00 | Prolog

199 11 2
                                    

Seorang gadis berumur sepuluh tahun tergeletak di atas meja besi yang sangat dingin. Rasa dingin yang membuat tubuh mungilnya menggigil. Saking dinginnya sampai-sampai ia tidak bisa merasakan apakah anggota tubuh miliknya masih utuh atau sudah dihilangkan.

Kaki serta tangannya diikat diujung meja menggunakan sabuk kulit berwarna hitam yang sangat keras. Jika ikatan ini dibuka, maka akan terlihat bekas luka yang melingkari pergelangan kaki dan tangannya. Kedua matanya ditutupi menggunakan kain putih dengan sedikit noda darah tepat di bagian bola matanya. Kain dan pipi yang basah tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa ia baru saja menangis—atau ia selalu menangis selama ini.

Tangan kanannya yang putih serta halus telah ternodai dengan lubang-lubang bekas suntikan yang selalu diberikan oleh 'orang itu'. Bahkan beberapa dari bekas lubang itu masih mengeluarkan darah segar.

Di samping kanan-kiri tempat gadis ini berbaring terdapat alat-alat bedah—yang lebih tepat disebut alat penyiksaan—yang berlumuran darah. Ada pisau bedah, gunting bedah, pisau daging, gergaji, dan alat-alat lainnya yang tidak mungkin ada di ruangan yang mirip dengan ruang bedah ini. Ruangan ini juga memiliki sebuah pintu dengan kaca satu arah terpasang di sebelahnya.

Pintu yang ada di sebelah kanan si gadis, tidak jauh dari tempat berbaringnya tiba-tiba terbuka. Pria dengan jas putih dengan noda darah di jasnya itu memasuki ruangan. Kaca mata hitam terpasang menutupi matanya yang mungkin juga berfungsi agar ia terlihat keren. Seputung rokok menyala tergantung di antara kedua bibirnya.

Pria yang kira-kira berumur empat lima tahun itu berjalan mendekati gadis yang tergulai lemas di atas meja sedingin es. Langkah kakinya terdengar nyaring di ruangan yang sangat minim barang ini. Cukup aneh memang jika melihatnya, ruangan seluas ini hanya berisikan meja besi, meja operasi, dan alat-alat bedah saja. Apalagi tempatnya yang sangat putih dan bersih akan membuat setiap orang yang masuk ruangan ini merasa tidak nyaman.

Sosok dengan kumis tipis di atas bibirnya itu berhenti di sebelah kepala sang gadis. Ia tersenyum ke arahnya—mungkin juga sebuah seringai. Ia kemudian meraih rambut panjang anak tak berdaya ini yang terurai hingga menyentuh lantai, lalu menciumnya. Bau harum menyeruak keluar dari setiap helai rambutnya dan menerobos masuk kedua lubang hidungnya.

 Bau harum menyeruak keluar dari setiap helai rambutnya dan menerobos masuk kedua lubang hidungnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gambar oleh Mg


Rokok yang sedari tadi berada di bibirnya ia matikan. Bukan dengan menginjaknya atau menggunakan asbak rokok, melainkan dengan menempelkannya di leher gadis malang itu. Rintihan kesakitan seakan ingin keluar dari bibir kecilnya, tetapi tertahan tepat di tengah tenggorokannya. Gadis bernasib buruk ini menahannya dengan sekuat tenaga, karena ia tahu siksaanlah yang akan menantinya jika ia bersuara sedikitpun.

Penutup mata yang menghalangi pandangan sang gadis dibukanya. Kemudian ia mengambil suntikan dengan cairan hijau di dalamnya dari atas meja operasi. Jarum tajam dia arahkan ke lengan kanan sang gadis. Tatapan memelas dan takut terlukis di wajah sang gadis. Tetapi pria berambut hitam ini tidak memedulikannya dan langsung mencoblosnya saja.

"Aaaaakkkkhhh." Gadis itu meronta kesakitan ketika jarum tajam menembus kulit tipisnya. Ia mencoba untuk melepaskan diri, tetapi itu tidak berguna karena kedua tangan dan kakinya yang terikat. "AAAAKKKKHHHH." Ia semakin menjerit kesakitan bersamaan dengan cairan hijau yang mulai mengalir masuk ke tubuhnya.

Senyum puas menghiasi wajah pria itu karena telah memberikan suntikan hasil racikannya. Ia semakin senang ketika melihat efeknya yang membuat kejang-kejang tak karuan. Dengan ekspresi gila di wajahnya ia mengambil sebuah pisau daging berukuran besar. Pisau itu diarahkannya ke leher gadis malang ini.

Isak tangis terdengar dari diri sang gadis yang lemah dan tak berdaya. Air mata mulai membanjiri kedua pipinya. Raut wajahnya seakan meminta ampun kepada orang yang akan mengeksekusinya.

