06 | Badut dan Masa Lalu

18 1 0
                                    

Seorang pria dengan jas putih yang kesuciannya telah tertutupi oleh warna merah darah sedang duduk menikmati secangkir kopi panas, minuman favoritnya. Setelah satu tegukan ia meletakkan cangkir dengan desain elegan itu di meja yang ada di depannya. Rokok dengan bungkus putih diambilnya dari atas meja lalu dinyalakan sebatang. Asap perlahan menghilang setelah keluar dari mulut keringnya. Ruangan yang luas dengan barang-barang yang sedikit membuat siapapun pasti merasa tidak nyaman dan ingin segera meninggalkannya.

Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka menampilkan sesosok wanita berambut pendek dan berkacamata. Wanita itu juga mengenakan jas yang sama seperti sang pria. Bedanya jas miliknya masih bersih; putih polos; suci; sama seperti dirinya.

Jarak yang jauh antara meja dan pintu membuatnya harus berlari kecil menemui orang yang dimaksud. Sesekali ia hampir terjatuh tetapi keseimbangannya berhasil dijaganya dengan baik. Ia lebih tinggi sedikit dari biasanya—mungkin karena sepatu hak tinggi baru miliknya.

"Ada apa, Lina?" begitulah namanya.

Wanita yang ditanyai itu tidak langsung menjawab karena sedang mencoba mengatur nafasnya.

"Badut...Badut besar kita telah di kalahkan...pak..." katanya tersengal-sengal.

Pria itu bertepuk tangan memuji. "Hebat juga para manusia itu. Kalau begitu, keluarkan badut Z-1." Rokok yang masih nyala itu dihisapnya kemudian dihembuskannya kembali.

"A-apa anda yakin pak?" Ia terkejut dengan pernyataan pimpinannya ini.

"Ya. Tak apa-apa. Aku merasakan bahwa 'dia' akan semakin kuat dengan ini."

"Si-siap, laksanakan."

***

Dengan semangatnya yang sebelumnya meredup Mbak Nadia mengajukan diri untuk mendapatkan giliran pertama. Kami semua mengangguk setuju dan membiarkannya bercerita tentang masa lalunya itu. Sementara Mbak Nadia bercerita, kami mendengarkan sambil menyantap makanan ringan yang kami ambil di minimarket terbengkalai.

"Sebenarnya aku adalah anak dari keluarga yang hidup pas-pasan. Bisa makan sehari saja aku sudah sangat bersyukur. Ayahku berkerja sebagai petani yang menggarap sawah orang lain," cerita Mbak Nadia.

"Sementara itu ibuku seorang tenaga serabutan. Apapun pekerjaannya akan ia lakukan, asalkan halal dan tidak merugikan orang lain. Sebenarnya aku ingin membantu mereka bekerja, tetapi mereka selalu saja berkata: 'Nduk, kamu sekolah saja yang rajin. Urusan keuangan biarlah kami yang mengurusnya. Belajarlah yang rajin agar bisa membantu bapak dan ibu, ya?' Setelah itu aku berusaha untuk belajar dengan tekun.

"Hal ini membuahkan hasil. Sejak SMP hingga sekarang aku selalu menjadi juara kelas. Tidak ada satupun yang bisa mengalahkanku, baik fisik maupun akademi. Bahkan aku mendapatkan beasiswa untuk kuliah di perguruan tinggi favorit yang saat ini kumasuki. Sesekali aku juga megirimkan uang kepada kedua orang tuaku yang ada di desa. Uang ini kudapat dari hasil mengajar les.

"Hingga akhirnya para ZoClown menyerang desaku. Terjadi kepanikan disana. Aku yang mengetahui kabar itu segera bergegas untuk pulang ke desa. Saat hendak menaiki bis yang akan mengantarkanku, teleponku berdering. Itu dari ibuku. Dari nadanya aku tahu bahawa ibu mencoba untuk menyembunyikan ketakutan dan kepanikan yang di alaminya.

'Nduk, kamu tidak usah pulang. Berbahaya. Kamu pergi saja yang jauh bersama Dena, sahabatmu itu. Pergilah ke Bali. Di sana ada saudara jauhmu. Mereka pasti mau membantumu.'

'Ta-tapi bu...' belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku ibu sudah memotongnya.

'Kami baik-baik saja disini. Kamu ndak usah hawatir. Keselamatanmu adalah kebahagian kami.'

ZoClown [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang