Perjalanan ini semakin lama rasanya semakin suram. Kami telah kehilangan dua teman berharga kami. Semuanya merasa terpukul dengan keadaan ini. Terutama Mbak Nadia, sedari tadi ia masih saja tidak berhenti menangis.
Mobil yang sebelumnya selalu ramai karena gelak tawa tiba-tiba menjadi sepi seperti kuburan. Tidak ada wajah-wajah gembira. Sedih. Dua anak tadi memecah kesunyian dengan memperkenalkan diri mereka masing-masing.
"Perkenalkan, namaku Ayuu, dan ini adikku, Arim. Kami adalah anak dari pemilik rumah yang kalian singgahi sebelumnya." Gadis itu berbicara dengan suara cemprengnya. Tingginya hanyalah sedadaku dan kuprediksi dia masih SMP.
Selama beberapa saat tidak ada yang menanggapinya. Aku yang tidak ingin mengecewekannya—yang sepertinya mereka adalah saudara kembar—juga memperkenalkan diri. "Aku Riko, dan ini Mbak Nadia. Yang sedang menyetir itu Mas Agus dan duduk di sebelahnya adalah Bori."
Kembali suasana menjadi hening setelahnya. Tidak ada percakapan basa-basi atau sejenisnya. Sepertinya mereka berdua mulai paham dengan situasi yang sedang terjadi saat ini. Terlihat dari diamnya mereka setelah perkenalan. Tetapi aku tidak ingin suasana seperti ini terus yang terasa.
"Kalian bilang bahwa itu rumah kalian. Tetapi mengapa kami tidak melihat kalian?" Aku mencoba sebisa mungkin mengusir kesunyian yang ada.
"Waktu itu kami lagi pergi ke rumah saudara yang tidak jauh dari rumah. Barusan pagi ini kami kembali ke rumah. Melihat mobil kalian yang terparkir kami berpikir mungkin saatnya kami pergi dari sini," jelas gadis kecil itu.
"Ooo, memangnya kemana orang tua kalian? Lalu saudara kalian itu?"
Orang tua kami meninggal karena pemberontakan yang terjadi beberapa waktu lalu—yang entah karena manusia atau badut." Tiba-tiba ia menjadi tidak bersemangat. "Saat itu kami sedang berada di rumah saudara kami jadi tidak terkena dampaknya. Kalau mereka—saudara kami—tidak ingin meninggalkan rumahnya itu," jelasnya.
"Ah, maaf." Sepertinya aku telah bertanya hal yang salah.
"Tidak apa-apa."
Hening lagi. Cukup lama kami dalam kondisi seperti ini. Hingga adiknya Ayuu, Arim, berbicara.
"Kak, aku lapar."
"Bentar ya. Hei Riko, ada makanan gak?" Sungguh aku terkejut dengan perkataannya yang menurutku kurang sopan. Mungkin didikan orang tua yang salah lah yang menjadikannya seperti ini.
"Kak, yang sopan dong." Beruntung Arim sudah menyampaikan apa yang mau aku sampaikan.
"Memangnya kenapa? Palingan dia seumuran dengan kakak kan?"
Aku yang kesal bertanya, "Memangnya kamu kelas berapa?"
"Kelas 1 SMA." Jawabnya dengan nada sombong.
"Dan aku kelas 2 SMA. Kau seharusnya memanggilku dengan tambahan kak."
"Kan beda setingkat tok." Memang, makin lama makin ngeselin nih anak. "Jadi, ada makanan gak?" sambungnya.
"Nih," aku menyodorkan kotak berisi roti lapis. Tidak banyak sih, tetapi pasti cukuplah untuk kami semua.
Belum ada lima menit roti itu telah habis dimakan mereka. Tidak ada sisa sedikitpun bagi kami. Rakus sekali nih anak, batinku.
Tak ada percakapan lagi diantara kami. Dua anak kecil yang duduk di kursi belakang telah tertidur. Mbak Nadia juga sudah mulai baikan. Begitu pula Mas Agus dan Bori. Mereka semua tampak lebih tenang dan mulai menikmati perjalanan.
Berjam-jam lamanya kami menempuh perjalanan. Tanpa terasa kami sudah hampir memasuk area perkotaan. Matahari hampir berada di atas kepala kami persis. Rasa ketakutan dan was-was kepada ZoClown menguras energi kami sehingga kami harus mengisi perut terlebih dahulu. Kami memutuskan untuk singgah ke sebuah minimarket yang terbengkalai.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZoClown [TAMAT]
TerrorBagaimana jika ketika kamu membuka mata dan semua mimpi burukmu menjadi kenyataan? Pilihan mana yang akan engkau pilih. Berdiam diri atau menghadapi. Riko akan menghadapinya!