Mulutnya yang bergetar ketakutan membuka dan mengeluarkan kata-kata lirih. "Ka...Ka...Kakak...Tolong aku..."

Tepat setelah menyelesaikan kata-kata terakhirnya pisau daging itu telah melayang membelah kerongkongannya. Darah bermuncratan kemana-mana mewarnai dinding putih dengan warna indah. Pria yang baru saja menyelesaikan tugasnya itu keluar ruangan dengan santainya seakan-akan ini tidak pernah terjadi.

***

Aku terbangun dengan tiba-tiba dan pikiran yang kacau. Sepertinya aku baru saja mengalami mimpi buruk. Mimpi tentang... seorang gadis, ya tentang seorang gadis. Sepertinya dia tidak asing bagiku. Siapa namanya ya... ahh, aku tidak ingat. Yang lebih penting, dimana aku?

Dengan tenaga yang masih kumiliki aku mencoba bangkit dari tempat tidurku—yang sebenarnya terbuat dari tiga kursi disusun sejajar dan tas sebagai bantalnya. Aku ingat, saat ini aku sedang berada di sekolah. Dan mungkin saja aku tertidur ketika guru sedang menerangkan pelajaran yang membosankan.

Tidur di kelas, itulah hobiku. Pada awalnya aku selalu kena marah oleh guru yang sebal dengan hobiku ini. Seiring berjalannya waktu sepertinya mereka mulai memakluminya. Dengan nilai yang selalu hampir sempurna membuat diriku bebas melakukan apapun ketika pelajaran, dengan catatan nilaiku tidak akan pernah turun. Mudah saja untuk mendapat nilai bagus. Cukup menghafal rumus dan memahaminya serta menyerapi setiap materi maka ujian hanya akan terasa seperti kau membalikkan tangan. Sangat mudah.

Tetapi aku sedikit bingung dengan ruang kelasku saat ini. Semuanya tampak berantakan. Meja yang biasanya tersusun rapi menjadi terpencar-pencar. Beberapa kaca jendela juga pecah. Dan suasananya sangat sepi. Hanya aku yang ada di kelas saat ini. Tidak ada teman yang berisik juga selalu heboh yang membuat suasana kelas kacau dan tentu itu mengganggu tidurku. Apa mereka semua sudah pulang. Tetapi jika mereka pulang mengapa tasnya tidak dibawa dan dibiarkan berserakan kemana-mana.

Aku berjalan menghampiri pintu kelasku. Kucoba untuk mendorongnya tetapi tidak bisa. Seperti ada yang menghalanginya. Lalu kuputuskan untuk keluar melalui jendela yang sudah tak berkaca.

"Apa...apaan ini..." Aku tidak percaya dengan apa yang ada di depanku ini. Semuanya tampak kacau. Kursi, meja, dan berbagai barang berserakan kemana-mana. Beberapa motor yang biasa digunakan untuk berangkat sekolah juga rusak dan terbakar. Ada juga yang hanya tergelatak begitu saja dengan kunci masih menggantung.

Aku mengucek kedua mataku berharap ini hanyalah sebuah mimpi. Tetapi sepertinya itu tidak berhasil karena aku masih di sini. Sudah kucoba untuk mencubit tanganku dan terasa sakit. Artinya ini bukanlah mimpi. Dengan insting yang kumiliki, aku segera masuk kembali ke kelas dan mengambil beberapa barang untuk bertahan hidup. Waspada itu sangat diperlukan.

Aku teringat akan film-film yang sering kutonton tiap kali aku selesai belajar. Film yang paling kusuka adalah film dimana dunia yang ada sedang kacau-kacaunya. Dari film itu kini aku belajar yang namanya bertahan hidup.

Dua botol air mineral, sebuah gunting, cutter juga pisau kumasukkan ke dalam tasku. Senter bekas kemah beberapa waktu yang lalu juga tidak ketinggalan. Dan yang terpenting adalah gawaiku. Tapi kenapa...kenapa baterainya habis... Sebenarnya bagiku gawai tidak terlalu penting. Aku lebih suka membaca buku ketimbang menghabiskan waktu berjam-jam menatap layar kecil itu. Tetapi, dari gawai inilah aku dapat mengunduh berbagai film keren—tentunya semuanya bajakan.

Saat sedang mengurusi beberapa benda lainnya aku menemukan sebuah kertas yang cukup menarik. Ditulis menggunakan tinta berwarna merah darah—atau ini memang darah—bertuliskan 'BADUT!!!' yang ditulis cukup besar. Entah apa arti dari ini aku tidak terlalu peduli.

Akhirnya aku telah siap untuk bertahan hidup, ehem, maksudku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

***

ZoClown [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang