terkatup rapat dengan airmata yang berjatuhan. Rapuh tetaplah rapuh. Ia hanya gadis rapuh yang berpura-pura kuat, menyiksa diri sendiri. Cavin memeluk kepala gadis yang tengah duduk tersebut. Bagaikan sedang dihantam oleh benda berat, pada hati.

"Aku nggak yakin kuat, Vin," ucap Aiersha sesenggukan.

"Aku ada buat kamu. Jangan nangis!" balas Cavin. Masih dalam posisi memeluk kepala gadis itu dengan hangatnya.

Cukup lama Aiersha dalam pelukan Cavin. Hingga perlahan rasa sedih dapat hilang walau bukan sepenuhnya. Melepaskan pelukan, memandang ke arah Lydia.

"Kapan mama akan buka mata, Vin? Aku haus kasih sayang," ucap Aiersha.

"Kamu tenang, ya. Tante pasti akan sadar." Aiersha mengangguk pelan. Menutup kesedihan dengan senyuman tipis pada wajah. "Kamu harus temukan cara pengungkapan kecelakaan yang direncanakan terhadap mama."

"Itu gampang," balas Cavin. Aiersha menatap Cavin dengan bingung. Pria itu melangkah mendekat, membisikkan sesuatu. Aiersha mengangguk beberapa kali.

Cavin menghantar Aiersha pulang kerumah. Hari sudah jauh siang menjelang sore. Cavin meyakinkan Aiersha dapat melakukan semua yang telah direncanakan.

"Makasih, Vin. Kamu selalu ada buat aku," ucap Aiersha setelah turun dari mobil.

"Itu semua karena cinta aku ke kamu. Seandainya kamu tahu itu," balas Cavin sendu.

"Maafin aku. Tapi kamu harus lupain aku!" ucap Aiersha dengan hati berat.

"Aku nggak bisa, Sha. Dan perasaan yang ada padaku ... aku harap pembalasan suatu saat nanti. Walau sekarang hatiku  benar-benar sakit lihat kamu bareng orang lain. Jangan hukum aku buat lupain kamu," tutur Cavin panjang lebar. Semua yang ada dalam hati telah ia katakan.

Terdiam menahan tangis. Aiersha menggeleng kepala dengan pelan, melambaikan tangan. Kaki melangkah menjauh dari hadapan Cavin yang masih menatap dengan hati hancur. Kaki Aiersha kini menapak pada lantai rumah. William menyambut kepulangan menantunya dengan tatapan tak terbaca.

"Dimana Ereza?" tanya William garang.

"Dia belum pulang?" tanya Aiersha balik. William semakin tajam menatap Aiersha. Mencium bau tidak sedap. Berdiri dari duduknya sembari menatap ke arah luar.

Dari gerbang terlihat sebuah mobil memasuki area rumah. Aiersha pun akhirnya ikut menatap dari kejauhan. Sedang William menyambut kepulangan Ereza dengan tatapan tajam.

"Ada apa, Pa?" tanya Ereza di depan pintu.

"Kenapa tidak pulang dengan Aiersha?" tanya William datar.

"Dia tidak ingin pulang denganku. Dan ingin di rumah sakit."

Aiersha tersentak. William semakin menggambarkan wajah dingin membelah jiwa Ereza. Perlahan pria itu masuk ke rumah dan mata membulat sempurna kala mendapat sosok Aiersha.

"Aku lebih awal pulang darimu. Aku menunggumu dari pagi. Kemana seharian, Sayang?" tanya Aiersha dengan tatapan tajam.

Kekesalan Ereza semakin menambah. Secepat kilat menarik tangan Aiersha. "Maaf, Pa. Kami masuk ke kamar dulu. Ayo, Sayang!" Tangan kekar Ereza menarik lemahnya Aiersha.

Tangan Ereza begitu kuat menarik Aiersha.  Lengan kecil milik Aiersha merah dan sakit. Gadis itu sesekali meringis kesakitan dan hendak melepaskan genggaman Ereza. Tapi tiada daya. Sesampainya di kamar, tubuh kurus Aiersha dihempaskan dengan kasar oleh Ereza.

Aiersha menahan sakitnya. Hatinya sudah menjerit, mulut tetap terkatup. Wajah berpura-pura kuat dan tegar. Perlahan duduk di kasur seraya menatap Ereza dengan tajam.

"Sudah cukup, Aiersha! Tingkahmu semakin tidak karuan! Aku muak! Tidak perlu mengurusi kehidupanku. Kau hanya isteri dalam surat! Ingat! Kita menikah bukan karena cinta! Kenapa kau Se-berani itu melakukan semua ini? Hah?" Ereza berdiri mengacak rambut frustasi.

"Aku hanya ingin menjalankan isi hatiku," balas Aiersha pelan.

"Isi hati? Apa maksudmu? Tidak akan pernah ada cinta dalam rumah tangga kita! Setelah anak Ronauly lahir maka bersiaplah untuk bercerai!" tegas Ereza.

"Iya. Sebelum itu kupastikan sesuatu yang tidak kau pikirkan akan terjadi," ucap Aiersha penuh yakin.

Ereza spontan menatap tajam. "Rencana apa lagi yang ingin kau buat? Bukankah video dan jebakan pada malam di club itu adalah jebakanmu? Hah?" Tangan besar Ereza mencengkeram kuat dagu Aiersha.

Aiersha meringis kesakitan. Dengan segala energi yang tersisa, menendang perut Ereza dengan kuat. Pria itu termundur jauh.

"Hanya pria rendah seperti dirimu yang menyakiti wanita. Se-bajingan apa pun seorang pria jika masih bersikap lembut pada wanita lebih tinggi derajatnya daripada seorang dokter sepertimu!" ucap Aiersha. Rasa sakit hatinya berhasil ia tumpahkan.

Bukan merasa iba. Ereza malah semakin menyiksa gadis itu. PLAK!

"Kau yang memilih menikah denganku. Jadi rasakan sendiri akibatnya. "Pipi Aiersha merah, miring kesamping. Tamparan keras itu menjatuhkan air mata yang sejak tadi di tahan.

Ereza tersenyum kecil. Melangkah pergi meninggalkan Aiersha yang terpaku diam. Kaki bergetar ketakutan meruntuhkan pertahanan Aiersha. Gadis itu bersimpuh di lantai. Menangisi nasib yang sedang tak baik.

Aiersha & Hati [TAMAT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang